Samudra-samudra dunia menghangat lebih cepat menurut studi
11 Januari 2019 07:29 WIB
Arsip Foto. Kapal pencari ikan yang melayari Samudra Hindia terlihat dari udara di sisi Utara Pulau Chrismast, Australia, di wilayah perairan Indonesia. (FOTO ANTARA/Ismar Patrizki)
Jakarta (ANTARA News) - Laju penghangatan samudra-samudra dunia semakin cepat sementara pemanasan global mengancam beragam kehidupan laut dan pasokan pangan utama bagi planet bumi menurut hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Amerika Serikat, Science.
Hasil studi pimpinan the Chinese Academy of Sciences itu menepis laporan-laporan sebelumnya yang menyebut adanya jeda pemanasan global dalam beberapa tahun terakhir.
Teknologi terkini menunjukkan bahwa hiatus semacam itu tidak pernah ada, meningkatkan kekhawatiran baru mengenai laju perubahan iklim dan efeknya ke penyangga utama planet ini: samudra.
"Penghangatan samudra merupakan indikator perubahan iklim yang sangat penting, dan kami punya bukti kuat bahwa ini menghangat lebih cepat dari yang kita perkirakan," kata Zeke Hausfather, salah satu penulis studi dari Kelompok Energi dan Sumber Daya di University of California, Berkeley.
Sekitar 93 persen ekses panas -- yang terperangkap di sekeliling Bumi oleh gas-gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil-- terkumpul di samudra-samudra dunia.
"Sinyal pemanasan global jauh lebih mudah dideteksi kalau ada perubahan di samudra ketimbang di permukaan," kata Hausfather.
Ia mengatakan 2018 akan menjadi tahun dengan panas permukaan tertinggi keempat dalam sejarah pada permukaan, dan hampir pasti menjadi yang terpanas dalam sejarah samudra, seperti tahun 2017 dan 2016.
Hasil analisis yang baru menunjukkan laju penghangatan dalam samudra sejalan dengan pengukuran peningkatan temperatur udara. Dan kalau tidak ada yang dilakukan untuk mengurangi gas rumah kaca, "model memprediksi temperatur 2.000 meter bagian teratas samudra-samudra dunia akan naik 0,78 derajat Celsius pada akhir abad ini".
Ekspansi thermal -- peningkatan volume air saat menghangat -- akan menaikkan permukaan air laut hingga 12 inchi atau 30 centimeter, di atas peningkatan muka air laut akibat mencairnya gletser dan lapisan es.
Laporan terkini bersandar pada empat studi yang dipublikasikan antara tahun 2014 dan 2017, yang memberikan estimasi lebih akurat mengenai tren penghangatan samudra, memungkinkan para ilmuwan memperbarui riset dan menajamkan prediksi untuk masa depan.
Satu faktor kunci dalam capaian akurasi tersebut adalah armada monitoring samudra yang disebut Argo, yang mencakup hampir 4.000 robot apung yang "mengambang di berbagai penjuru samudra dunia, dan setiap beberapa hari menyelam ke kedalaman 2.000 meters dan mengukur temperatur, pH, salinitas dan informasi lain di samudra" menurut laporan yang dikutip kantor berita AFP.
Argo menurut laporan itu "telah memberikan data konsisten dan luas mengenai penghangatan samudra sejak pertengahan tahun 2000".
Baca juga:
Temperatur perairan pantai Spanyol capai rekor
Gunung es seukuran Manhattan pecah di Antarktika
Muka laut naik lebih tinggi dalam 150 tahun terakhir
Hasil studi pimpinan the Chinese Academy of Sciences itu menepis laporan-laporan sebelumnya yang menyebut adanya jeda pemanasan global dalam beberapa tahun terakhir.
Teknologi terkini menunjukkan bahwa hiatus semacam itu tidak pernah ada, meningkatkan kekhawatiran baru mengenai laju perubahan iklim dan efeknya ke penyangga utama planet ini: samudra.
"Penghangatan samudra merupakan indikator perubahan iklim yang sangat penting, dan kami punya bukti kuat bahwa ini menghangat lebih cepat dari yang kita perkirakan," kata Zeke Hausfather, salah satu penulis studi dari Kelompok Energi dan Sumber Daya di University of California, Berkeley.
Sekitar 93 persen ekses panas -- yang terperangkap di sekeliling Bumi oleh gas-gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil-- terkumpul di samudra-samudra dunia.
"Sinyal pemanasan global jauh lebih mudah dideteksi kalau ada perubahan di samudra ketimbang di permukaan," kata Hausfather.
Ia mengatakan 2018 akan menjadi tahun dengan panas permukaan tertinggi keempat dalam sejarah pada permukaan, dan hampir pasti menjadi yang terpanas dalam sejarah samudra, seperti tahun 2017 dan 2016.
Hasil analisis yang baru menunjukkan laju penghangatan dalam samudra sejalan dengan pengukuran peningkatan temperatur udara. Dan kalau tidak ada yang dilakukan untuk mengurangi gas rumah kaca, "model memprediksi temperatur 2.000 meter bagian teratas samudra-samudra dunia akan naik 0,78 derajat Celsius pada akhir abad ini".
Ekspansi thermal -- peningkatan volume air saat menghangat -- akan menaikkan permukaan air laut hingga 12 inchi atau 30 centimeter, di atas peningkatan muka air laut akibat mencairnya gletser dan lapisan es.
Laporan terkini bersandar pada empat studi yang dipublikasikan antara tahun 2014 dan 2017, yang memberikan estimasi lebih akurat mengenai tren penghangatan samudra, memungkinkan para ilmuwan memperbarui riset dan menajamkan prediksi untuk masa depan.
Satu faktor kunci dalam capaian akurasi tersebut adalah armada monitoring samudra yang disebut Argo, yang mencakup hampir 4.000 robot apung yang "mengambang di berbagai penjuru samudra dunia, dan setiap beberapa hari menyelam ke kedalaman 2.000 meters dan mengukur temperatur, pH, salinitas dan informasi lain di samudra" menurut laporan yang dikutip kantor berita AFP.
Argo menurut laporan itu "telah memberikan data konsisten dan luas mengenai penghangatan samudra sejak pertengahan tahun 2000".
Baca juga:
Temperatur perairan pantai Spanyol capai rekor
Gunung es seukuran Manhattan pecah di Antarktika
Muka laut naik lebih tinggi dalam 150 tahun terakhir
Pewarta: -
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019
Tags: