LBH Jakarta prediksi pemilih golput meningkat di Pilpres 2019
23 Januari 2019 20:35 WIB
Direktur LBH Jakarta Arief Maulana di Jakarta, Rabu (23/1/2019) mengutip hasil riset The Economist Intelligence Unit bahwa Indeks Demokrasi Indonesia 2018 mengalami penurunan 20 dari peringkat 48 menjadi 68. Hal ini diperkirakan Arief akan menyebabkan meningkatnya jumlah golput pada Pilpres 2019. (ANTARA News/Maria Rosari)
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arief Maulana memperkirakan jumlah pemilih golput pada Pilpres 2019 akan mengalami peningkatan dibanding 2014.
"Berdasarkan beberapa hal, saya kira perdebatan mengenai golput dan sikap golput, tampaknya akan meningkat di tahun 2019 dibandingkan dengan tahun 2014," ujar Arief di Gedung YLBHI Jakarta, Rabu.
Arief mengatakan bahwa fenomena global telah menunjukkan golput menjadi salah satu pilihan warga dunia karena itu merupakan ekspresi dari pilihan mereka terkait pilihan politik.
"Golput dipilih sebagai bentuk koreksi dan itu terjadi dimana-mana. Setiap tahunnya berdasarkan data fenomena global jumlah pemilih golput memang mengalami peningkatan termasuk di Indonesia," kata Arief.
Arief menjelaskan bahwa di beberapa negara termasuk Indonesia, pada umumnya warga memutuskan untuk memilih golput sebagai bentuk kekecewaan terhadap pelaksanaan sistem demokrasi.
Karena meskipun dibungkus oleh kata "demokrasi" namun masih banyak pelanggaran ham yang terjadi. "Selain itu hak warga negara tidak terpenuhi dan korupsi masih banyak terjadi," kata Arief.
Sementara itu, bila dikembalikan pada kondisi Indonesia, Arief memaparkan berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2018 yang dibuat oleh The Economist Intelligence Unit atau EIU, Indonesia mengalami penurunan 20 peringkat dari peringkat 48 menjadi 68.
"Penurunan ini sangat tajam dan memang alasannya berdasarkan riset tadi bahwa masyarakat tidak puas dengan sistem demokrasi yang berjalan," kata Arief.
Arief kemudian mengatakan pada Pilpres 2014 masyarakat Indonesia merasa ada harapan baru, namun selama empat tahun terakhir Indeks Demokrasi Indonesia justru mengalami penurunan.
"Dampaknya di Pilpres 2019 ini dengan pasangan calon yang sama seperti Pilpres 2014, harapan itu sepertinya menurun karena banyak yang pesimis dengan pilpres kali ini," kata Arief.
Hal itu, kata Arief, juga terlihat dengan persoalan hak asasi manusia yang dibiarkan saja dan tidak ditegakkan. "Pembiaran hak asasi manusia ini juga termasuk pelanggaran," kata Arief.
Baca juga: Pemprov DKI Jakarta raih penghargaan tertinggi Indeks Demokrasi
Baca juga: Indeks Demokrasi meningkat namun kebebasan berpendapat menurun
Baca juga: Wiranto: Indeks demokrasi selama empat tahun berjalan baik
"Berdasarkan beberapa hal, saya kira perdebatan mengenai golput dan sikap golput, tampaknya akan meningkat di tahun 2019 dibandingkan dengan tahun 2014," ujar Arief di Gedung YLBHI Jakarta, Rabu.
Arief mengatakan bahwa fenomena global telah menunjukkan golput menjadi salah satu pilihan warga dunia karena itu merupakan ekspresi dari pilihan mereka terkait pilihan politik.
"Golput dipilih sebagai bentuk koreksi dan itu terjadi dimana-mana. Setiap tahunnya berdasarkan data fenomena global jumlah pemilih golput memang mengalami peningkatan termasuk di Indonesia," kata Arief.
Arief menjelaskan bahwa di beberapa negara termasuk Indonesia, pada umumnya warga memutuskan untuk memilih golput sebagai bentuk kekecewaan terhadap pelaksanaan sistem demokrasi.
Karena meskipun dibungkus oleh kata "demokrasi" namun masih banyak pelanggaran ham yang terjadi. "Selain itu hak warga negara tidak terpenuhi dan korupsi masih banyak terjadi," kata Arief.
Sementara itu, bila dikembalikan pada kondisi Indonesia, Arief memaparkan berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2018 yang dibuat oleh The Economist Intelligence Unit atau EIU, Indonesia mengalami penurunan 20 peringkat dari peringkat 48 menjadi 68.
"Penurunan ini sangat tajam dan memang alasannya berdasarkan riset tadi bahwa masyarakat tidak puas dengan sistem demokrasi yang berjalan," kata Arief.
Arief kemudian mengatakan pada Pilpres 2014 masyarakat Indonesia merasa ada harapan baru, namun selama empat tahun terakhir Indeks Demokrasi Indonesia justru mengalami penurunan.
"Dampaknya di Pilpres 2019 ini dengan pasangan calon yang sama seperti Pilpres 2014, harapan itu sepertinya menurun karena banyak yang pesimis dengan pilpres kali ini," kata Arief.
Hal itu, kata Arief, juga terlihat dengan persoalan hak asasi manusia yang dibiarkan saja dan tidak ditegakkan. "Pembiaran hak asasi manusia ini juga termasuk pelanggaran," kata Arief.
Baca juga: Pemprov DKI Jakarta raih penghargaan tertinggi Indeks Demokrasi
Baca juga: Indeks Demokrasi meningkat namun kebebasan berpendapat menurun
Baca juga: Wiranto: Indeks demokrasi selama empat tahun berjalan baik
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019
Tags: