Serpong, (ANTARA News) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memfungsikan laboratorium uji panel surya sebagai upaya meningkatkan bauran energi terbarukan dari 5 persen tahun 2015 menjadi 23 persen tahun 2025.

"Melalui laboratorium ini maka seluruh panel surya yang akan beredar di Indonesia harus lolos uji terlebih dahulu agar tercapainya efisiensi biaya produksi," kata Deputi bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT, Eniya Listiani di Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Rabu.

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan seluruh industri di dalam negeri termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun PLN untuk melakukan pengujian terlebih dahulu terhadap panel surya yang disediakan para vendor agar sesuai standar, jelas Eniya.

Apalagi, jelas Eniya sebagian besar panel surya ini masih didatangkan dari luar negeri sehingga untuk mengetahui kualitasnya terlebih dahulu harus lolos uji laboratorium terlebih dahulu sebelum dipergunakan.

Dia mengatakan, laboratorium yang dibangun dengan investasi Rp50 miliar ini memiliki alat-alat penguji berstandar internasional ditujukan untuk memberikan dukungan dalam mewujudkan target 6,4 gigawatt peak (GWp) PLTS.

"Salah satu yang telah memanfaatkan layanan laboratorium yang berada di bawah naungan Balai Besar Teknologi Konservasi Energi (B2TKE) BPPT adalah PT Pembangkitan Jawa Bali ," ujarnya.

Menurut dia kehadiran laboratorium uji ini sangat penting mengingat standar efisien produksi untuk pembangkit surya rata-rata sudah tinggi mencapai 19 persen, bahkan tertinggi sudah ada 24 persen. Bandingkan 10 tahun lalu yang baru mencapai 12 persen.

Eniya belum dapat memastikan biaya untuk laboratorium uji baru ini, kalau sebelumnya hanya dikenakan Rp50 juta. Namun dengan alat berstandar internasional sekarang ini, untuk beberapa negara mengenakan biaya sampai Rp500 juta.

"Mungkin tidak sampai sebesar itu biayanya, tetapi harus lebih tinggi dari yang lama mengingat investasi alat-alat ini tidak murah," ujar dia.

Kepala B2TKE-BPPT, MM Sarinanto menjelaskan, laboratorium uji ini merupakan pertama di Indonesia serta diperuntukan bagi seluruh pemangku kepentingan terkait PLTS.


Lebih lanjut diungkapnya bahwa potensi pemanfaatan tenaga surya sebagai sumber energi terbarukan, cukup signifikan. Sebagaimana yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional,menargetkan adanya peningkatan bauran Energi Terbarukan dari 5 persen pada 2015 menjadi 23 persen pada 2025.

Dari target Energi Terbarukan 23 persen bauran energi nasional ini, proyeksi Pembangkit Listrik Tenaga Surya adalah sebesar 5000 MWp di 2019 dan 6400 MWp pada tahun 2025.

Kepala B2TKE BPPT juga menyebutkan pemanfaatan teknologi energi surya di Indonesia saat ini kian marak. Hingga tahun 2018, pemanfaatan energi surya melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) tercatat sebesar 94,42 MWp. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero), menargetkan penggunaan energi surya di Indonesia adalah hingga 1047 MegaWattpeak (MWp) sampai dengan tahun 2025.

“Untuk itulah, Laboratorium pengujian ini dijadikan rujukan oleh pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemberlakukan SNI wajib untuk SNI 61215," ujarnya.

Fasilitas laboratorium pengujian panel surya ini ini dilengkapi dengan 13 (tiga belas) unit peralatan utama diantaranya untuk mendeteksi cacat visual, uji stres untuk mengetahui daya maksimum, uji keselamatan, uji ketahanan, dan lain sebagainya.

Baca juga: Pesawat nirawak Alap-Alap PA-06D raih serfikat kelaikan produk militer