Jakarta (ANTARA News) - Saat disampaikan debat pertama capres-cawapres tentang hukum, HAM, korupsi dan terorisme tidak boleh membahas kasus yang dapat menyerang personal salah satu calon, muncul kekhawatiran debat akan berlangsung membahas hal normatif.

Tentu debat tidak akan menarik apabila malah menjadi seperti kelas pengantar untuk mahasiswa baru, meskipun dalihnya adalah yang terpenting gagasan utama para calon, bukan untuk sekedar show.

Kalau hanya disuguhi gagasan umum dan garis besar, masyarakat pun sudah bosan dan sering mendengar, kata Binar (28), salah satu warga Ibu Kota.

"Aku ingin semua membahas isu-isu yang benar-benar spesifik, tidak melulu normatif dan umum," ujar pegawai salah satu perusahaan produsen kertas itu.

Isu hukum misalnya, Binar ingin isu yang yang dibahas spesifik dan menyentuh fenomena yang masyarakat ingin pahami, misalnya kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang sampai sekarang belum diketahui aktor intelektualnya.

Ia mengaku isu-isu yang paling dinantikan dalam debat adalah soal terorisme karena ia ingin tahu seperti apa kedua kubu berani terbuka dalam mengupas dan memberantas terorisme. Sebagai contoh, ia ingin para calon membahas detail penanganan OPM dan kelompok radikal tertentu.

Harapan lain untuk debat pertama adalah meskipun terdapat perbedaan gagasan, tidak terjadi debat kusir, melainkan debat dengan permainan yang apik, adu otak dan strategi.

Hal yang sama dikatakan Tian (27), salah satu aparatur sipil negara di Ibu Kota, yang ingin agar tidak terjadi saling tuding antarcalon sehingga lupa mengedepankan penjelasan program sendiri.

"Yang beneran nampilin program ke depan, jangan malah adu mulut, saling adu domba, cari kambing hitam atau apalah itu. Kan kesel kalau nggak fokus," ujar generasi milenial yang tinggal di Jakarta Selatan itu.

Menurut dia, yang paling penting dari debat itu adalah tidak hanya diucapkan setelah itu selesai, melainkan juga ada komitmen untuk menjalankannya, misalnya dalam pemberantasan korupsi.

Terkait akankah debat itu mempengaruhi pilihannya pada salah satu calon, Tian mengaku ragu.


Pesimisme debat akan jawab masalah

Tujuan debat capres-cawapres untuk paslon tidak lain adalah meraih peluang mempengaruhi pemilih yang belum menentukan pilihan dan pemilih mengambang atau swing voters yang diperkirakan sebesar 10 persen.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyadari isu hukum dan HAM selalu muncul menjelang pemilihan presiden dan dijadikan komoditas untuk merebut dukungan suara dari korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang hanya menjadi pelengkap dari tahapan debat.

Untuk itu, masuknya agenda hukum dan HAM sebagai topik debat disebut Kontras tidak menjadi ukuran HAM menjadi prioritas dua pasangan calon.

"Debat capres tidak menjawab kasus pelanggaran HAM yang menjadi perhatian publik selama ini," kata Koordinator Kontras Yati Andriyani dalam diskusi di Kantor Kontras di Jakarta, Jumat (11/1).

Yati Andiyani mengatakan untuk menguji keseriusan pemerintah berkuasa menjadikan isu HAM sebagai prioritas tidak cukup hanya dengan pembahasan dan jawaban yang retoris dan normatif dalam debat, melainkan dengan persoalan yang terjadi.

Ekspektasi publik pada debat pun dinilainya tidak terpenuhi karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang cenderung akomodatif dan kompromis pada tim kampanye dua pasangan calon dengan memberikan kisi-kisi sebelum debat, tiadanya pembacaan visi misi serta dalam debat tidak diperkenankan menyampaikan persoalan kasuistik.

Alasan KPU agar tidak ada yang dipermalukan dalam debat justru mereduksi esensi tema HAM yang dapat berdampak pada orisinalitas gagasan, pandangan dan kualitas debat karena jawaban telah disiapkan oleh tim masing-masing.

"Cenderung bersifat hafalan dalam debat yang dilakukan, padahal ajang debat momen menguji rekam jejak pasangan dalam HAM," kata Yati.

Kontras menyebut substansi dan esensi persoalan HAM jauh dari radar pembahasan dua tim pemenangan dan perdebatan di tataran elit nasional tidak menunjukkan geliat untuk menjadikan pemilu momentum perbaikan penegakan hukum, demokratisasi, terlebih perlindungan HAM.

Menurut dia, terdapat potensi memburuknya kondisi hukum dan HAM lima tahun ke depan siapa pun yang terpilih pada 2019 sehingga Kontras tidak banyak menaruh harapan akan hadir komitmen-komitmen baru dari calon untuk agenda-agenda HAM.

Setali tiga uang, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pun mengaku pesimistis debat dengan tema hukum dan HAM akan disertai komitmen dari para calon untuk melakukan perubahan hukum yang lebih baik.

"Sebetulnya kami curiga debat ini tidak punya korelasi yang serius dengan apa yang kita lihat dari masa ke masa," kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati.

Apabila dokumen visi-misi sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi presiden dan wakil presiden saja tidak dijalankan, ujar dia, apalagi perkataan dalam debat.


Beranikah capres-cawapres lakukan perubahan?

Debat pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mengangkat tema penegakam hukum dan HAM, pemberantasan korupsi serta terorisme pada 17 Januari 2018 diharapkan berbagai pihak tidak lalu jadi cuap-cuap yang menguap di udara, tetapi juga disertai komitmen dan perubahan.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat menjadi hal yang mutlak dilakukan presiden dan wakil presiden terpilih nanti karena masih menjadi utang negara yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, padahal berkasnya hingga kini masih diping-pong bolak balik Komnas HAM-Jaksa Agung.

Selain itu persoalan HAM yang cenderung masih dihindari penyelesaiannya berdasar catatan YLBHI, Komnas HAM dan Kontras adalah perlindungan kelompok rentan dan minoritas pemeluk agama dan kepercayaan, implementasi pengadilan HAM, reformasi peradilan militer, kriminalisasi pembela HAM serta kebebasan berkumpul dan dan berpendapat.

Untuk persoalan di bidang hukum itu, Asfinawati mempertanyakan beranikah nantinya para capres mencabut hukum yang meminggirkan kelompok minoritas keagamaan seperti Pasal 165a UU PN/PS Nomor1 Tahun 1965.

Persoalan bisnis dan HAM, seperti hak atas pembangunan pun menjadi tugas yang harus dijalankan, yakni saat melakukan pembangunan tidak mengabdi pada pemilik modal atau keuntungan yang didapatkan negara, tetapi keuntungan yang didapatkan rakyat.

Hal tersebut karena seringkali pendapatan negara tidak berkorelasi dengan pendapatan rakyat, misalnya pendirian pabrik semen yang merebut sawah rakyat, padahal rakyat sudah sejahtera.

Selanjutnya, menurut dia, diperlukan perubahan hukum acara pidana di Indonesia sehingga tidak memakan korban karena orang yang dijadikan tersangka pasti akan masuk penjara.

Selain itu, ia mempertanyakan akankah debat disertai komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi. Contohnya ketika terdapat serangan pada KPK, presiden harus berani mengambil tindakan.

"Apakah mereka nanti berani mengajukan perubahan itu?" kata Asfinawati.

Baca juga: Indonesia-Jepang tandatangani memorandum kerja sama hukum-HAM
Baca juga: Gerindra berikan catatan kritis penegakan hukum dan HAM
Baca juga: YLBHI soroti reforma agraria tidak selesaikan sengketa lahan