LPSK ingin perkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum
7 Januari 2019 22:26 WIB
Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengikuti upacara pengucapan sumpah jabatan di depan Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Senin (7/1/2019). Tujuh anggota LPSK periode 2018-2023 yakni Hasto Atmojo Suroyo, Brigjen Pol (Purn) Achmadi, Antonius Prijadi Soesilo Wibowo, Edwin Partogi Pasaribu, Livia Istania DF Iskandar, Maneger Nasution dan Susilaningtias mengucapkan sumpah jabatan untuk menjalankan tugas dalam rangka melindungi saksi dan korban. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc. (ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A)
Jakarta (ANTARA News) - Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengaku ingin memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas selama periode 2018-2023.
"Kami ingin memperkuat keberadaan LPSK di kalangan aparat penegak hukum (APH). LPSK kan titik utamanya kasus pidana, tentu kita harus punya hubungan yang baik dengan kepolisian dan kejaksaan karena mereka menjadi pintu pertama untuk korban, pelapor dalam melakukan pengaduan proses hukumnya," kata komisioner LPSK Edwin Partogi Pasaribu di kompleks Istana Keperesidenan Jakarta, Senin.
Pada Senin ini, Presiden Joko Widodo menyaksikan pengucapan sumpah tujuh Komisioner LPSK 2018-2023 yaitu Hasto Atmojo Suroyo, Brigjen Pol (Purn) Achmadi, Antonius Prijadi Soesilo Wibowo, Edwin Partogi Pasaribu, Livia Istiania DF Iskandar, Maneger Nasution dan Susilaningtias.
"Lalu apabila semakin banyak penegak hukum mengenal dan memahami tugas dan fungsi LPSK maka akan banyak korban, pelapor, saksi atau 'justice collaboratir' (saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum) yang direkomendasikan oleh penegak hukum kepada LPSK," tambah Edwin.
Selanjutnya LPSK juga ingin dapat memenuhi kebutuhan sandang, papan, pangan dan pekerjaan bagi para saksi dan korban yang mendapat perlindungan lembaga tersebut.
"Di sisi lain kita juga berharap di pengadilan ada ruang yang lebih akomodatif untuk korban. Kita sering melihat orang menunggu begitu lama dari jadwal pukul 09.00 WIB ternyata jadi pukul 14.00 WIB, tapi tidak ada ruang khusus bagi para saksi ataupun korban untuk menunggu selama itu," ungkap Edwin yang menjabat untuk periode kedua pada 2018-2023 ini.
Padahal di ruang tunggu terbuka seperti di pengadilan juga membuka pintu intervensi atau pengaruh dari pihak-pihak yang ingin mengubah keterangan saksi.
Namun untuk memenuhi program tersebut, Edwin mengaku bahwa kelembagaan di LPSK juga masih terbatas, misalnya saat ini sumber daya manusia (SDM) di LPSK masih di dukung oleh pegawai pegawai negeri sipil (PNS) dan non-PNS dengan komposisi didominiasi oleh non-PNS.
"Sementara posisi mereka yang non-PNS belum jelas secara hukumnya. Ini masih ada mekanisme lain untuk menetapkan mereka sebagai PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) ataupun PNS," ungkap Edwin.
Di sisi lain program-program tersebut juga masih dibatasi oleh anggaran LPSK.
"Anggaran ini masih menjadi tantangan bagi LPSK karena masih sangat terbatas sementara LPSK ini punya salah satu konsentrasi untuk memberikan kompensasi buat korban terorisme berupa ganti rugi atau pemberian bantuan dari negara dalam bentuk uang," katanya.
Kompensasi itu baik yang berdasarkan putusan pengadilan atau korban yang akan datang atau korban masa lalu tanpa melalui proses pengadilan yang membutuhkan dukungan biaya yang cukup, anggaran yang cukup karena dihitung sejak bom Bali pertama.
Sedangkan Komisioner LPSK lain Maneger Nasution mengakui bahwa para komisioner akan membenahi kondisi internal LPSK dalam satu bulan pertama.
"Jadi semua SOP (standard operating procedure) harus disesuaikan dengan peraturan di LPSK, ada banyak peraturan, karena selama ini saksi korban hanya berkaitan dengan pidana, padahal sebenarnya saksi korban juga ada di kasus perdata, kemudian karena bila ada seorang whistle blower terancam diberhentikan oleh atasannya, jadi itu kan pengadilan tata usaha," kata Maneger.
Maneger juga melihat kebutuhan didirikannya perwakilan LPSK di daerah karena dari tahun ke tahun permohonan perlindungan saksi dan korban di daerah semakin meningkat.
"Bukan hanya terjadi di Jakarta tapi juga di daerah, korban dari ujung ke ujung itu banyak, jadi kami targetkan dalam satu periode ini ada delapan kantor perwakilan. Seingat saya dalam PP (peraturan pemerintah) yang dibuat bersama dengan Kemenkumham dan LPSK, maka LPSK diberi kewenangan untuk merekrut perwakilan LPSK," jelas Meneger.
Meski punya kewenangan, tapi Meneger mengakui bahwa secara pembahasan anggaran, LPSK masih menginduk ke Sekretariat Negara.
"Saat ini juga ada penguatan kelembagaan kita, dengan adanya eselon I sehingga ada Sekjen (Sekretaris Jenderal), semoga tahun depan sudah mulai (anggaran sendiri), karena kalau sekarang ini kita mengajukan anggaran payung besarnya ke sini (Setneg)," katanya.
Menurut dia, postur anggaran juga menjadi kritik untuk semua pihak karena kebanyakan keperluan kelembagaan bukan untuk perlindungan saksi dan korban, tapi diotak-atik memang hanya sekitar Rp60 miliar.
Baca juga: Presiden saksikan pengucapan sumpah jabatan komisioner LPSK
"Kami ingin memperkuat keberadaan LPSK di kalangan aparat penegak hukum (APH). LPSK kan titik utamanya kasus pidana, tentu kita harus punya hubungan yang baik dengan kepolisian dan kejaksaan karena mereka menjadi pintu pertama untuk korban, pelapor dalam melakukan pengaduan proses hukumnya," kata komisioner LPSK Edwin Partogi Pasaribu di kompleks Istana Keperesidenan Jakarta, Senin.
Pada Senin ini, Presiden Joko Widodo menyaksikan pengucapan sumpah tujuh Komisioner LPSK 2018-2023 yaitu Hasto Atmojo Suroyo, Brigjen Pol (Purn) Achmadi, Antonius Prijadi Soesilo Wibowo, Edwin Partogi Pasaribu, Livia Istiania DF Iskandar, Maneger Nasution dan Susilaningtias.
"Lalu apabila semakin banyak penegak hukum mengenal dan memahami tugas dan fungsi LPSK maka akan banyak korban, pelapor, saksi atau 'justice collaboratir' (saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum) yang direkomendasikan oleh penegak hukum kepada LPSK," tambah Edwin.
Selanjutnya LPSK juga ingin dapat memenuhi kebutuhan sandang, papan, pangan dan pekerjaan bagi para saksi dan korban yang mendapat perlindungan lembaga tersebut.
"Di sisi lain kita juga berharap di pengadilan ada ruang yang lebih akomodatif untuk korban. Kita sering melihat orang menunggu begitu lama dari jadwal pukul 09.00 WIB ternyata jadi pukul 14.00 WIB, tapi tidak ada ruang khusus bagi para saksi ataupun korban untuk menunggu selama itu," ungkap Edwin yang menjabat untuk periode kedua pada 2018-2023 ini.
Padahal di ruang tunggu terbuka seperti di pengadilan juga membuka pintu intervensi atau pengaruh dari pihak-pihak yang ingin mengubah keterangan saksi.
Namun untuk memenuhi program tersebut, Edwin mengaku bahwa kelembagaan di LPSK juga masih terbatas, misalnya saat ini sumber daya manusia (SDM) di LPSK masih di dukung oleh pegawai pegawai negeri sipil (PNS) dan non-PNS dengan komposisi didominiasi oleh non-PNS.
"Sementara posisi mereka yang non-PNS belum jelas secara hukumnya. Ini masih ada mekanisme lain untuk menetapkan mereka sebagai PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) ataupun PNS," ungkap Edwin.
Di sisi lain program-program tersebut juga masih dibatasi oleh anggaran LPSK.
"Anggaran ini masih menjadi tantangan bagi LPSK karena masih sangat terbatas sementara LPSK ini punya salah satu konsentrasi untuk memberikan kompensasi buat korban terorisme berupa ganti rugi atau pemberian bantuan dari negara dalam bentuk uang," katanya.
Kompensasi itu baik yang berdasarkan putusan pengadilan atau korban yang akan datang atau korban masa lalu tanpa melalui proses pengadilan yang membutuhkan dukungan biaya yang cukup, anggaran yang cukup karena dihitung sejak bom Bali pertama.
Sedangkan Komisioner LPSK lain Maneger Nasution mengakui bahwa para komisioner akan membenahi kondisi internal LPSK dalam satu bulan pertama.
"Jadi semua SOP (standard operating procedure) harus disesuaikan dengan peraturan di LPSK, ada banyak peraturan, karena selama ini saksi korban hanya berkaitan dengan pidana, padahal sebenarnya saksi korban juga ada di kasus perdata, kemudian karena bila ada seorang whistle blower terancam diberhentikan oleh atasannya, jadi itu kan pengadilan tata usaha," kata Maneger.
Maneger juga melihat kebutuhan didirikannya perwakilan LPSK di daerah karena dari tahun ke tahun permohonan perlindungan saksi dan korban di daerah semakin meningkat.
"Bukan hanya terjadi di Jakarta tapi juga di daerah, korban dari ujung ke ujung itu banyak, jadi kami targetkan dalam satu periode ini ada delapan kantor perwakilan. Seingat saya dalam PP (peraturan pemerintah) yang dibuat bersama dengan Kemenkumham dan LPSK, maka LPSK diberi kewenangan untuk merekrut perwakilan LPSK," jelas Meneger.
Meski punya kewenangan, tapi Meneger mengakui bahwa secara pembahasan anggaran, LPSK masih menginduk ke Sekretariat Negara.
"Saat ini juga ada penguatan kelembagaan kita, dengan adanya eselon I sehingga ada Sekjen (Sekretaris Jenderal), semoga tahun depan sudah mulai (anggaran sendiri), karena kalau sekarang ini kita mengajukan anggaran payung besarnya ke sini (Setneg)," katanya.
Menurut dia, postur anggaran juga menjadi kritik untuk semua pihak karena kebanyakan keperluan kelembagaan bukan untuk perlindungan saksi dan korban, tapi diotak-atik memang hanya sekitar Rp60 miliar.
Baca juga: Presiden saksikan pengucapan sumpah jabatan komisioner LPSK
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2019
Tags: