GP Farmasi usulkan alokasi pembayaran obat dalam anggaran BPJS Kesehatan
19 Januari 2019 14:08 WIB
Arsip foto. Seorang asisten apoteker meracik obat di Apotek Arcamanik, Bandung, Jawa Barat, Rabu (21/3/2018). Gabungan pengusaha farmasi Indonesia menyatakan, pada 2017 industri farmasi, obat kimia dan tradisional tumbuh 6,85 persen, dan investasi di industri tersebut melonjak hingga Rp5,8 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Jakarta (ANTARA News) - Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) mengusulkan agar ada alokasi sebagian dana anggaran BPJS Kesehatan yang digunakan rumah sakit dikhususkan untuk pembayaran obat guna menjamin keberlangsungan pasokan untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketua Bidang Industri GP Farmasi Roy Lembong dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan perlu ada regulasi yang mengatur agar setiap adanya pembayaran dari BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan harus dialokasikan untuk jatah pembayaran obat minimal 25 persen.
Roy juga berpendapat perlu adanya revisi tarif paket pelayanan suatu diagnosa penyakit atau INA CBGs yang dinilainya masih rendah. "Sebaiknya memang harus ada update nilai INA-CBGs yang saat ini masih rendah, dan aturan alokasi pembayaran jatah obat minimal 25 persen," kata Roy.
Dia mengatakan saat ini GP Farmasi telah memasok 90 persen kebutuhan obat dalam negeri, di mana 52 persen di antaranya adalah obat generik berkualitas.
Ketua Bidang Distribusi GP Farmasi Hery Sutanto juga mengemukakan selama ini meskipun sudah keluar pembayaran dari BPJS Kesehatan, namun hanya sedikit sekali yang sampai kepada penyedia obat.
“Memang uangnya sudah keluar dari pemerintah, tetapi sampai ke kami hanya menetes saja, mungkin hanya enam persen. Padahal sepanjang Agustus hingga Desember masih terus ada belanja dari rumah sakit, tidak mungkin kita stop obat, karena pasti makin ramai nanti. Kami hanya minta solusi sebaiknya ada alokasi 25 persen,” kata Hery.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Engko Sosialine menyebut saat ini pihaknya tengah fokus pada tiga hal, yaitu rencana kebutuhan obat (RKO), menjamin ketersediaan obat dan pengadaan obat.
Dia menilai perihal RKO perlu ada perbaikan akurasi. Karena RKO yang diserahkan kadang tidak sesuai dan akurat, misalnya pada tahun 2014 kurang 20 persen dan tahun 2018 malah lebih 20 persen.
"Meningkatnya kan cukup tajam, dan data yang bisa digunakan tentang peningkatan sudah dihubungkan secara elektronik dan akurasinya bagus," kata dia.
Baca juga: Dokter pertanyakan rencana penghapusan jaminan BPJS pada obat kanker kolorektal
Baca juga: BBPOM diminta tingkatkan pengawasan obat dan makanan
Ketua Bidang Industri GP Farmasi Roy Lembong dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan perlu ada regulasi yang mengatur agar setiap adanya pembayaran dari BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan harus dialokasikan untuk jatah pembayaran obat minimal 25 persen.
Roy juga berpendapat perlu adanya revisi tarif paket pelayanan suatu diagnosa penyakit atau INA CBGs yang dinilainya masih rendah. "Sebaiknya memang harus ada update nilai INA-CBGs yang saat ini masih rendah, dan aturan alokasi pembayaran jatah obat minimal 25 persen," kata Roy.
Dia mengatakan saat ini GP Farmasi telah memasok 90 persen kebutuhan obat dalam negeri, di mana 52 persen di antaranya adalah obat generik berkualitas.
Ketua Bidang Distribusi GP Farmasi Hery Sutanto juga mengemukakan selama ini meskipun sudah keluar pembayaran dari BPJS Kesehatan, namun hanya sedikit sekali yang sampai kepada penyedia obat.
“Memang uangnya sudah keluar dari pemerintah, tetapi sampai ke kami hanya menetes saja, mungkin hanya enam persen. Padahal sepanjang Agustus hingga Desember masih terus ada belanja dari rumah sakit, tidak mungkin kita stop obat, karena pasti makin ramai nanti. Kami hanya minta solusi sebaiknya ada alokasi 25 persen,” kata Hery.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Engko Sosialine menyebut saat ini pihaknya tengah fokus pada tiga hal, yaitu rencana kebutuhan obat (RKO), menjamin ketersediaan obat dan pengadaan obat.
Dia menilai perihal RKO perlu ada perbaikan akurasi. Karena RKO yang diserahkan kadang tidak sesuai dan akurat, misalnya pada tahun 2014 kurang 20 persen dan tahun 2018 malah lebih 20 persen.
"Meningkatnya kan cukup tajam, dan data yang bisa digunakan tentang peningkatan sudah dihubungkan secara elektronik dan akurasinya bagus," kata dia.
Baca juga: Dokter pertanyakan rencana penghapusan jaminan BPJS pada obat kanker kolorektal
Baca juga: BBPOM diminta tingkatkan pengawasan obat dan makanan
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2019
Tags: