Jaksa KPK cecar Eni Saragih mengenai "fee" halal
22 Januari 2019 13:16 WIB
Anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (22/1). (Desca Lidya Natalia)
Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mencecar anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih karena menyebut kalau "fee" yang ia terima dari pengusaha sebagai uang halal.
"Pak Kotjo mengatakan ia dapat 2,5 persen dan ini halal. Saya tanya kenapa halal, dia mengatakan saya dapat 'agent fee' dan membayar pajak," kata Eni Maulani dalam sidang pemeriksaan terdakwa di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
"Iya itu halal untuk Pak Kotjo, memang 'fee' dari mana?" tanya JPU Ronald Worotikan dan dijawab Eni Saragih dari investor, yakni CHEC.
Eni Maulani Saragih dalam perkara ini didakwa menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo serta gratifikasi sejumlah Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura (sekitar Rp410 juta) dari pengusaha yang bergerak di bidang energi dan tambang.
"Fee" tersebut adalah imbalan dari pengurusan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Kotjo pada sekitar 2015 mencari investor dan mendapatkan CHEC Ltd sebagai investor proyek dengan kesepakatan bila proyek berjalan maka Kotjo mendapat "fee" sebesar 2,5 persen atau sekitar 25 juta dolar AS dari perkiraan nilai proyek 900 juta dolar AS. Dari jumlah tersebut, Eni diduga juga akan mendapat bagian 3,5 persen atau sekitar 875 ribu dolar AS.
"Fee" itu yang kemudian dipakai Eni untuk sejumlah kegiatan partai Golkar termasuk Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) partai Golkar pada Desember 2017.
"Dalam BAP saudara mengatakan 'saya minta 3 juta dolar AS dari Pak Kotjo karena diminta Idrus untuk menjadikannya ketua umum. Awalnya Idrus telepon saya, memangnya Pak Idrus ini Plt ketua umum?" tanya jaksa Ronald.
Eni mengakui ia meminta langsung ke Johanes Budisutrisno Kotjo.
"Pak Kotjo minta ketemu di darat tapi pada saat itu politik berubah, bang Idrus tidak lagi dikondisikan menjadi ketua umum tapi Pak Airlangga. Saya mengatakan ke Pak Kotjo tidak jadi karena politik berubah, semua dikondisikan Pak Airlangga jadi ketua umum karena sudah persetujuan Presiden, jadi 3 juta dolar AS itu tidak pernah ada," jawab Eni.
Jaksa Ronald kembali menanyakan sebelumnya minta 400 ribu dolar Singapura.
"Iya itu sama. Pengkondisian juga, tapi tidak diberikan Pak Kotjo ke saya karena saya ditunjuk sebagai bendahara munas, jadinya saya minta untuk munaslub. Bagi saya itu berarti menyumbang buat partai apalagi dari sesuatu yang halal," jawab Eni.
Menurut Eni, uang yang ia minta dari Kotjo berbeda antara uang untuk pengkondisian Idrus Marham sebagai ketua umum dan keperluan munaslub.
"Awalnya saya memang menanggapinya serius karena bagi saya, saya senang juga kalau abang saya jadi ketua umum makanya saya sampaikan ke Pal Kotjo. Tapi terus terang politik saat itu cepat berubah," ungkap Eni.
"Tapi dalam percakapan juga disebutlah gampanglah nanti siapa tahu malah Eni yang jadi ketua umum. Ini benar," tanya jaksa Ronald.
"Iya," jawab Eni.
"Pak Kotjo mengatakan ia dapat 2,5 persen dan ini halal. Saya tanya kenapa halal, dia mengatakan saya dapat 'agent fee' dan membayar pajak," kata Eni Maulani dalam sidang pemeriksaan terdakwa di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
"Iya itu halal untuk Pak Kotjo, memang 'fee' dari mana?" tanya JPU Ronald Worotikan dan dijawab Eni Saragih dari investor, yakni CHEC.
Eni Maulani Saragih dalam perkara ini didakwa menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo serta gratifikasi sejumlah Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura (sekitar Rp410 juta) dari pengusaha yang bergerak di bidang energi dan tambang.
"Fee" tersebut adalah imbalan dari pengurusan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Kotjo pada sekitar 2015 mencari investor dan mendapatkan CHEC Ltd sebagai investor proyek dengan kesepakatan bila proyek berjalan maka Kotjo mendapat "fee" sebesar 2,5 persen atau sekitar 25 juta dolar AS dari perkiraan nilai proyek 900 juta dolar AS. Dari jumlah tersebut, Eni diduga juga akan mendapat bagian 3,5 persen atau sekitar 875 ribu dolar AS.
"Fee" itu yang kemudian dipakai Eni untuk sejumlah kegiatan partai Golkar termasuk Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) partai Golkar pada Desember 2017.
"Dalam BAP saudara mengatakan 'saya minta 3 juta dolar AS dari Pak Kotjo karena diminta Idrus untuk menjadikannya ketua umum. Awalnya Idrus telepon saya, memangnya Pak Idrus ini Plt ketua umum?" tanya jaksa Ronald.
Eni mengakui ia meminta langsung ke Johanes Budisutrisno Kotjo.
"Pak Kotjo minta ketemu di darat tapi pada saat itu politik berubah, bang Idrus tidak lagi dikondisikan menjadi ketua umum tapi Pak Airlangga. Saya mengatakan ke Pak Kotjo tidak jadi karena politik berubah, semua dikondisikan Pak Airlangga jadi ketua umum karena sudah persetujuan Presiden, jadi 3 juta dolar AS itu tidak pernah ada," jawab Eni.
Jaksa Ronald kembali menanyakan sebelumnya minta 400 ribu dolar Singapura.
"Iya itu sama. Pengkondisian juga, tapi tidak diberikan Pak Kotjo ke saya karena saya ditunjuk sebagai bendahara munas, jadinya saya minta untuk munaslub. Bagi saya itu berarti menyumbang buat partai apalagi dari sesuatu yang halal," jawab Eni.
Menurut Eni, uang yang ia minta dari Kotjo berbeda antara uang untuk pengkondisian Idrus Marham sebagai ketua umum dan keperluan munaslub.
"Awalnya saya memang menanggapinya serius karena bagi saya, saya senang juga kalau abang saya jadi ketua umum makanya saya sampaikan ke Pal Kotjo. Tapi terus terang politik saat itu cepat berubah," ungkap Eni.
"Tapi dalam percakapan juga disebutlah gampanglah nanti siapa tahu malah Eni yang jadi ketua umum. Ini benar," tanya jaksa Ronald.
"Iya," jawab Eni.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: