Pemerintah perlu bangun pusat studi bencana di Sulteng
31 Januari 2019 18:31 WIB
Arsip Foto - Sejumlah anak bermain di lahan garam yang rusak akibat gempa dan tsunami serta belum diperbaiki di Kawasan Penggaraman Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (26/1/2019). Sebagian besar lahan produksi garam ditempat tersebut belum dapat dimanfaatkan kembali oleh petani sebab belum diperbaiki lantaran minimnya peralatan serta modal yang dimiliki untuk kembali memulai usaha garam pasca dilanda bencana gempa dan tsunami pada 28 September 2018 lalu. (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)
Palu (Antara News) - Pasigala Centre mengatakan pemerintah perlu membangun Pusat Studi Bencana Geologis di Kota Palu, Sulawesi Tengah, sebagai salah satu bentuk peningkatan pemahaman masyarakat tentang kebencanaan.
"Menghadapi bencana alam hanya dua, kita mengulang kepanikan dan ketakutan yang sama, atau belajar mitigasi dan mengantisipasinya di masa depan," ucap Sekjen Pasigala Centre, Andika di Palu, Kamis.
Palu merupakan daerah dengan tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana yang bersifat geologis, dan solusi yang paling tepat adalah pemerintah pusat mendirikan Pusat Studi Nasional Bencana Geologis di daerah tersebut.
Menurut Andika, dalam rekaman sejarah kurang dari 100 tahun sejak 1927 hingga 2018, Sulawesi Tengah telah 11 kali diguncang gempa bumi dan tiga kali dilanda tsunami.
Frekuensi bencana geologis tinggi seperti itu harus menjadi peringatan bagi negara untuk belajar banyak hal berkaitan dengan soal-soal mitigasi.
Bagi dia, proses belajar bencana geologis tidak bisa hanya "sekedar tiba masa tiba akal". Maka dari itu, pemerintah pusat perlu memikirkan adanya Pusat Studi Nasional bencana geologis yang berkedudukan di Kota Palu.
Pusat studi itu, urai dia, berfungsi menyusun modul hidup pelatihan kebencanaan, penelitian kebijakan kebencanaan, strategi mitigasi, dan juga berfungsi memberikan masukan-masukan dan nasehat pada negara berkaitan dengan penanggulangan bencana alam.
Apalagi, kata Andika, data Bank Dunia menyebutkan bahwa lebih dari 110 juta penduduk tinggal di sekitar 60 kota, sebagian besar terletak di dekat laut yang rentan terhadap bahaya seperti gempa bumi, banjir dan penyakit menular.
Kepadatan penduduk yang tinggi serta perkembangan kota-kota besar yang terlalu cepat telah meningkatkan kerentanan penduduk terhadap bencana berskala besar.
"Bangkit dari bencana dan membangun kerangka mitigasi itu kuncinya cuma satu, belajar," ujar Andika.
Baca juga: Kepala BMKG tekankan pentingnya kearifan lokal dalam mitigasi tsunami
Baca juga: Kemensos perkuat mitigasi bencana berbasis masyarakat di Gowa
"Menghadapi bencana alam hanya dua, kita mengulang kepanikan dan ketakutan yang sama, atau belajar mitigasi dan mengantisipasinya di masa depan," ucap Sekjen Pasigala Centre, Andika di Palu, Kamis.
Palu merupakan daerah dengan tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana yang bersifat geologis, dan solusi yang paling tepat adalah pemerintah pusat mendirikan Pusat Studi Nasional Bencana Geologis di daerah tersebut.
Menurut Andika, dalam rekaman sejarah kurang dari 100 tahun sejak 1927 hingga 2018, Sulawesi Tengah telah 11 kali diguncang gempa bumi dan tiga kali dilanda tsunami.
Frekuensi bencana geologis tinggi seperti itu harus menjadi peringatan bagi negara untuk belajar banyak hal berkaitan dengan soal-soal mitigasi.
Bagi dia, proses belajar bencana geologis tidak bisa hanya "sekedar tiba masa tiba akal". Maka dari itu, pemerintah pusat perlu memikirkan adanya Pusat Studi Nasional bencana geologis yang berkedudukan di Kota Palu.
Pusat studi itu, urai dia, berfungsi menyusun modul hidup pelatihan kebencanaan, penelitian kebijakan kebencanaan, strategi mitigasi, dan juga berfungsi memberikan masukan-masukan dan nasehat pada negara berkaitan dengan penanggulangan bencana alam.
Apalagi, kata Andika, data Bank Dunia menyebutkan bahwa lebih dari 110 juta penduduk tinggal di sekitar 60 kota, sebagian besar terletak di dekat laut yang rentan terhadap bahaya seperti gempa bumi, banjir dan penyakit menular.
Kepadatan penduduk yang tinggi serta perkembangan kota-kota besar yang terlalu cepat telah meningkatkan kerentanan penduduk terhadap bencana berskala besar.
"Bangkit dari bencana dan membangun kerangka mitigasi itu kuncinya cuma satu, belajar," ujar Andika.
Baca juga: Kepala BMKG tekankan pentingnya kearifan lokal dalam mitigasi tsunami
Baca juga: Kemensos perkuat mitigasi bencana berbasis masyarakat di Gowa
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2019
Tags: