Pekanbaru (ANTARA News) - Pengamat Politik dari Universitas Andalas, Syaiful Wahab mengatakan, debat Capres I digelar 17 Januari 2019 terkesan seperti lomba debat.

"Debat Capres terlalu formil, kaku dan monoton padahal momen ini adalah untuk menggali ide, gagasan dan adu argumentasi, mestinya dibuat secara santai dan disertai joke-joke," kata Syaiful Wahab dihubungi dari Pekanbaru, Sabtu.

Menurut mantan Dekan II FISP Unand itu, selain terkesan lomba debat, argumen dari masing-masing capres terlalu normatif dan kurang substansial, padahal topik hukum, HAM dan korupsi, serta terorisme merupakan topik yg krusial dan sensitif.

Ia mengatakan, problem bangsa ini paling banyak adalah masalah dalam isu-isu ini, akan tetapi ternyata tidak ada terobosan yang dapat menjadi inspirasi untuk perbaikan bangsa terhadap isu-isu tersebut.

"Isi perdebatan lebih banyak sindir menyindir bahkan terkesan saling menyalahkan. Ini pertanda bahwa debat dianggap sebagai kritik satu sama lain," katanya.

Ia memandang bahwa debat capres tersebut adalah adu argumen tentang paradigma solutif, dan seharusnya ada tawaran solusi atau jalan keluar yang lebih baik, bukan saling menyalahkan. Karena tiap orang punya gaya dan cara jalan keluar sendiri-sendiri yang mungkin berbeda.

Syaiful menekankan bahwa, yang paling prinsip perlu ditanggapi, bahwa apakah kita perlu mekanisme debat capres sepert ini jika debat hanya dibuat seperti lomba saja.

Sebab, katanya lagi, bangsa ini adalah bangsa yang penuh budaya dengan tepo seliro, jarang suka berdebat terbuka. Jadi tidak seharusnya mekanisme debat capres harus dibuat juga dalam Pilpres.

"Bangsa ini hanya ikut-ikutan saja dengan budaya demokrasi Barat dimana mereka sudah biasa mengontrol diri dalam perdebatan, dan bangsa kita memang 'sensitif' dalam hal debat mendebat. Di tingkat elit yang terdidik saja susah melakukan perdebatan apalagi di tingkat massa grass root/akar rumput. Debat dan oposisi hanya menghasilkan kekacauan dan kerusuhan," katanya.