Jakarta (ANTARA News) - Bupati Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah 2010-2015 dan 2016-2021 Supian Hadi (SH) telah menerima mobil dan uang dari kasus korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi dari Pemkab Kotawaringin Timur.

"Terkait dengan sejumlah pemberian izin tersebut, diduga SH telah menerima mobil Toyota Land Cruiser senilai Rp710 juta, mobil Hummer H3 seharga Rp1,35 miliar, dan uang sebesar Rp500 juta yang diduga diteima melalui pihak lain," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, KPK menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan terhadap tiga perusahaan di lingkungan Kabupaten Kotawaringin Timur Tahun 2010-2012.

Tersangka Supian Hadi selaku Bupati Kotawaringin Timur 2010-2015 diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekomonian.

"Dalam pemberian izin usaha pertambangan kepada PT FMA (Fajar Mentaya Abadi), PT BI (Billy Indonesia), dan PT AIM (Aries Iron Mining) di Kabupaten Kotawaringin Timur periode 2010-2015," ucap Syarif.

Supian Hadi disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Diduga, terjadi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp5,8 triliun dan 711 ribu dolar AS yang dihitung dari hasil produksi pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan, dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT FMA, PT BI, dan PT AIM.

Dengan dilakukannya penyidikan perkara itu, lanjut Syarif, maka bertambah daftar kepala daerah yang dijerat dalam kasus korupsi, baik terkait dugaan penerimaan suap ataupun penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian izin pertambangan kepada pengusaha.

KPK pun, kata dia, sangat prihatin atas kondisi ini bagaimana potensi SDA yang begitu besar dikuasai hanya oleh sekelompok pengusaha.

"Kajian SDA KPK juga menemukan seiumlah persoalan terkait tumpang tindih wilayah, potensi kerugian keuangan negara dari praktik bisnis yang tidak beretika dan melanggar aturan di antaranya menunggak pajak, tidak membayar royalti, dan tidak melakukan jaminan reklamasi pasca tambang," ujar Syarif.