Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, berpandangan, peran intelektual masih sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan kekuasaan, tapi karakter dan pola kekuasaan yang terbentuk haruslah berinti pada kemanusiaan.

Hasto mengatakan hal itu melalui pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Rabu, menanggapi pemikiran Cornelis Lay yang dikukuhkan sebagai guru besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta, pada upacara di kampus UGM, Yogyakarta, Rabu.

Hadir pada upacara pengukuhan Lay sebagai guru besar, antara lain, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, yang juga ketua Majelis Wali Amanah UGM, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, Menakertrans, Hanif Dhakiri, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, Menteri Perhubungan, Budi Sumadi, Wakil Menteri ESDM, Archandra Tahar, dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.

Hadir juga tokoh politik antara lain, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Wakil Ketua MPR, Ahmad Basarah, Ketua DPP PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno, dan Djarot Saiful Hidayat.

Lay dalam orasi pada upacara pengukuhannya menyebut, karakter utama intelektual di dalam kekuasaan politik harus mengedepankan sisi kemanusiaan.

Menurut Hasto, pemikiran dia itu sangat konstekstual, karena harus ada jalan ketiga dimana tradisi intelektual masih dibutuhkan di dalam kekuasaan. "Kami sepakat, antara intelektual dan kekuasaan sangat dibutuhkan, sehingga terjadi konvergensi untuk saling menemukan bagaimana karakter kekuasaan intelektual itu dipertemukan oleh pengabdian kepada kemanusiaan," kata Kristiyanto.

"Selama ini, karakter kemanusiaan sebagai jiwa bagi intelektual maupun penguasa sering dilupakan, sehingga yang terjadi adalah politik tanpa kemanusiaan dan tanpa peradaban," katanya.

Alumni Fakultas Teknik Universitas Gajahmada Yogyakarta ini mencontohkan, fenomena saat ini yang disebut sebagai 'propaganda Rusia'. Menurut dia, banyak studi dan pengalaman berbagai negara yang menemukan bahwa propaganda dengan berbasis pada penyebaran hoaks itu sebagai antikemanusiaan. "Tesis yang terbaik adalah intelektual dan kekuasaan itu terus berada di jalan kemanusiaan," kata dia.

Karena itu, tesis yang disampaikan Cornelis tersebut, kata dia, adalah kritik terhadap praktik politik antikemanusiaan. Pada titik itu, penting bagi intelektual dan penguasa untuk selalu mempertemukan tujuan utamanya pada nilai-nilai kemanusiaan. "Sebab tanpa jalan kemanusiaan, tidak ada politik yang membangun peradaban," kata dia.