Legislator ingatkan pemerintah segera bentuk Badan Pangan Nasional
23 Januari 2019 10:20 WIB
Anggota FPG DPR RI Hardisoesilo (kanan) menyaksikan padi yang siap dipanen di salah satu desa di Banyuwangi, Jumat (4/1/2019) (istimewa)
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Hardisoesilo mengingatkan pemerintah agar segera membentuk Badan Pangan Nasional yang seharusnya sudah direalisasikan sejak beberapa tahun silam sebagai amanat UU No 18/2012 tentang Pangan.
"Badan Pangan Nasional merupakan amanat UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan yang telah disahkan DPR sejak Oktober 2012. Keberadaan UU tersebut dilatarbelakangi oleh carut-marutnya penanganan pangan di negeri ini," ujar Hardisoesilo di Jakarta, Rabu.
Hardisoesilo kemudian mencontohkan sejumlah contoh kasus carut marut pangan di negeri ini, diantaranya pada tahun 2015 sempat terjadi kelangkaan bawang putih sehingga memicu kenaikan harga hampir mencapai 3-4 kali lipat sekaligus menjadi penyumbang inflasi terbesar secara nasional pada saat itu.
Selanjutnya pada tahun 2016, harga daging sapi di beberapa wilayah Tanah Air sempat menembus angka 130 ribu per kg, sampai-sampai pedagang daging yang berada di wilayah Jakarta, Tangerang dan Jawa Barat melakukan mogok berjualan, akibat pembeli yang sepi.
Pada akhir tahun 2017 hingga awal 2018, masih kata Hardisoesilo, juga sempat terjadi gejolak harga beras di pasaran yang memaksa pemerintah untuk melakukan impor beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 500 ribu ton. Kebijakan impor beras tersebut merupakan yang pertama kalinya dalam dua tahun terakhir setelah pemerintah terakhir kali membuka keran impor beras pada 2015.
"Peristiwa mutakhir adalah polemik panjang tentang impor beras antara Kabulog Budi Waseso dengan Mendag Enggartiasto, dimana Buwas memastikan stok beras nasional aman sekitar 2,4 juta ton sehingga Bulog tidak perlu impor beras lagi hingga tahun depan, sementara Menteri Perdagangan justru sebaliknya, dibutuhkan impor beras dan Kementerian Perdagangan sepanjang 2018 telah mengeluarkan izin impor 2 juta ton beras," katanya.
Berkaca pada berbagai kasus pangan yang terus berulang ini, menurut dia, maka perlu segera dibentuk satu Lembaga Pemerintahan Non-Kementerian yang merupakan amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang diharapkan dapat mengatasi problem produksi, pengadaan, penyimpanan, dan distribusi pangan.
Dalam konsepnya, Badan Pangan Nasional ini akan meleburkan berbagai instansi yang menjalankan kebijakan pangan. Watak pangan strategis yang multidimensi dan reorientasi tata pangan nasional yang berdaulat, sangat sulit dan tidak akan pernah bisa dilaksanakan oleh sebuah Kementerian teknis yang teramat sektoral.
"Kasus kenaikan harga pangan yang silih berganti, koordinasi yang lemah antar-lembaga serta maraknya praktek kartel pangan menjadi pendorong utama yang menguatkan perlunya pembentukan lembaga ini," demikian Hardisoesilo.
Pembentukan Badan Pangan Nasional ini sesuai dengan amanat Pasal 126 UU No. 18 tahun 2012 yang berbunyi, "Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden" serta Pasal 127 yang menyebutkan, "Lembaga pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan".
Sementara sesuai ketentuan Pasal 128, Badan Pangan Nasional yang keberadaannya diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden (Perpres) ini dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada BUMN di bidang Pangan melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan Pemerintah.
Dalam Ketentuan Penutup UU No 18 tahun 2012, Pasal 151 menyebutkan bahwa Lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan ini harus telah terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Baca juga: Legislator: badan pangan nasional sebagai regulator
Baca juga: Pemerintah siap bentuk badan ketahanan pangan nasional
"Badan Pangan Nasional merupakan amanat UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan yang telah disahkan DPR sejak Oktober 2012. Keberadaan UU tersebut dilatarbelakangi oleh carut-marutnya penanganan pangan di negeri ini," ujar Hardisoesilo di Jakarta, Rabu.
Hardisoesilo kemudian mencontohkan sejumlah contoh kasus carut marut pangan di negeri ini, diantaranya pada tahun 2015 sempat terjadi kelangkaan bawang putih sehingga memicu kenaikan harga hampir mencapai 3-4 kali lipat sekaligus menjadi penyumbang inflasi terbesar secara nasional pada saat itu.
Selanjutnya pada tahun 2016, harga daging sapi di beberapa wilayah Tanah Air sempat menembus angka 130 ribu per kg, sampai-sampai pedagang daging yang berada di wilayah Jakarta, Tangerang dan Jawa Barat melakukan mogok berjualan, akibat pembeli yang sepi.
Pada akhir tahun 2017 hingga awal 2018, masih kata Hardisoesilo, juga sempat terjadi gejolak harga beras di pasaran yang memaksa pemerintah untuk melakukan impor beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 500 ribu ton. Kebijakan impor beras tersebut merupakan yang pertama kalinya dalam dua tahun terakhir setelah pemerintah terakhir kali membuka keran impor beras pada 2015.
"Peristiwa mutakhir adalah polemik panjang tentang impor beras antara Kabulog Budi Waseso dengan Mendag Enggartiasto, dimana Buwas memastikan stok beras nasional aman sekitar 2,4 juta ton sehingga Bulog tidak perlu impor beras lagi hingga tahun depan, sementara Menteri Perdagangan justru sebaliknya, dibutuhkan impor beras dan Kementerian Perdagangan sepanjang 2018 telah mengeluarkan izin impor 2 juta ton beras," katanya.
Berkaca pada berbagai kasus pangan yang terus berulang ini, menurut dia, maka perlu segera dibentuk satu Lembaga Pemerintahan Non-Kementerian yang merupakan amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang diharapkan dapat mengatasi problem produksi, pengadaan, penyimpanan, dan distribusi pangan.
Dalam konsepnya, Badan Pangan Nasional ini akan meleburkan berbagai instansi yang menjalankan kebijakan pangan. Watak pangan strategis yang multidimensi dan reorientasi tata pangan nasional yang berdaulat, sangat sulit dan tidak akan pernah bisa dilaksanakan oleh sebuah Kementerian teknis yang teramat sektoral.
"Kasus kenaikan harga pangan yang silih berganti, koordinasi yang lemah antar-lembaga serta maraknya praktek kartel pangan menjadi pendorong utama yang menguatkan perlunya pembentukan lembaga ini," demikian Hardisoesilo.
Pembentukan Badan Pangan Nasional ini sesuai dengan amanat Pasal 126 UU No. 18 tahun 2012 yang berbunyi, "Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden" serta Pasal 127 yang menyebutkan, "Lembaga pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan".
Sementara sesuai ketentuan Pasal 128, Badan Pangan Nasional yang keberadaannya diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden (Perpres) ini dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada BUMN di bidang Pangan melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan Pemerintah.
Dalam Ketentuan Penutup UU No 18 tahun 2012, Pasal 151 menyebutkan bahwa Lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan ini harus telah terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Baca juga: Legislator: badan pangan nasional sebagai regulator
Baca juga: Pemerintah siap bentuk badan ketahanan pangan nasional
Pewarta: Junaydi Suswanto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: