Menyongsong pencoblosan pada Pemilihan Presiden 2019, berbagai komunitas di Tanah Air mendeklarasikan dukungan mereka kepada pasangan calon presiden-wakil presiden yang mereka idolakan.

Bukan saja komunitas yang terhimpun dalam organisasi kemasyarakatan atau kalangan seniman yang mendeklarasikan preferensi dukungan politik secara terbuka.

Komunitas kampus pun, termasuk alumni mereka, tak ketinggalan meramaikan gelombang dukungan politik kepada masing-masing pasangan capres-cawapres.

Lalu muncullah perdebatan di sebuah grup diskusi media sosial yang intinya menyoal patut tidaknya atau boleh tidaknya seorang atau sekelompok orang yang tergolong sebagai akademisi memperlihatkan preferensi politik mereka secara terbuka.

Ujung perdebatan mengarah pada konklusi bahwa siapa pun, termasuk cendekiawan sekalipun, bebas menyatakan secara terbuka pilihan politiknya.

Tampaknya, perdebatan semacam itu memperlihatkan betapa kultur politik di era otokratis sebelum jatuhnya penguasa Orde Baru masih membanyangi pikiran beberapa kalangan.

Rezim otoritarian pada masa itu begitu getol mengeluarkan instruksi yang tak boleh dilanggar bahwa komunitas kampus tak boleh berpolitik praktis.

Istilah politik praktis ini mengacu pada tindakan dukung-mendukung dalam kontes perebutan kekuasaan.

Orde Baru menghendaki akademisi atau cendekiawan yang mau berpolitik melepas atributnya sebagai ilmuwan dan pindah profesi sebagai politikus yang bernaung di bawah parpol yang tersedia.

Di alam demokratis, pandangan Orde Baru itu tentu janggal dan menyalahi hakikat kemerdekaan menyatakan pendapat, termasuk mendukung capres yang dinilai layak memimpin negara.

Demokrasi tak melarang warga dari komunitas mana pun untuk menyuarakan preferensi politik mereka secara terbuka.

Akademisi bebas mendukung capres yang mereka pilih. Bahkan media massa pun tak terlarang untuk memperlihatkan pemihakan mereka kepada capres yang mereka pandang layak mereka dukung.

Dalam sejarah kiprah pers di negara-negara maju, awak media massa bahkan sepakat mereka wajib memperlihatkan pemihakan kepada calon pemimpin yang membela nilai-nilai demokrasi dan menyerang politisi yang memperlemah demokrasi.

Ketika demokrasi terancam oleh kekuatan komunisme, fasisme, atau militerisme yang terrepresentasikan oleh kelompok politikus tertentu, kalangan jurnalis bersatu untuk melawan kekuatan itu.

Harus diakui bahwa perkubuan dalam politik seperti yang terjadi menjelang pilpres akan melahirkan perpecahan, lazimnya secara sementara, di dalam masyarakat.

Itu sebabnya, sebagian dari mereka yang karier profesionalnya bergantung pada apresiasi publik seluas mungkin, seperti kaum seniman penghibur, artis, musisi, atlet bahkan dai selebritas cenderung menyembunyikan preferensi politik mereka di mata publik.

Setiap pilihan politik akan punya konsekuensi. Ketika seorang profesional memutuskan untuk menyembunyikan preferensi politik mereka, dia berpeluang untuk tetap dibutuhkan oleh kubu-kubu politik yang bersaing.

Begitu pemihakan itu diperlihatkan di depan khalayak ramai, dia pun siap menjadi bagian dari perseteruan antarkubu yang bersaing memperebutkan kursi kekuasaan.

Hal yang sama berlaku untuk institusi media massa. Netralitas memungkinkan sebuah institusi media untuk meraup iklan dari kedua kubu yang bersaing.

Namun ketika institusi itu memperlihatkan pemihakannya pada salah satu kekuatan politik yang bersaing, hanya satu kubu yang didukungnyalah yang mau menjadi klien pemasang iklan.

Dalam gegap-gempita maraknya deklarasi dukungan terhadap kubu-kubu yang bersaing menjelang momentum pencoblosan, 17 April 2019, satu hal yang perlu digaungkan sebagai pegangan berperilaku, bahwa persaingan politik itu akan mereda, kalau bukan berhenti, ketika hasil pilpres diumumkan.

Konstelasi politik pun dalam perjalanan waktu akan berubah dan kepentingan tiap kekuatan politik pun ikut berubah. Ini berarti bahwa persaingan politik sesaat bukanlah pertarungan hidup dan mati. Hanya politikus yang putus asa yang mengumandangkan semboyan fatalis yang dirumuskan dalam akronim Jawa: tijitibeh, yang artinya mati satu mati semua.

Suara fatalis anarkis semacam itu sesekali masih terdengar di antara gemuruh perseteruan politik yang kian memanas. Pada situasi semacam ini, suara penuh pengharapan yang menjadi pengimbang jelas dibutuhkan.

Politikus yang menjadi teladan wong cilik perlu memperlihatkan kesantunan. Sikap bersahabat yang diperlihatkan oleh seorang cawapres ketika diteriaki oleh publik yang bukan pendukungnya, dalam satu peristiwa di Wonogiri pekan ini, agaknya layak diapresiasi.

Politikus yang memperlihatkan perilaku simpatik, yang tetap tenang dan ramah menghadapi provokasi dari publik bukan pendukungnya, secara diam-diam menjadi aset perjalanan politik bangsa.

Politikus semacam itulah yang berjasa dalam memupuk pohon demokrasi di Tanah Air, yang perlu terus-menerus dirawat dengan kedewasaan tabiat seorang politikus.

Sebaliknya, politikus yang menyuarakan preferensi politiknya dengan menyemburkan kata-kata yang menyiratkan nada kebencian adalah antitesis bagi pendewasaan demokrasi.

Tampaknya, di kalangan politikus pun masih perlu dibangun pemahaman yang kurang lebih sama, bahwa kritik politik yang mendukung pengembangan demokrasi adalah kritik terhadap kebijakan, program, bukan terhadap pribadi.

Ketika seorang oposan menyuarakan bahwa politikus yang berkuasa sedang berlaku tidak adil karena kebijakan-kebijakannya cenderung menguntungkan kelompok menengah atas, oposan itu menyuarakan kritik yang bisa ditoleransi.

Namun, ketika dia menyerang latar belakang keluarga, asal-usul leluhur lawan politiknya, yang secara politik nista di zaman lampau dengan parameter rezim otokratis, sang oposan sudah bertindak di luar batas yang dimungkinkan oleh demokrasi.

Baca juga:
Presiden tekankan pentingnya netralitas TNI/Polri dalam Pemilu
Ustaz Bachtiar Nasir ajak umat Islam gunakan hak pilih