CIPS: pembenahan regulasi pekerja migran perlu diprioritaskan 2019
4 Januari 2019 14:07 WIB
Tiga Pekerja Migran Indonesia (PMI) memperlihatkan paspor saat mengikuti pendataan oleh BP3TKI setibanya di Dinas Sosial Provinsi Kalbar di Pontianak, Jumat (7/12/2018) malam. BP3TKI Pontianak mencatat terdapat 150 PMI dipulangkan Pemerintah Malaysia melalui PLBN Entikong karena paspor sudah habis masa berlakunya serta tidak memiliki visa dan kontrak kerja. ANTARA FOTO/Reza Novriandi/jhw/hp.
Jakarta (ANTARA News) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan bahwa permasalahan regulasi terkait dengan pekerja migran harus menjadi prioritas pada tahun 2019 karena banyak kasus hukum yang membelit pekerja migran Indonesia di negara-negara tujuan kerja para pekerja migran tersebut.
Peneliti CIPS Indra Krishnamurti, Jumat, mengatakan, pembenahan yang penting segera dilakukan meliputi regulasi pendaftaran hingga perlindungan para pekerja migran Nusantara.
"Pembenahan penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas para pekerja migran Indonesia, meringankan beban finansial yang harus ditanggung saat pendaftaran dan memastikan perlindungan mereka di negara penempatan kerja," ucapnya.
Indra mengemukakan pembenahan dibutuhkan untuk menutup celah keberangkatan pekerja migran dengan cara-cara yang ilegal, karena bila regulasi yang ada dibuat jelas, sederhana, tidak berbelat-belit dan murah, maka kemungkinan untuk menutup cara ilegal bisa terus ditekan bahkan dihilangkan.
Ia berpendapat bahwa turunnya jumlah pengaduan pekerja migran pada 2018 lalu bukanlah jaminan kalau regulasi yang ada sudah berjalan dengan baik.
Indra juga menyoroti terkait dengan penyederhanaan regulasi pendaftaran, yang dinilai harus dilakukan supaya menjadi lebih mudah dan lebih murah.
"Regulasi yang perlu disederhanakan antara lain adalahpersyaratan, besaran biaya pendaftaran, proses pemeriksaan kesehatan. Pekerja migran ilegal juga banyak yang mengalami kekerasan," jelasnya.
Indra juga menjelaskan, pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan diplomasinya dengan negara-negara tujuan kerja pekerja migran, karena penggunaan basis data E-KTP akan memudahkan proses pencocokan data dan dapat menghindari pencatatan data secara ganda atau tidak akurat.
Proses validasi data ini, lanjutnya, berlaku bagi setiap pekerja migran yang bekerja diluar negeri, yang legal maupun yang ilegal.
Selanjutnya, hasil dari validasi data ini dapat digunakan sebagai instrumen pemerintah untuk melakukan proses monitoring serta mekanisme "track and trace".
Dengan adanya validasi data, pemerintah dapat mengetahui secara faktual dan konkret jumlah pekerja migran Indonesia yang sedang bermukim dan bekerja di luar negeri.
Dengan demikian, proses ini memungkinkan pekerja migran yang sedang mengalami kasus hukum untuk mendapatkan bantuan hukum sedini mungkin dan memungkinkan penyelesaian kasus secara damai.
Baca juga: Kemnaker luncurkan aplikasi Sistem Informasi Pekerja Migran Indonesia
Baca juga: Komnas Perempuan: perlindungan pekerja migran belum efektif
Peneliti CIPS Indra Krishnamurti, Jumat, mengatakan, pembenahan yang penting segera dilakukan meliputi regulasi pendaftaran hingga perlindungan para pekerja migran Nusantara.
"Pembenahan penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas para pekerja migran Indonesia, meringankan beban finansial yang harus ditanggung saat pendaftaran dan memastikan perlindungan mereka di negara penempatan kerja," ucapnya.
Indra mengemukakan pembenahan dibutuhkan untuk menutup celah keberangkatan pekerja migran dengan cara-cara yang ilegal, karena bila regulasi yang ada dibuat jelas, sederhana, tidak berbelat-belit dan murah, maka kemungkinan untuk menutup cara ilegal bisa terus ditekan bahkan dihilangkan.
Ia berpendapat bahwa turunnya jumlah pengaduan pekerja migran pada 2018 lalu bukanlah jaminan kalau regulasi yang ada sudah berjalan dengan baik.
Indra juga menyoroti terkait dengan penyederhanaan regulasi pendaftaran, yang dinilai harus dilakukan supaya menjadi lebih mudah dan lebih murah.
"Regulasi yang perlu disederhanakan antara lain adalahpersyaratan, besaran biaya pendaftaran, proses pemeriksaan kesehatan. Pekerja migran ilegal juga banyak yang mengalami kekerasan," jelasnya.
Indra juga menjelaskan, pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan diplomasinya dengan negara-negara tujuan kerja pekerja migran, karena penggunaan basis data E-KTP akan memudahkan proses pencocokan data dan dapat menghindari pencatatan data secara ganda atau tidak akurat.
Proses validasi data ini, lanjutnya, berlaku bagi setiap pekerja migran yang bekerja diluar negeri, yang legal maupun yang ilegal.
Selanjutnya, hasil dari validasi data ini dapat digunakan sebagai instrumen pemerintah untuk melakukan proses monitoring serta mekanisme "track and trace".
Dengan adanya validasi data, pemerintah dapat mengetahui secara faktual dan konkret jumlah pekerja migran Indonesia yang sedang bermukim dan bekerja di luar negeri.
Dengan demikian, proses ini memungkinkan pekerja migran yang sedang mengalami kasus hukum untuk mendapatkan bantuan hukum sedini mungkin dan memungkinkan penyelesaian kasus secara damai.
Baca juga: Kemnaker luncurkan aplikasi Sistem Informasi Pekerja Migran Indonesia
Baca juga: Komnas Perempuan: perlindungan pekerja migran belum efektif
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: