Jakarta (ANTARA News) - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sayangkan keputusan pemerintah untuk mencabut layanan korban dari BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, menggantikan Peraturan Presiden No 12 tahun 2013.

Pada perubahan Pasal 25 Pepres 12 tahun 2013 yang diatur dalam Pepres No 19 tahun 2016 menjelaskan bahwa terdapat 17 layanan kesehatan yang tidak dijamin oleh BPJS, sementara dalam Pepres baru No 82 tahun 2018 pada Pasal 52, diatur 21 layanan kesehatan yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan.

kekerasan terhadap anak, kekerasan anak, kdrt, korban kekerasan, anak ditampar (ANTARA News / Insan Faizin Mub)

Direktur ICJR Anggaran dalam siaran pers di Jakarta, Senin, menyebutkan beberapa tambahan layanan yang tidak tanggung oleh BPJS diantaranya pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengana ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Ketentuan tersebut dibuat dengan dalih layanan korban tersebut sudah dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sedangkan untuk korban tindak pidana lain seperti layanan visum yang masuk ke dalam pelayanan kesehatan untuk mendukung tugas Polri sudah diatur dalam Peraturan Kapolri No 5 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Tertentu di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia," kata dia.

ICJR menganggap bahwa keputusan Pemerintah untuk mengeluarkan Pepres baru No. 82 tahun 2018, hanya bisa dilakukan apabila selama ini layanan bantuan korban sudah mumpuni dan terimplementasi dengan baik.

Menurut ICJR keputusan tersebut seolah-olah tidak melihat bahwa pemenuhan hak atas layanan kesehatan bagi korban tindak pidana masih menyisakan banyak masalah yang seharusnya juga diperhatikan Pemerintah termasuk BPJS.

"Kendati sudah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tentang jaminan layanan kesehatan medis, pada kenyataannyanya pun perlindungan saksi dan korban untuk pelayanan medis saat ini masih membutuhkan BPJS," kata dia.

Berdasarkan data yang diterima ICJR, terdapat 490 terlindung LPSK yang memperoleh bantuan medis dengan jaminan dari BPJS. Sedangkan jumlah terlindung medis LPSK secara keseluruhan berjumlah 1.069 layanan dan bantuan medis.

Terkait dengan layanan korban dalam tahap penyidikan oleh kepolisian, Pasal 13 Perkap No 5 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Tertentu di Lingkungan Polri menjamin visum sebagai layanan kedokteran kepolisian, dalam implementasinya, korban tindak pidana masih sulit mengakses layanan ini.

Pemenuhan layanan visum gratis sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah, terdapat daerah yang sudah menjamin layanan visum gratis untuk korban kekerasan, contohnya DKI Jakarta, lewat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 154 Tahun 2017.

Kepastian pemenuhan hak korban yang hanya bergantung dengan komitmen pemerintah daerah jelas tidak menjamin bahwa korban tindak pidana memperoleh layanan medis secara komprehensif di setiap daerah di Indonesia.

"Terlebih lagi, LPSK sampai dengan saat ini masih hanya tersedia di tingkat pusat di Jakarta. Sejak 2014, payung hukum Peraturan Presiden pembentukan perwakilan LPSK di daerah belum juga tersedia," kata dia.

ICJR menilai langkah pemerintah yang mengatur bahwa layanan korban tindak pidana tidak dijamin BPJS patut disayangkan dan justru jelas kontraproduktif dengan komitmen pemerintah selama ini, karena dalam praktiknya pelayanan medis korban tindak pidana masih banyak bergantung dengan skema BPJS.

Sistem LPSK pun belum menjamin pemenuhan hak korban khususnya bantuan medis yang memadai.

Maka menjadi penting untuk bagi Pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Skema bantuan medis bagi korban bisa tidak dijamin oleh BPJS asalkan Pemerintah menyediakan payung hukum serta sistem yang berkelanjutan untuk pemenuhan hak korban, dimulai dari penyusunan dan pembentukan Peraturan Presiden tentang penangnan korban kejahatan yang lebih teknis dan menyeluruh.

"Pemerintah juga harus memastikan seluruh perangkat Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menyediakan layanan korban yang komprehensif dan tidak membebani korban termasuk menyediakan instrumen evaluasinya," kata dia.

Baca juga: DKI tegaskan pasien BPJS Kesehatan tetap dilayani
Baca juga: BPJS Kesehatan hentikan sementara kerja sama dengan tiga RSUD Jakarta