Mantan penghuni ungkap aktivitas di kamp vokasi Uighur
12 Januari 2019 17:49 WIB
Anggota DPR Almuzzammil Yusuf (batik merah), Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur (Uighur), Seyit Tumturk (jas biru), mantan penghuni kamp Gulbachar Jalilova, dan Jubir Amnesti Internasional Indonesia Haeril Ilham hadir dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu, mengenai kondisi muslim Uighur di China. (ANTARA/Indriani)
Jakarta (ANTARA News) - Gulbachar Jalilova (54), yang pernah menjadi penghuni kamp bagi muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, mengaku kesulitan beribadah selama 16 bulan berada di tempat yang oleh pemerintah China disebut sebagai fasilitas pendidikan keterampilan itu.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu, Gulbachar mengungkapkan bahwa penghuni kamp yang ketahuan melakukan gerakan atau aktivitas yang dicurigai berhubungan dengan ibadah menghadapi risiko penyiksaan.
"Sejak pagi hingga malam penghuni kamp harus berdiri menghadap dinding, ada kamera pengawasannya, di dinding itu video Presiden Xi Jinping," kata Gulbachar.
Gulbachar, yang berasal dari Kazakhstan dan menghabiskan hampir 20 tahun berbisnis di perbatasan Cina-Kazakhstan, mengaku menjalani penahanan di kamp tersebut selama 16 bulan tanpa alasan jelas.
"Saya ditangkap pada Mei 2017 di Urumqi dengan tuduhan mentransfer dana secara ilegal," katanya.
Di kamp, dia mendapati warga muslim Uighur yang dibawa ke sana tanpa alasan jelas: ada yang yang ditahan karena mereka salat, berpuasa atau menjalankan perintah agama lainnya; memiliki Alquran di rumah; atau menyimpan foto masjid di telepon seluler.
Ia juga mengemukakan bahwa kehidupan di kamp sangat berat, dengan banyak tahanan menghadapi siksaan dan mendapat jatah makan dan minum terbatas.
"Berat badan saya turun hingga 20 kilogram selama di kamp," katanya.
Gulbachar, yang bisa keluar dari kamp berkat lobi keluarga dan pemerintah Kazakhstan, mengatakan dia diinterogasi setelah tiga bulan berada di kamp dan mengungkapkan bahwa di antara penghuni kamp aka yang diinterogasi setelah satu tahun berada di sana.
Menurut dia rata-rata penghuni kamp tersebut berusia 14 tahun hingga 80 tahun.
Risiko Penghuni Kamp
Gulbachar mengatakan penghuni kamp tidak hanya menghadapi risiko penyiksaan, namun juga hukuman mati.
"Saya pernah dibawa ke rumah sakit setelah disiksa, dan mendengar seorang perempuan akan dibebaskan. Padahal sebenarnya dia itu akan dihukum mati," kata dia.
Ia menambahkan bahwa setiap pekan penghuni kamp diambil darahnya, namun mereka tidak tahu tujuannya. Ia berharap dunia internasional mendesak pemerintah China menghentikan pengoperasian kamp tersebut.
Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur (Uighur) Seyit Tumturk mengatakan setidaknya ada sekitar tiga juta warga muslim Uighur yang mengalami penahanan, termasuk anak-anak.
Dia juga mengatakan bahwa masjid-masjid di Xinjiang, tempat warga Uighur tinggal, sebagian besar sudah dihancurkan. "Sekitar 90 persen masjid di Xinjiang sudah dihancurkan. Hanya sedikit yang dibolehkan berdiri," katanya.
Tumturk juga mengutuk program pemerintah China memasukkan warga etnis China lain ke rumah Muslim Uighur dalam upaya mengendalikan kehidupan Muslim Uighur.
Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lebih dari satu juta etnis minoritas muslim Uighur berada di kamp pelatihan yang dibangun oleh pemerintah China, yang menyebut kamp tersebut sebagai tempat pelatihan vokasi bagi masyarakat Muslim Uighur.
Baca juga:
Muslim Uighur pun ikut bantu korban tsunami Selat Sunda
Muhammadiyah dorong China jadikan Xinjiang tempat terbuka
Dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu, Gulbachar mengungkapkan bahwa penghuni kamp yang ketahuan melakukan gerakan atau aktivitas yang dicurigai berhubungan dengan ibadah menghadapi risiko penyiksaan.
"Sejak pagi hingga malam penghuni kamp harus berdiri menghadap dinding, ada kamera pengawasannya, di dinding itu video Presiden Xi Jinping," kata Gulbachar.
Gulbachar, yang berasal dari Kazakhstan dan menghabiskan hampir 20 tahun berbisnis di perbatasan Cina-Kazakhstan, mengaku menjalani penahanan di kamp tersebut selama 16 bulan tanpa alasan jelas.
"Saya ditangkap pada Mei 2017 di Urumqi dengan tuduhan mentransfer dana secara ilegal," katanya.
Di kamp, dia mendapati warga muslim Uighur yang dibawa ke sana tanpa alasan jelas: ada yang yang ditahan karena mereka salat, berpuasa atau menjalankan perintah agama lainnya; memiliki Alquran di rumah; atau menyimpan foto masjid di telepon seluler.
Ia juga mengemukakan bahwa kehidupan di kamp sangat berat, dengan banyak tahanan menghadapi siksaan dan mendapat jatah makan dan minum terbatas.
"Berat badan saya turun hingga 20 kilogram selama di kamp," katanya.
Gulbachar, yang bisa keluar dari kamp berkat lobi keluarga dan pemerintah Kazakhstan, mengatakan dia diinterogasi setelah tiga bulan berada di kamp dan mengungkapkan bahwa di antara penghuni kamp aka yang diinterogasi setelah satu tahun berada di sana.
Menurut dia rata-rata penghuni kamp tersebut berusia 14 tahun hingga 80 tahun.
Risiko Penghuni Kamp
Gulbachar mengatakan penghuni kamp tidak hanya menghadapi risiko penyiksaan, namun juga hukuman mati.
"Saya pernah dibawa ke rumah sakit setelah disiksa, dan mendengar seorang perempuan akan dibebaskan. Padahal sebenarnya dia itu akan dihukum mati," kata dia.
Ia menambahkan bahwa setiap pekan penghuni kamp diambil darahnya, namun mereka tidak tahu tujuannya. Ia berharap dunia internasional mendesak pemerintah China menghentikan pengoperasian kamp tersebut.
Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur (Uighur) Seyit Tumturk mengatakan setidaknya ada sekitar tiga juta warga muslim Uighur yang mengalami penahanan, termasuk anak-anak.
Dia juga mengatakan bahwa masjid-masjid di Xinjiang, tempat warga Uighur tinggal, sebagian besar sudah dihancurkan. "Sekitar 90 persen masjid di Xinjiang sudah dihancurkan. Hanya sedikit yang dibolehkan berdiri," katanya.
Tumturk juga mengutuk program pemerintah China memasukkan warga etnis China lain ke rumah Muslim Uighur dalam upaya mengendalikan kehidupan Muslim Uighur.
Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lebih dari satu juta etnis minoritas muslim Uighur berada di kamp pelatihan yang dibangun oleh pemerintah China, yang menyebut kamp tersebut sebagai tempat pelatihan vokasi bagi masyarakat Muslim Uighur.
Baca juga:
Muslim Uighur pun ikut bantu korban tsunami Selat Sunda
Muhammadiyah dorong China jadikan Xinjiang tempat terbuka
Pewarta: Indriani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019
Tags: