Pengamat katakan penurunan kemiskinan di level "single digit" lebih sulit
18 Januari 2019 16:35 WIB
Ilustrasi. Jamaludin (75) menyortir barang rongsokan untuk dijual kembali di Penjaringan, Jakarta, Jumat (4/1/2018). Pemerintah akan terus menekan angka kemiskinan pada 2019 dengan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dimana angka kemiskinan pada 2018 merupakan terendah sepanjang sejarah dengan 9,82 persen. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc. (ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah menilai penurunan persentase tingkat kemiskinan di level single digit atau di bawah 10 persen, memang relatif lebih sulit.
"Penurunan angka kemiskinan di level satu digit, lebih sulit daripada pengurangan angka kemiskinan di angka double digit. Misalnya, pengurangan angka kemiskinan dari 25-20 persen relatif lebih mudah dibandiingkan dengan pengurangan angka kemiskinan dari angka 10 persen ke 9 persen," ujar Rusli kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Menurut Rusli, hal tersebut disebabkan pada angka kemiskinan di level single digit terdapat orang yang memiliki keterbatasan fisik atau difabel dan orang yang sakit-sakitan sehingga tidak produktif, dan juga orang yang tidak memiliki kualitas pendidikan atau keterampilan.
"Sakit bisa disebabkan karena merokok misalnya. Sedangkan yang tidak memiliki kualifikasi pendidikan atau skill disebabkan orang tersebut tidak memiliki akses ke pendidikan baik formal maupun informal," ujar Rusli.
Oleh karena itu, lanjut Rusli, pemerintah saat ini memiliki dua pekerjaan sekaligus. Yang pertama ialah menjaga angka kemiskinan agar tetap satu digit dengan mengarahkan program-program bantuan kepada 69 juta penduduk rentan miskin.
"Sebanyak 69 juta penduduk hampir miskin ini sangat rentan terhadap goncangan ekonomi baik inflasi atau nilai tukar rupiah," katanya. Pekerjaan kedua pemerintah yaitu menyasar penduduk miskin yang masuk di angka satu digit tersebut yaitu penduduk difabel dan tidak memiliki kualifikasi pendidikan atau keterampilan tadi.
Bagi penduduk miskin di area satu digit, uang saja (transfer tunai/cash transfer) tidak cukup, namun mereka lebih butuh kepada program peningkatan kapasitas dan itu butuh waktu yang panjang karena memutus lingkaran kemiskinan.
"Satu, program PKH sudah bagus. Dua, akses ke pendidikan wajib diberikan seperti sekolah gratis untuk penduduk miskin dan sekolah vokasi. Ketiga, akses ke kesehatan gratis. Namun dalam mencapai itu, ada rintangan berat yaitu defisit BPJS yang bisa memberikan akses kesehatan gratis," ujar Rusli.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada September 2018 terus turun menjadi 9,66 persen dibandingkan Maret 2018 yang mencapai 9,82 persen. Persentase kemiskinan turun sebesar 0,16 persen poin di September 2018 dari Maret 2018 dan 0,46 persen poin dibandingkan September 2017," kata Kepala BPS Suhariyanto saat jumpa pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa.
Secara jumlah, penduduk miskin pada September 2018 mencapai 25,67 juta orang, menurun 0,28 juta orang terhadap Maret 2018 dan menurun 0,91 juta orang terhadap September 2017.
Baca juga: Mensos: Kebijakan yang tepat jadi kunci penurunan tingkat kemiskinan
"Penurunan angka kemiskinan di level satu digit, lebih sulit daripada pengurangan angka kemiskinan di angka double digit. Misalnya, pengurangan angka kemiskinan dari 25-20 persen relatif lebih mudah dibandiingkan dengan pengurangan angka kemiskinan dari angka 10 persen ke 9 persen," ujar Rusli kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Menurut Rusli, hal tersebut disebabkan pada angka kemiskinan di level single digit terdapat orang yang memiliki keterbatasan fisik atau difabel dan orang yang sakit-sakitan sehingga tidak produktif, dan juga orang yang tidak memiliki kualitas pendidikan atau keterampilan.
"Sakit bisa disebabkan karena merokok misalnya. Sedangkan yang tidak memiliki kualifikasi pendidikan atau skill disebabkan orang tersebut tidak memiliki akses ke pendidikan baik formal maupun informal," ujar Rusli.
Oleh karena itu, lanjut Rusli, pemerintah saat ini memiliki dua pekerjaan sekaligus. Yang pertama ialah menjaga angka kemiskinan agar tetap satu digit dengan mengarahkan program-program bantuan kepada 69 juta penduduk rentan miskin.
"Sebanyak 69 juta penduduk hampir miskin ini sangat rentan terhadap goncangan ekonomi baik inflasi atau nilai tukar rupiah," katanya. Pekerjaan kedua pemerintah yaitu menyasar penduduk miskin yang masuk di angka satu digit tersebut yaitu penduduk difabel dan tidak memiliki kualifikasi pendidikan atau keterampilan tadi.
Bagi penduduk miskin di area satu digit, uang saja (transfer tunai/cash transfer) tidak cukup, namun mereka lebih butuh kepada program peningkatan kapasitas dan itu butuh waktu yang panjang karena memutus lingkaran kemiskinan.
"Satu, program PKH sudah bagus. Dua, akses ke pendidikan wajib diberikan seperti sekolah gratis untuk penduduk miskin dan sekolah vokasi. Ketiga, akses ke kesehatan gratis. Namun dalam mencapai itu, ada rintangan berat yaitu defisit BPJS yang bisa memberikan akses kesehatan gratis," ujar Rusli.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada September 2018 terus turun menjadi 9,66 persen dibandingkan Maret 2018 yang mencapai 9,82 persen. Persentase kemiskinan turun sebesar 0,16 persen poin di September 2018 dari Maret 2018 dan 0,46 persen poin dibandingkan September 2017," kata Kepala BPS Suhariyanto saat jumpa pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa.
Secara jumlah, penduduk miskin pada September 2018 mencapai 25,67 juta orang, menurun 0,28 juta orang terhadap Maret 2018 dan menurun 0,91 juta orang terhadap September 2017.
Baca juga: Mensos: Kebijakan yang tepat jadi kunci penurunan tingkat kemiskinan
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019
Tags: