Jakarta (ANTARA News) - Human Rights Working Group (HRWG) menilai pekerja migran di ASEAN membutuhkan perlindungan yang lebih kuat dari sekadar nota kesepahaman (MoU) bilateral yang dinilai terlalu lemah untuk melindungi hak-hak pekerja karena sifatnya informal dan proses negosiasinya tidak terbuka.

“Masalahnya dengan MoU bilateral, negosiasinya akan tergantung pada siapa yang lebih kuat diantara dua negara yang bersangkutan. Selain itu, isi perjanjiannya juga tidak mudah diakses publik,” kata peneliti HRWG Avyanthi Azis dalam peluncuran buku berjudul “Migrant Workers’ Rights in ASEAN Region: A Baseline Study” di Jakarta, Selasa (29/1).

Di negara-negara anggota ASEAN, MoU bilateral telah menjadi mode tata kelola yang dominan dalam mendorong perlindungan hak-hak pekerja migran.

Sayangnya, Avyanthi melanjutkan, MoU bilateral biasanya hanya menekankan pada penempatan pekerja migran di negara tujuan, bukan pada aspek perlindungannya.

Dibandingkan MoU bilateral, HRWG merekomendasikan konvensi atau perjanjian multilateral yang wajib diterjemahkan ke dalam undang-undang atau peraturan nasional yang lebih kuat secara hukum.

“Sebenarnya yang paling kuat itu konvensi, contohnya konvensi tentang perdagangan manusia. Itu ditranslasikan ke hukum nasional juga 'kan karena Indonesia punya UU yang kemudian meratifikasi konvensi itu, sehingga bisa memperkuat perlindungannya,” ujar Avyanthi.

Di antara sepuluh negara anggota ASEAN, hanya Indonesia dan Filipina yang telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.

Filipina juga menjadi satu-satunya negara ASEAN yang telah meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) No. 189 tentang Pekerjaan Rumah Tangga.

Baca juga: ILO soroti pentingnya sistem perlindungan pekerja migran

Meskipun dinilai terlalu lemah, Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri menyatakan MoU bilateral tetaplah suatu dokumen yang memiliki kekuatan hukum.

MoU bilateral perlindungan pekerja migran Indonesia dengan sejumlah negara, menurut dia, selalu mengatur mengenai tiga hal, yaitu kontrak kerja antara pekerja dan pengguna jasa, kepatuhan terhadap prinsip dasar HAM, serta pemajuan hak-hak keluarga para pekerja migran.

“Kami juga berusaha memastikan agar anak-anak para pekerja migran mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan selama ditinggal orang tuanya bekerja di luar negeri,” kata Putri.


Baca juga: Konsensus ASEAN belum pengaruhi kemajuan perlindungan pekerja migran

Baca juga: Migrant-Care serukan ASEAN lindungi pekerja migran