Oleh Arnaz Firman *)

Jakarta (ANTARA News) - Idrus Marham, yang dulu populer sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Golongan Karya dan wakil rakyat yang "terhormat" di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kini harus duduk di "kursi pesakitan" sebagai seorang terdakwa yang menghadapi persidangan kasus korupsi.

Idrus, yang pada awal tahun 2018 diberi amanah sebagai menteri sosial, pada bulan Agustus 2018 itu juga telah menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden Joko Widoodo, untuk lebih berkonsentrasi dalam menghadapi kasus hukum yang menjeratnya.

Pada hari Selasa, 15 Januari 2019, dimulailah sidang perdana Idrus sebagai seorang terdakwa yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau I.

Dalam persidangan itu, Jaksa KPK Lie Putra Setiawan mendakwa orang dekat mantan ketua DPR dan juga mantan ketua DPP Partai Golkar Setya Novanto itu telah menerima suap yang jumlahnya tidak kurang dari Rp2,5 miliar dari seorang pengusaha beken, Johannes Budisutrisno Kotjo.

Uang ini diduga keras berasal dari pemilik saham PT Black Gold Natural Limited yang "sangat ambisius" menjadi kontraktor PLTU Riau I itu, yang nilainya sangat aduhai yakni Rp12,8 triliun. Tidak hanya Idrus, kasus ini pun ikut menyeret nama anggota DPR lainnya, Eni Maulani Saragih.

Eni yang menjadi anggota Komisi VII DPR disebut-sebut memiliki ambisi pribadi karena anggota keluarganya berminat menjadi bupati Temanggung, Jawa Tengah.

Jaksa Lie Putra Setiawan dengan jelas dan sistematis menguraikan cara kerja Idrus Marham dan Eni Saragih, misalnya dengan melakukan pendekatan terhadap Direktur Utama PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basyir.

Kasus Idrus ini sedikit banyaknya akan membuat citra dan kehormatan lembaga negara perwakilan rakyat itu semain anjlok alias turun drastis.

Rakyat Indonesia pasti tak bisa melupakan betapa ketua DPR merangkap ketua umum DPP Golkar Setya Novanto terjerembab pada kasus korupsi pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-e) yang nilainya triliunan rupiah. Akhirnya Setya Novanto divonis dengan hukuman penjara tidak kurang dari 15 tahun hukuman penjara.

Belum lagi, nama-nama wakil rakyat yang terhormat seperti Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum serta Mohammad Nazaruddin.

Bahkan ada kasus yang menyesakkan rakyat terutama umat Islam ketika ada wakil rakyat di Senayan, Jakarta yang berkomplot dengan segelintir pejabat Kementerian Agama dalam proyek pembuatan atau pencetakan kitab suci Al Quran.

Sampai detik ini masih ada segelintir wakil rakyat di Senayan yang sedang diperiksa KPK akibat sejumlah kasus.

Catatan tersebut merupakan segelintir contoh kasus yang melibatkan wakil rakyat di DPR RI. Di sejumlah daerah pun, para pejabat negara termasuk wakil-wakil rakyat tingkat lokal mulai dari provinsi, kota serta kabupaten tidak sedikit yang terlibat kasus korupsi.

Saat ini, gubernur Jambi Zumi Zola misalnya sedang berada di meja hijau gara-gara menyuap puluhan anggota DPRD Provinsi Jambi.

Sebelumnya, puluhan anggota dan mantan anggota DPRD Sumatera Utara disuap oleh mantan gubernur Sumut Gatot Pudjo Nugroho.

Sementara itu, hampir semua anggota DPRD Kabupaten Malang, Jawa Timur, diduga terlibat kasus uang "haram" dari Pemerintah Kabupaten Malang tersebut.

Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi
Baca juga: DPR soroti nota kesepahaman kejaksaan terkait penanganan korupsi

Pemilu bermartabat

Tanpa terasa pada tanggal 17 April 2019 akan berlangsung pemilihan umum mulai dari pemilihan anggota DPD RI, DPR RI, DPRD provinsi hingga DPRD kabupaten dan kota. Anggota DPD saja misalnya saat ini terdiri atas empat orang untuk setiap provinsi.

Kemudian jumlah anggota DPR RI sekarang berjumlah 460 orang yang dijadwalkan akan bertambah sekitar 30 orang. Kemudian karena di Tanah Air terdapat 514 kota dan kabupaten maka bisa dibayangkan akan muncul ribuan anggota DPRD kota dan kabupaten.

Karena di Indonesia terdapat 34 provinsi maka akan muncul ratusan anggota DPRD yang baru maupun yang "tetap bertahan" sehingga Pemilu 2019 akan melahirkan banyak sekali wakil-wakil rakyat yang terhormat.

Jika melihat data Komisi Pemilihan (KPU) bahwa terdapat tidak kurang dari 192,8 juta pemilih maka pertanyaaan mendasarnya adalah dengan begitu banyaknya wakil rakyat yang masuk bui di lembaga pemasyarakatan, apakah sejarah kelam itu akan terulang, setelah terlaksananya Pemilu 2019 mendatang?

Sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri adalah untuk menjadi wakil rakyat selain dibutuhkan dukungan partai politik dan pimpinannya, juga sangat diperlukan uang untuk mendanai kampanye.

Contoh gampangnya adalah jika misalnya si A berniat menjadi anggota DPR RI dari Provinsi Papua ataupun Papua Barat, maka dia pasti harus berkampanye berkeliling provinsi itu.

Karena banyak daerah di Papua yang belum memiliki jalan sedangkan satu-satunya modal yang paling mudah adalah dengan menaiki pesawat udara maka calon wakil rakyat itu harus terbang kemana-mana dengan angkutan udara itu.

Tentu saja biayanya tak terbilang mahalnya. Belum lagi dia mau tidak mau harus menyediakan poster, spanduk dan berbagai alat peraga kampanyenya yang pasti tak murah.

Jadi, untuk menjadi wakil rakyat diperlukan dukungan politik dan para pemimpin serta tokoh-tokoh partai politik, serta tak ketinggalan "setumpuk duit" yang harus siap sedia.

Karena itu, semua calon harus siap, baik kalau terpilih ataupun sebaliknya, gagal menjadi wakil rakyat.

Selain itu, semua calon wakil rakyat itu jika nantinya terpilih untuk duduk di "kursi empuknya" harus mau menandatangani perjanjian yang sekarang lazim disebut pakta integritas untuk benar-benar mau menjadi wakil rakyat yang 100 persen bebas dari korupsi, kolusi, serta nepotisme (KKN), tidak seperti senior-senior mereka yang sekarang mendekam di "hotel prodeo" sebagai narapidana.

Menjadi wakil rakyat hanya lima tahun. Oleh karena itu, manfaatkanlah waktu lima tahun itu untuk benar-benar berdarma bakti kepada seluruh rakyat Indonesia.

Jangan sedikitpun juga berkhianat kepada rakyat yang telah memberikan amanah dan kepercayaan.

Baca juga: Prof Mahfud MD tidak setuju hak imunitas DPR
Baca juga: Setnov beberkan aliran uang ke Banggar DPR