Pemerintah diminta bujuk dua BUMN ikuti lelang obat AIDS
11 Januari 2019 01:08 WIB
Obat Antiretroviral Fixed Dose Combination jenis Tenofovir, Lamivudin, Efavirens (ARV FDC TLE) yang digunakan untuk terapi pengobatan orang dengan HIV AIDS (ODHA). (ANTARA News/ Anita Permata Dewi)
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana meminta pemerintah untuk mendorong dua BUMN yakni Kimia Farma dan Indofarma Global Medika agar mau mengikuti lelang terbatas dan menurunkan harga jual obat penderita HIV AIDS.
Obat yang dimaksud adalah obat Antiretroviral Fixed Dose Combination jenis Tenofovir, Lamivudin, Efavirens (ARV FDC TLE).
Pasalnya program pengadaan obat ARV TLE yang melibatkan dua peserta tender yakni Kimia Farma dan Indofarma pada 2018, gagal terlaksana karena tidak menemukan titik temu harga dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan.
Selain itu pihaknya juga meminta agar dua BUMN ini bersedia menurunkan harga obat.
Selama ini, kata dia, kedua perusahaan BUMN ini mendapatkan keuntungan besar dari penjualan obat ARV TLE ini.
"Obat yang di pasaran Internasional bisa didapatkan dengan harga Rp112.000, tapi dijual dengan harga Rp404 ribu oleh Kimia Farma kepada pemerintah," katanya.
Aditya mengatakan, tingginya keuntungan yang diperoleh Kimia Farma itu telah menyebabkan pemborosan uang negara sebesar kurang lebih Rp210 milliar setiap tahunnya.
"Jika harga bisa ditekan, maka potensi efisiensi ini bisa digunakan untuk menambah pasien ODHA sebanyak 150 ribu hingga 200 ribu orang yang mendapatkan akses obat ARV TLE ini," katanya.
Selain itu, pihaknya juga mendorong pabrikan lain untuk ikut terlibat dalam proses pengadaan obat ARV TLE ini.
"Agar iklim kompetisi sehat dan tidak dimonopoli," tuturnya.
Baca juga: Orang dengan HIV AIDS terancam tidak bisa konsumsi obat antiretroviral
Baca juga: HIV/AIDS penyakit yang bisa ditangani maksimal
Obat yang dimaksud adalah obat Antiretroviral Fixed Dose Combination jenis Tenofovir, Lamivudin, Efavirens (ARV FDC TLE).
Pasalnya program pengadaan obat ARV TLE yang melibatkan dua peserta tender yakni Kimia Farma dan Indofarma pada 2018, gagal terlaksana karena tidak menemukan titik temu harga dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan.
Selain itu pihaknya juga meminta agar dua BUMN ini bersedia menurunkan harga obat.
Selama ini, kata dia, kedua perusahaan BUMN ini mendapatkan keuntungan besar dari penjualan obat ARV TLE ini.
"Obat yang di pasaran Internasional bisa didapatkan dengan harga Rp112.000, tapi dijual dengan harga Rp404 ribu oleh Kimia Farma kepada pemerintah," katanya.
Aditya mengatakan, tingginya keuntungan yang diperoleh Kimia Farma itu telah menyebabkan pemborosan uang negara sebesar kurang lebih Rp210 milliar setiap tahunnya.
"Jika harga bisa ditekan, maka potensi efisiensi ini bisa digunakan untuk menambah pasien ODHA sebanyak 150 ribu hingga 200 ribu orang yang mendapatkan akses obat ARV TLE ini," katanya.
Selain itu, pihaknya juga mendorong pabrikan lain untuk ikut terlibat dalam proses pengadaan obat ARV TLE ini.
"Agar iklim kompetisi sehat dan tidak dimonopoli," tuturnya.
Baca juga: Orang dengan HIV AIDS terancam tidak bisa konsumsi obat antiretroviral
Baca juga: HIV/AIDS penyakit yang bisa ditangani maksimal
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Tags: