Batan: keraguan terhadap teknologi nuklir masih tinggi
Dirjen Penguatan dan Pengembangan Kemenristekdikti Muhammad Dimyati (kedua kanan) didampingi Deputi Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Bidang Pendayagunaan Teknologi Nuklir Hendig Winarno (kanan) melihat langsung alat Radiation Portal Monitor (RPM) yang dipasang di BATAN Serpong seusai dilakukan serah terima alat RPM dari Konsorsium Program Pengembangan Teknologi Industri (PPTI) kepada Pemerintah dalam hal ini diwakili Kemenristekdikti di Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (13/12). RPM adalah seperangkat alat yang dilengkapi dengan sensor yang mampu mendeteksi adanya zat Radioaktif, alat hasil karya anak bangsa ini nantinya akan dipasang diberbagai tempat seperti Bandara, Pelabuhan, Terminal dan seluruh pintu masuk ke Indonesia, hal ini sesuai dengan permintaan Presiden Joko Widodo kepada Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETAN). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal (ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL)
Djarot di Jakarta, Sabtu, mengatakan Batan kebetulan memiliki sejumlah produk pertanian hasil riset dan pengembangan teknologi nuklir, salah satunya varietas padi dengan teknik mutasi radiasi, yang hanya dapat dimanfaatkan secara lebih luas jika berkolaborasi dengan kementerian terkait.
Namun sayang, menurut dia, hingga dirinya tidak lagi menjabat sebagai Kepala Batan belum juga berhasil menemui Menteri Pertanian (Mentan) untuk berkolaborasi memajukan pertanian di Indonesia dari hasil-hasil riset instasi penelitiannya.
"Saya pernah bertemu Pak Luhut (Menko Bidang Kemaritiman), beliau langsung menyambungkan ke Mentan tapi kebetulan tidak bisa juga,"ujar dia.
Selanjutnya di sektor energi, ia mengatakan teknologi nuklir juga masih sulit menembus kebijakan bauran energi nasional. Pada akhirnya Batan hanya bisa mengambil posisi sebagai technical support organization (TSO).
Keraguan, menurut dia, tidak hanya terjadi pada pemerintahan di tingkat pusat. Sering kali kepala daerah juga mengemas isu energi nuklir ini dengan bahasa yang tidak jelas, salah satunya seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada akhirnya yang terjadi adalah kegagalan seperti di Jepara dan Batam.
"Jadi kesimpulan saya, apakah nuklir ini dibutuhkan oleh Indonesia atau tidak?" kata Djarot.
Namun ia mengatakan di sisi lain pihak pronuklir selalu menganggap Batan terlalu sering mengambil sikap menunggu, tidak proaktif. Persoalannya ketika Batan mencoba lebih proaktif dikhawatirkan kejadiannya akan seperti di Bangka-Belitung, ketika telah mengeluarkan dana hingga Rp150 miliar untuk feasibility studies (FS) pada akhirnya tidak dapat dilanjutkan.
Deputi Bidang Pendayagunaan Teknologi Nuklir Batan Hendig Winarno mengatakan pihaknya akan mencoba betul-betul menjadi provider teknologi, TSO, clearing house of nuclear technology di 2019. Batan ingin semakin "membumikan" teknologi nuklir.
"Saya sekali `kompori` pusat diseminasi supaya menyosialisasikan benih padi hasil mutasi radiasi lebih banyak, dari 2.000-3.000 hektare (ha) saya bilang coba sampai 10 atau 20 kali lipatnya, sehingga padi dari hasil teknologi nuklir ini benar-benar bisa dimanfaatkan," ujar dia.
Untuk di sektor kesehatan juga sama. Dirinya berharap radioisotop renogram untuk pemeriksaan fungsi ginjal tidak hanya dimanfaatkan untuk dua rumah sakit saja, harus diperbanyak agar produksi tidak merugi.
"Saya bilang 10 rumah sakit, karena dari segi isotopnya tentu merugi kalau hanya membuat untuk dua rumah sakit saja, sekecil-kecilnya ya untuk 10 rumah sakit lah," ujar dia.
Baca juga: Indonesia beberkan pemanfaatan teknologi nuklirnya
Baca juga: BATAN bahas penggunaan nuklir untuk masyarakat
Baca juga: Indnesia dukung penerapan nuklir untuk tujuan damai
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019