Jakarta (ANTARA News) - Sepekan terakhir masyarakat Indonesia dihebohkan oleh harga tiket penerbangan domestik yang lebih mahal dibandingkan dengan tiket penerbangan ke luar negeri atau transit terlebih dahulu di negara lain.
Pasalnya sebagian besar warga Aceh mengeluhkan mahalnya harga tiket penerbangan langsung Banda Aceh - Jakarta dibandingkan jika pesawat Banda Aceh - Jakarta yang transit terlebih dahulu di Kuala Lumpur, Malaysia.
Caleg DPR Ramond Dony Adam dari PDI Perjuangan mencontohkan harga tiket Batik Air atau Citilink rute Banda Aceh-Jakarta naik dari Rp1,5 juta menjadi Rp3 juta, sedangkan jika transit di Kuala Lumpur terlebih dahulu, ongkos sekali jalan hanya Rp900.000 dengan menggunakan maskapai Lion Air dan Air Asia.
Perbandingan harga tiket yang sangat mencolok tersebut tentunya mendorong kebanyakan warga Aceh pada akhirnya lebih memilih untuk bersusah payah mengurus paspor hanya demi menikmati tiket penerbangan murah meriah.
Bukan hanya warga Aceh saja yang mengeluhkan kenaikan harga tiket penerbangan domestik. Masyarakat Timika, Papua juga mengkritik tiket penerbangan domestik yang mereka anggap kemahalan.
Enos Zadrak, warga Jalan Budi Utomo Timika, Senin, mengatakan harga tiket penerbangan Timika-Makassar kini terjual hampir mendekati Rp4 juta, sementara tiket penerbangan Timika-Jakarta sudah hampir mencapai Rp5 juta.
Hal senada juga disampaikan warga lainnya bernama Suraya yang menyebut harga tiket Timika-Jakarta lebih mahal daripada harga tiket Jakarta-Jedah atau Jakarta-Hongkong.
Keluhan serupa juga menggema dari Ambon, Maluku dimana masyarakat di pulau tersebut juga memprotes kenaikan harga tiket penerbangan domestik yang di luar batas kewajaran. Petra Lesi (44), warga asal Ambon yang saat ini bermukim di Jakarta mengaku dirinya harus merogoh saku hampir Rp20 juta untuk biaya tiket pergi-pulang, jika ingin mudik bersama istri dan seorang anaknya.
Sedangkan warga lainnya bernama Angky mengaku terpaksa harus mengeluarkan biaya hampir Rp9 juta untuk mudik ke Pulau Adonara, Flores Timur, NTT dengan menggunakan pesawat.
Namun keluhan dan nada-nada protes itu setidaknya akhir-akhir ini mulai mereda kala Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Carriers Association/INACA) sepakat untuk menurunkan harga tiket pesawat terbang domestik, yang sempat melambung beberapa waktu belakangan.
Ketua INACA I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra memaparkan hal itu menyusul keprihatinan masyarakat atas tingginya harga tiket dan adanya komitmen positif atas penurunan biaya kebandaraan dan navigasi dari para pemangku kepentingan seperti PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II, AirNav dan Pertamina.
Avtur vs tarif batas atas
Wakil Presiden (Wapres) M Jusuf Kalla menilai kenaikan tarif tiket pesawat beberapa waktu lalu antara lain disebabkan oleh penyesuaian kurs mata uang dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah, sehingga berpengaruh pada biaya operasional terutama pembelian avtur yang menggunakan dolar AS.
Apabila tarif tiket pesawat tetap murah, lanjut Wapres, maka hal itu dapat berdampak pada lesunya industri maskapai sehingga berakibat pada bangkrutnya perusahaan penerbangan.
Beratnya harga Avtur yang dipatok oleh kurs dolar AS membebani maskapai-maskapai nasional, seperti Citilink diakui oleh Direktur Utamanya Juliandra Nurtjahjo bahwa alokasi biaya operasional maskapainya sebagian besar dalam bentuk dolar AS, sedangkan dalam pendapatannya dalam bentuk Rupiah.
Dirut maskapai berkelir warna putih hijau itu juga menambahkan sekitar 40-45 persen biaya operasional Citilink dianggarkan untuk biaya pembelian Avtur, sedangkan 20 persen dialokasikan untuk sewa pesawat.
Harga rata-rata avtur sepanjang 2017 sebesar 55,1 sen dolar AS per liter dan melonjak 19 persen menjadi 65,4 sen per dolar AS per liter sepanjang 2018. Juliandra menyebut biaya operasional dapat membengkak sebesar 102 juta dolar AS akibat kenaikan harga avtur yang dipengaruhi mata uang Amerika Serikat tersebut.
Sayangnya, kenaikan harga avtur akibat menguatnya kurs dolar AS ini tidak diimbangi oleh perubahan tarif batas atas yang bisa direvisi berdasarkan Peraturan Menteri Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan Dan Penetapan Tarif Batas Atas Dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga berjadwal Dalam Negeri.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Polana B Pramesti menuturkan sejak keluarnya peraturan tersebut, tarif batas atas dan bawah belum direvisi sejak tiga tahun lalu, sementara harga avtur dan komponen biaya operasional lainnya telah mengalami penyesuaian sampai 70 persen.
Selain dipengaruhi dolar AS, luasnya wilayah Indonesia juga diperkirakan menjadi salah satu penyebab mahalnya harga avtur bagi penerbangan domestik.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Djoko Siswanto memperkirakan bahwa mahalnya harga avtur di Indonesia karena wilayahnya yang luas dan terdiri dari ribuan pulau.
Banyaknya rute penerbangan antarpulau tersebut, lanjut Djoko, membuat konsumsi Avtur menjadi lebih banyak dibandingkan negara lain, sehingga harganya besar kemungkinan menjadi naik dan apalagi ketersediannya juga berkurang.
Berdasarkan data yang dihimpun, harga avtur di Bandara Changi, Singapura sekitar 178 sen dolar AS/galon atau Rp6.583/liter. Harga ini termasuk yang paling murah di banding bandara-bandara lainnya di dunia, termasuk di Riyadh, Arab Saudi sekitar 200 sen dolar AS/galon atau Rp7.397/liter.
Sedangkan berdasarkan situs Pertamina Aviation, harga Avtur di Bandara Soekarno-Hatta saat ini mencapai Rp7.580 atau 0,56 dolar AS setiap liternya sudah termasuk pengiriman ke pesawat namun belum menghitung PPN 10 persen dan PPh 0,3 persen khusus penerbangan domestik.
Pariwisata terimbas
Kenaikan harga tiket penerbangan domestik yang dipengaruhi oleh naiknya harga avtur berimbas pada kunjungan wisatawan yang menurun di destinasi-destinasi domestik, salah satunya Batam.
Sekretaris DPD Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies/Asita) Kepulauan Riau Febriansyah mengatakan Batam mulai ditinggalkan sebagai kota transit, karena wisatawan nusantara (wisnus) memilih langsung berlibur ke Singapura tanpa singgah di kota itu.
Hal tersebut disebabkan oleh murahnya harga tiket pesawat internasional ketimbang penerbangan domestik, dimana Tarif pesawat Jakarta-Batam sudah mencapai di atas Rp1 juta, sedangkan Jakarta-Singapura hanya sekitar Rp500.000.
Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Batam Ardiwinata juga mengkhawatirkan rencana pemerintah untuk menjadikan Batam sebagai gerbang masuk wisman ke daerah lain di Indonesia dapat tertunda, karena mahalnya tiket domestik dari Batam ke berbagai daerah lain di Indonesia.
Menurut Ketua Asita Kalimantan Barat Nugroho Henray Ekasaputra, 60 persen aktivitas orang ingin berwisata dipengaruhi oleh harga tiket pesawat. Jika harga tiket tinggi tentu orang akan berpikir ulang atau akan sedikit memperhatikan untuk kegiatan berwisatanya.
Dia juga menambahkan bahwa belum lagi saat ini satu di antara maskapai yaitu Lion Air, tidak lagi mengratiskan bagasi. Hal itu, kata dia, akan mempengaruhi minat wisatawan membeli produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Pemerintah tidak tinggal diam begitu saja melihat kondisi tersebut. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Polana B Pramesti akan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga, terutama Kementerian ESDM dan Pertamina terkait melejitnya harga avtur, yang dianggap sangat memengaruhi kenaikan harga tiket penerbangan domestik.
Selain itu, Kemenhub juga berkoordinasi dengan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti PT Angkasa Pura I dan II untuk memberikan potongan tarif, kemudian Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau Airnav Indonesia untuk menunda kenaikan jasa navigasi.
Sejumlah pejabat tinggi pemerintah juga berupaya mengajak maskapai-maskapai nasional agar menurunkan tarif demi meredam keresahan dan menciptakan kondisi kondusif bagi masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut keputusan terkait turunnya tarif pesawat terbang dilakukan demi kepentingan publik.
Selain itu Luhut juga mengatakan pemerintah memiliki kewenangan untuk mengendalikan tarif penerbangan dengan aturan tarif batas atas dan bawah, dengan demikian, maskapai penerbangan tidak bisa bebas menentukan harga tiket pesawat terbang.
Sedangkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengapresiasi sikap Inaca yang dewasa dalam menurunkan tarif penerbangan domestik, sebagai salah satu cara agar masyarakat tidak resah.
Namun demikian pemerintah, menurut Menteri Budi akan berdiskusi dengan INACA terkait komponen-komponen biaya operasional maskapai domestik yang dipengaruhi dolar AS.
Harga wajar
Tidak mudah untuk menentukan kenaikan atau penurunan harga tiket penerbangan, karena menerbangkan dan merawat sebuah pesawat sangatlah berbeda dengan moda transportasi lainnya.
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau menjadikan pesawat sebagai moda transportasi andalan bagi masyarakat Indonesia untuk bepergian intra dan antar-pulau, walau harus mengonsumsi avtur yang mahal dan jarang tersedia.
Sayangnya fluktuasi harga avtur sangat dependen terhadap pergerakan kurs dolar AS. ketika dolar naik, maskapai pun harus menaikkan tiket demi bertahan hidup kendati sektor pariwisata seperti Batam menjerit terkena imbasnya.
Solusi untuk mengatasinya saat ini adalah pemerintah, INACA, Pertamina dan para maskapai domestik harus duduk satu meja untuk membahas berapa harga yang tiket penerbangan dalam negeri yang sewajarnya.
Tidak kemahalan, tidak kemurahan, dan menjadi harga median dalam mekanisme batas tarif atas dan bawah merupakan kriteria utama bagi harga tiket yang wajar untuk diterima semua pihak baik itu oleh pemerintah, maskapai maupun konsumen dan tentunya tetap mengutamakan standar keselamatan penerbangan.
Artikel
Menyoroti kenaikan harga tiket pesawat
Oleh Aji Cakti
19 Januari 2019 20:29 WIB
Ilustrasi - Tiket Pesawat (ANTARA News/Grafis)
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019
Tags: