Polri sebut penyebaran hoaks dimulai dari grup "WhatsApp"
15 Januari 2019 19:06 WIB
(Dari kiri ke kanan) Muhammad Farhan, sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Rosarita Niken Widyastuti, Kepala Satgas Nusantara Polri Irjen Polisi Gatot Edi Pramono, peneliti Lembaga kajian Sosiologi Universitas Indonesia (UI) Lugina Setyawati, dan Dirjen Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kemenkum HAM Dhahana Putra, dalam satu diskusi di Jakarta pada Selasa (15/1) mengenai informasi hoaks menjelang Pemilu 2019 dan penegakkan hukumnya. (ANTARA/Maria Rosari)
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Satgas Nusantara Polri Irjen Polisi Gatot Edi Pramono mengatakan berdasarkan catatan kepolisian, sebagian besar informasi hoaks dimulai penyebarannya melalui grup pesan singkat "WhatsApp".
"Hoax dimulai dari grup 'WhatsApp' yang terenkripsi kemudian masuk ke media sosial dan televisi, itulah yang terjadi," ujar Gatot dalam suatu diskusi publik di Jakarta, Selasa.
Penyebaran hoaks dengan pesan singkat dalam jaringan paling banyak terjadi di Indonesia mengingat jumlah penduduk yang menggunakan telepon selular berjumlah 174 juta dan yang langsung terhubung dengan internet berjumlah 104 juta.
Tingginya jumlah pengguna telepon selular yang terhubung langsung dengan internet menjadikan masyarakat Indonesia harus mampu memfilter berita, ujar Gatot.
"Itu menjadi tantangan kita bersama, apalagi mengingat struktur sosial di Indonesia yang didominasi oleh masyarakat kelas bawah dengan literasi yang rendah," ujar Garot.
Gatot juga mengimbau masyarakat agar tidak lekas percaya dan menyebarkan informasi yang belum diketahui kebenarannya, apalagi bila informasi tersebut disebarkan melalui pesan singkat.
"Kalau menerima informasi jangan langsung disebarkan, tapi kita harus tabayun dahulu," imbaunya.
Lebih lanjut Gatot mengatakan Indonesia bisa meniru Malaysia atau Jerman yang memberikan sanksi bagi pemilik platform media sosial yang tidak bertanggung jawab dengan konten yang terdapat di dalamnya.
Gatot menceritakan bila terdapat platform di Jerman dengan konten yang berisi hoaks atau ujaran kebencian, akan mendapat teguran dari pemerintah setempat dan diminta untuk menurunkan konten tersebut, atau pemilik platform akan dikenai sanksi.
"Ini sebagai salah satu cara bahwa semua pihak harus bertanggung jawab atas penyebaran berita, di Indonesia seharusnya bisa seperti itu," pungkas Gatot.
"Hoax dimulai dari grup 'WhatsApp' yang terenkripsi kemudian masuk ke media sosial dan televisi, itulah yang terjadi," ujar Gatot dalam suatu diskusi publik di Jakarta, Selasa.
Penyebaran hoaks dengan pesan singkat dalam jaringan paling banyak terjadi di Indonesia mengingat jumlah penduduk yang menggunakan telepon selular berjumlah 174 juta dan yang langsung terhubung dengan internet berjumlah 104 juta.
Tingginya jumlah pengguna telepon selular yang terhubung langsung dengan internet menjadikan masyarakat Indonesia harus mampu memfilter berita, ujar Gatot.
"Itu menjadi tantangan kita bersama, apalagi mengingat struktur sosial di Indonesia yang didominasi oleh masyarakat kelas bawah dengan literasi yang rendah," ujar Garot.
Gatot juga mengimbau masyarakat agar tidak lekas percaya dan menyebarkan informasi yang belum diketahui kebenarannya, apalagi bila informasi tersebut disebarkan melalui pesan singkat.
"Kalau menerima informasi jangan langsung disebarkan, tapi kita harus tabayun dahulu," imbaunya.
Lebih lanjut Gatot mengatakan Indonesia bisa meniru Malaysia atau Jerman yang memberikan sanksi bagi pemilik platform media sosial yang tidak bertanggung jawab dengan konten yang terdapat di dalamnya.
Gatot menceritakan bila terdapat platform di Jerman dengan konten yang berisi hoaks atau ujaran kebencian, akan mendapat teguran dari pemerintah setempat dan diminta untuk menurunkan konten tersebut, atau pemilik platform akan dikenai sanksi.
"Ini sebagai salah satu cara bahwa semua pihak harus bertanggung jawab atas penyebaran berita, di Indonesia seharusnya bisa seperti itu," pungkas Gatot.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Tags: