Jakarta (ANTARA News) - Peneliti agro ekonomi dari Institut Pertanian Bogor Agus Pakpahan mengatakan upaya revitalisasi pabrik gula masih terhambat oleh lahan tebu yang makin terbatas.

"Ini tidak terlepas dari ketersediaan bahan baku. Revitalisasi hasilnya nol kalau tidak ada yang digiling," kata Agus dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Kamis.

Agus mengatakan keberadaan pabrik gula dan perkebunan tebu saat ini tidak homogen, sehingga terdapat tempat yang kelebihan pasokan, namun juga ada yang kekurangan.

"Secara umum, kekurangan bahan baku karena terjadi penurunan luas area tanam," ujarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, luas perkebunan tebu terlihat menyusut, karena lahan tebu pada 2014 yang tercatat mencapai 478.108 hektare, mengecil menjadi 453.456 hektare pada 2017.

Selain itu, menurut Agus, kebijakan yang ada saat ini tidak mampu membuat para petani bergairah untuk menanam tebu, sehingga tidak mengherankan, apabila pabrik gula melakukan impor "raw sugar" untuk mengoptimalkan utilitas pabrik.

Dalam kesempatan terpisah, pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Salamuddin Daeng juga mengatakan impor gula untuk menutupi pasokan membuat para petani malas menanam tebu.

"Mereka malas menanam tebu karena harganya murah, jadi kalau pemerintah mau membenahi masalah gula di beberapa bulan terakhir, harus mau belajar dari sejarah, sebetulnya politik gula yang harus diperbaiki," ujarnya.

Menurut dia, pembenahan harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya kepada perbaikan pabrik gula, namun juga disertai oleh perlindungan bagi petani tebu.

"Perbaikan atau pembangunan tidak akan efisien, karena petani tidak diberikan subsidi dan perlindungan. Di Indonesia, bentuk bansos itu semua ke petani, jadi lebih ke politis, dan tidak berpengaruh ke perkembangan pertanian," jelasnya.

Baca juga: Pabrik Gula Asembagus Situbondo tunda giling tebu dua bulan

Baca juga: Kemenperin dorong perkebunan tebu luar Jawa menunjang pabrik gula