Jakarta (ANTARA News) - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada September 2018 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Rasio Gini turun tipis menjadi 0,384.

"Angka ini menurun sebesar 0,005 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2018 yang sebesar 0,389. Sementara itu, jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2017 yang sebesar 0,391 turun sebesar 0,007 poin," kata Kepala BPS Suhariyanto saat jumpa pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa.

Rasio Gini di daerah perkotaan pada September 2018 tercatat sebesar 0,391, turun dibandingkan Maret 2018 yang sebesar 0,401 dan September 2017 yang sebesar 0,404.

Sementara itu, Rasio Gini di daerah perdesaan pada September 2018 tercatat sebesar 0,319, turun dibandingkan Maret 2018 yang sebesar 0,324 dan September 2017 yang sebesar 0,320.

Selain Rasio Gini, ukuran ketimpangan lain yang sering digunakan adalah persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah atau yang dikenal dengan ukuran Bank Dunia. Berdasarkan ukuran ini tingkat ketimpangan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tingkat ketimpangan tinggi jika persentase pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah angkanya di bawah 12 persen, ketimpangan sedang jika angkanya berkisar antara 12–17 persen, serta ketimpangan rendah jika angkanya berada di atas 17 persen.

Pada September 2018, persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 17,47 persen yang berarti ada pada kategori ketimpangan rendah. Kondisi ini naik jika dibandingkan dengan Maret 2018 yang sebesar 17,29 persen dan September 2017 yang sebesar 17,22 persen.

"Hal ini memberikan arti bahwa secara nasional telah terjadi perbaikan tingkat ketimpangan selama periode September 2017–September 2018," ujar Kecuk, panggilan akrabnya.

Dibedakan menurut daerah, pada September 2018 persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah perkotaan adalah sebesar 16,79 persen. Sementara persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah perdesaan tercatat sebesar 20,43 persen.

Dengan demikian, menurut kriteria Bank Dunia daerah perkotaan termasuk ketimpangan sedang sementara perdesaan termasuk ketimpangan rendah.

Beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap tingkat ketimpangan pengeluaran selama periode Maret 2018–September 2018 ada tiga hal. Pertama, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas), tercatat bahwa kenaikan rata-rata pengeluaran perkapita per bulan penduduk kelompok 40 persen terbawah dan 40 persen menengah meningkat lebih cepat dibanding penduduk kelompok 20 persen
teratas.

Secara nasional, kenaikan rata-rata pengeluaran perkapita Maret 2018–September 2018 untuk kelompok penduduk 40 persen terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen teratas berturut-turut adalah sebesar 3,55 persen, 3,4 persen, dan 1,28 persen.

Kedua, di perkotaan, kenaikan rata-rata pengeluaran perkapita per bulan penduduk kelompok 40 persen terbawah dan kelompok 40 persen menengah meningkat lebih cepat dibanding kelompok 20 persen teratas.

Kenaikan rata-rata pengeluaran perkapita Maret 2018– September 2018 untuk kelompok penduduk 40 persen terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen teratas berturut-turut adalah sebesar 4,49 persen, 3,94 persen, dan 0,56 persen.

Hal yang sama juga terjadi di perdesaan. Kenaikan rata-rata pengeluaran perkapita per bulan penduduk kelompok 40 persen terbawah dan 40 persen menengah meningkat lebih cepat dibanding penduduk kelompok 20 persen teratas.

Kenaikan rata-rata pengeluaran perkapita Maret 2018–September 2018 untuk kelompok penduduk 40 persen terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen teratas berturut-turut adalah sebesar 2,97 persen, 2,04 persen, dan 0,33 persen.

Baca juga: BPS catat penduduk miskin terus turun jadi 9,66 persen
Baca juga: BPS: Sejak 2015 tren inflasi relatif rendah