Nurhadi ungkap sumber uang yang disita KPK
21 Januari 2019 17:04 WIB
Bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi menjadi saksi untuk terdakwa bekas Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (21/1). (Desca Lidya Natalia)
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, mengungkap asal usul uang yang disita oleh penyidik KPK pada penggeledahan di rumahnya 20 April 2016.
"Uang kalau sudah diakumulasi dari berbagai mata uang asing, rupiah, dolar singapura, dolar amerika, uang itu adalah sebagian besar adalah sisa perjalanan dinas saya, dan sebagian adalah uang saya sendiri dimana untuk keperluan sepanjang melakukan perjalanan dinas kan pas-pasan jadi kita otomatis membawa uang dari saku sendiri. Uang itu yang ditukarkan," kata Nurhadi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Nurhadi bersaksi untuk terdakwa bekas Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro yang didakwa memberikan uang sejumlah Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS kepada panitera pengadilan negeri Jakarta Pusat Edy Nasution agar melakukan penundaan proses pelaksanaan aanmaning (pemanggilan) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL).
Dalam penggeledahan April 2016 lalu, KPK menyita uang Rp1,7 miliar dari rumah Nurhadi terkait dengan perkara suap kepada Edy Nasution selaku panitera PN Jakarta Pusat.
"Saya juga pengusaha, usaha burung walet, itu rutin, setiap periode panen, alamat juga ada, ada di LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) sumber-sumbernya, segala akumulasi dari panen itu kita kumpulkan menjadi sumber-sumber pendapatan lain di luar pendapatan dari kantor," tambah Nurhadi.
Nurhadi juga menegaskan bahwa uang-uang tersebut tidak pernah ia buang ke dalam kloset saat penggeledahan KPK.
"Terutama masalah uang sering disebutkan dibuang di kloset, ini adalah fitnah besar, masa uang sebesar itu dibuang ke dalam kloset? Saya tidak menyampaikan itu! Sekarang media tidak ada saat penggeledahan, jadi sumbernya dari mana?" kata Nurhadi.
JPU KPK pun lalu mengeluarkan barang bukti sebesar Rp1,7 miliar yang disita dari rumah Nurhadi.
"Ini ada 3 bundel uang dolar AS cetakan baru bagaimana cara saudara menukarkan uang perjalan dinas?" tanya JPU KPK Abdul Basir.
"Sebagian sisa perjalanan dinas, sebagian uang saya sendiri, itu anak mantu saya Rezki menukar di money changer kira-kira bulan Februari 2016 di daerah Panglima Polim," ungkap Nurhadi.
Nurhadi menjelaskan bahwa uang itu dipersiapkan untuk pengobatan istrinya Tin Zuraida di Singapura.
"Itu persiapan berobat istri saya ambil tindakan, kena AMP (Amplified musculoskeletal pain) karena di-handle dokter Singapura dan tindakannya di Amerika Serikat, makanya saya menukar uang itu, jadi bukan semua dari perjalanan dinas, sebagian uang saya sendiri," jelas Nurhadi.
Nurhadi mengaku sudah memulai usaha sarang burung walet sejak 1986 dan bahkan pernah mendapat panen sebesar 2 kuintal dengan harga per kilogram adalah Rp30 juta. Panen dilakukan setiap dua bulan sekali.
Namun Nurhadi mengaku tidak menghitung rata-rata penghasilannya per bulan dari usaha sarang burung walet tersebut.
"Tidak logis menghitungnya, coba dari 1986 kalau rata-rata dua bulan sekali panen hitung saja itu, lokasinya ada di Tulungagung, Mojokerto, Kediri," ungkap Nurhadi.
"Uang kalau sudah diakumulasi dari berbagai mata uang asing, rupiah, dolar singapura, dolar amerika, uang itu adalah sebagian besar adalah sisa perjalanan dinas saya, dan sebagian adalah uang saya sendiri dimana untuk keperluan sepanjang melakukan perjalanan dinas kan pas-pasan jadi kita otomatis membawa uang dari saku sendiri. Uang itu yang ditukarkan," kata Nurhadi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Nurhadi bersaksi untuk terdakwa bekas Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro yang didakwa memberikan uang sejumlah Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS kepada panitera pengadilan negeri Jakarta Pusat Edy Nasution agar melakukan penundaan proses pelaksanaan aanmaning (pemanggilan) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL).
Dalam penggeledahan April 2016 lalu, KPK menyita uang Rp1,7 miliar dari rumah Nurhadi terkait dengan perkara suap kepada Edy Nasution selaku panitera PN Jakarta Pusat.
"Saya juga pengusaha, usaha burung walet, itu rutin, setiap periode panen, alamat juga ada, ada di LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) sumber-sumbernya, segala akumulasi dari panen itu kita kumpulkan menjadi sumber-sumber pendapatan lain di luar pendapatan dari kantor," tambah Nurhadi.
Nurhadi juga menegaskan bahwa uang-uang tersebut tidak pernah ia buang ke dalam kloset saat penggeledahan KPK.
"Terutama masalah uang sering disebutkan dibuang di kloset, ini adalah fitnah besar, masa uang sebesar itu dibuang ke dalam kloset? Saya tidak menyampaikan itu! Sekarang media tidak ada saat penggeledahan, jadi sumbernya dari mana?" kata Nurhadi.
JPU KPK pun lalu mengeluarkan barang bukti sebesar Rp1,7 miliar yang disita dari rumah Nurhadi.
"Ini ada 3 bundel uang dolar AS cetakan baru bagaimana cara saudara menukarkan uang perjalan dinas?" tanya JPU KPK Abdul Basir.
"Sebagian sisa perjalanan dinas, sebagian uang saya sendiri, itu anak mantu saya Rezki menukar di money changer kira-kira bulan Februari 2016 di daerah Panglima Polim," ungkap Nurhadi.
Nurhadi menjelaskan bahwa uang itu dipersiapkan untuk pengobatan istrinya Tin Zuraida di Singapura.
"Itu persiapan berobat istri saya ambil tindakan, kena AMP (Amplified musculoskeletal pain) karena di-handle dokter Singapura dan tindakannya di Amerika Serikat, makanya saya menukar uang itu, jadi bukan semua dari perjalanan dinas, sebagian uang saya sendiri," jelas Nurhadi.
Nurhadi mengaku sudah memulai usaha sarang burung walet sejak 1986 dan bahkan pernah mendapat panen sebesar 2 kuintal dengan harga per kilogram adalah Rp30 juta. Panen dilakukan setiap dua bulan sekali.
Namun Nurhadi mengaku tidak menghitung rata-rata penghasilannya per bulan dari usaha sarang burung walet tersebut.
"Tidak logis menghitungnya, coba dari 1986 kalau rata-rata dua bulan sekali panen hitung saja itu, lokasinya ada di Tulungagung, Mojokerto, Kediri," ungkap Nurhadi.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: