Artikel
Ketulusan Fatmawati rajut masa depan anak berkebutuhan khusus
1 Januari 2019 19:21 WIB
Anak-anak usia dini PAUD Inklusi "Cerdas" Banyuwangi, Jawa Timur sedang berlatih menari tradisional, sebelum mengikuti kegiatan belajar di kelas. Anak-anak normal di sekolah itu dilatih untuk berbaur dengan anak-anak berkebutuhan khusus agar mampu bersosialisasi. (ANTARA/Zita Meirina)
Jakarta (ANTARA News) - Fatmawati perempuan berusia 45 tahun itu bukanlah seorang figur publik tetapi namanya begitu popular di kalangan masyarakat menengah ke bawah di Banyuwangi karena kegigihannya memperjuangkan anak-anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan sejak usia dini tanpa dipungut bayaran alias gratis.
Kepedulian Fatmawati kepada anak dengan kebutuhan khusus alias inklusif tersebut diwujudkan dengan mendirikan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini Inklusif “Cerdas”. Usaha Fatmawati pada akhirnya diendus awak media yang kemudian mengungkap kegigihan perempuan sarjana pertanian itu dalam tulisan-tulisan mereka sehingga mengundang kekaguman berbagai kalangan untuk membantu sekolah itu.
PAUD Inklusi “Cerdas” di jalan Kolonel Sugiono 17 Banyuwangi ini tidak berdiri di atas bangunan mewah. Bangunan sederhana yang sebagian masih beralaskan tanah keras itu menjorok ke dalam, persisnya di bagian belakang dari bangunan Bimbingan Belajar “Les-lesan Cerdas”, yang merupakan usaha awal Fatmawati dan keluarganya sejak tahun 2005.
Kegiatan belajar, bermain, menari, berlatih fisik dilakukan secara bergantian kadang di halaman sekolah atau di ruang kelas pinjaman yang berjejer tanpa jendela. Selain ruang kelas, terdapat halaman kecil yang ditempatkan sejumlah permainan anak-anak, seperti ayunan, rumah-rumahan yang dicat berwarna warni dengan hiasan mural bertema anak-anak pada dinding tembok yang berbatasan dengan bangunan tetangga di sebelahnya.
Sejak menerima murid pertama Paud pada tahun 2008 hingga kini sekolah diselenggarakan dengan memanfaatkan kelas bimbingan belajar. Pada pagi hari kelas-kelas tersebut kosong karena bimbingan belajar baru dilaksanakan setelah jam pulang sekolah.
“Mulanya saya melihat banyak anak-anak usia pra sekolah yang hanya bermain-main dan kemudian ikut-ikutan anak yang lebih besar dalam bertingkah laku termasuk menyanyikan lagu-lagu dewasa yang mungkin tidak dipahami artinya,” kisahnya.
Patma merasa prihatin dengan kondisi lingkungan yang bisa mempengaruhi anak-anak yang kebanyakan berasal dari keluarga menengah ke bawah bahkan dari keluarga miskin. Kemudian ia mengajak sejumlah guru bimbingan belajar yang dikelolanya untuk menampung anak-anak usia pra sekolah. Jumlah murid awalnya hanya sembilan anak yang berasal dari para tetangganya sendiri.
“Awalnya saya dicemooh karena sejak awal penerimaan murid saya sampaikan kepada orang tua murid kalau sekolah Paud ini gratis tanpa dipungut biaya apapun. Banyak yang tidak percaya hingga akhirnya beberapa orang tua membuktikan, baru kemudian diikuti oleh orang tua lainnya,” kata sarjana pertanian ulisan Universitas jember yang mengaku hingga tahun ke-10 berdirinya PAUD “Cerdas” hanya menyediakan kotak amal di depan ruang guru sebagai sarana bagi orang tua murid yang ingin menyalurkan sumbangan.
Berkebutuhan khusus
Kabar sekolah gratis dengan cepat menyebar sehingga silih berganti orang tua datang membawa anak usia prasekolah untuk dititipkan di PAUD Cerdas hingga suatu saat Fatmawati kedatangan orang tua murid yang kebingungan untuk menyekolahkan anaknya karena hampir semua sekolah yang didatangi menolak untuk menerima siswa yang memiliki kebutuhan khusus.
Tanpa ragu, Fatmawati langsung menerima murid dengan kategori anak berkebutuhan khusus tersebut karena perasaan iba melihat orang tua anak itu merasa putus asa. Selain ada hal lain yang mendorong Patma mau menerima anak tersebut karena kondisi perekonomian orang tua anak itu yang pas-pasan.
"Ada sembilan murid yang pertama kali saya terima. Di antara anak-anak itu ternyata menyandang kebutuhan khusus dan juga anak yang mengalami keterlambatan dalam menerima pelajaran karena berbagai faktor mungkin sejak berada dalam kandungan hingga persoalan saat proses pertumbuhan anak,” kata ibu dari dua orang putri ini yang awalnya hanya bermodal kepercayaan diri dan kasih sayang membimbing anak-anak berkebutuhan khusus di sekolahnya.
Fatmawati di tahun ajaran 2018/2019 ini dibantu 22 guru dan relawan yang berasal dari kalangan mahasiswa dan orang tua murid serta sejumlah terapis yang datang berkala.
Umihanik salah seorang guru sekaligus relawan mengisahkan awalnya dirinya tertarik menjadi relawan karena melihat anak-anak di PAUD Cerdas membutuhkan perhatian lebih, apalagi sebagian dari anak-anak itu memiliki kondisi berbeda dengan anak-anak normal lainnya secara mental.
“Saya dulu orang tua murid yang setiap hari mengantar dan menunggui anak di sekolah. Lama kelamaan karena jumlah murid yang cukup banyak kemudian diajak ibu Fatmawati untuk ikut terlibat sebagai relawan,“ kisah Umi yang memiliki latar belakang guru mengaji.
Umihanik, bersama relawan lainnya, setiap hari mendampingi 131 siswa dan sebanyak 27 anak di antaranya penyandang disabilitas dengan berbagai keterbatasan, di antaranya autisme, cerebal palsy, epilepsi, tunawicara, dan down syndrom.
Murid PAUD yang diterima di sekolah itu antara usia 2- 10 tahun, baik anak yang normal maupun berkebutuhan khusus. Anak-anak setiap pagi dibiarkan berbaur dan bermain bersama tanpa dipisahkan karena pembauran tersebut sebagai salah satu upaya menumbuhkan kepercayaan diri dan kkesempatan bersosialisasi bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).
Ia menyadari pada awalnya banyak orang tua murid yang merasa keberatan karena anak-anak mereka harus bergaul dan belajar berdampingan dengan anak berkebutuhan khusus. Fatmawati banyak menerima protes dari para orang tua, bahkan salah satunya sampai melarang orang tua dari anak berkebutuhan khusus untuk masuk ke sekolah.
“Salah satu orang tua murid ada yang mencegat ibu dari ABK dan memberi teguran serta melarang masuk ke sekolah karena khawatir anaknya terluka atau dikasari oleh murid dengan kebutuhan khusus,” kisahnya.
Bagi Fatmawati kekhawatiran beberapa orang tua murid itu agak berlebihan karena dirinya menerapkan pengawasan yang cukup ketat dengan melibatkan guru dan relawan dari kalangan mahasiswa serta orang tua murid untuk mendampingi anak-anak saat bermain, terutama anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Fatmawati merasa iba melihat orang tua dari anak-anak berkebutuhan khusus biasanya merasa malu, berkecil hati, bahkan tidak jarang kemudian menyendiri dan hanya bisa menangis.
“Saat itu juga saya mengumpulkan seluruh orang tua murid yang mayoritas memang menunggui anaknya selama jam pelajaran. Kami bersama para guru memberikan pengertian agar orang tua diharapkan mau bertoleransi dan mendukung anak-anak berkebutuhan khusus dan tidak malah mengejek bahkan mem-bully” katanya.
Selain itu, Fatmawati secara berkala mendatangkan terapis untuk membantu anak-anak inklusi tersebut semakin mampu bersosialisasi dan mengikuti pembelajaran dengan baik. Sekolah bekerja sama dengan Lembaga Terapi “Matahari”, psikolog dari RSUD Blambangan Banyuwangi, Puskesmas Sobo Banyuwangi dan SLB Negeri di wilayah setempat.
Sementara, para relawan secara berkala mendapatkan peningkatan kualitas dalam menangani ABK dengan mendatangkan narasumber kompeten, mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Ditjen PAUD Kemdikbud dan Dinas serta Tim Pengembang PAUD Inklusif dari Balai Pengembangan PAUD dan Dikmas Jawa Timur.
Seiring berjalannya waktu, PAUD Cerdas membuka kelas parenting untuk membekali orang tua murid berbagi pengetahuan tentang pengasuhan, serta ilmu-ilmu lain untuk menunjang pendidikan anak ketika berada di rumah dengan mendatangkan ahli dari berbagai bidang berkaitan dengan perkembangan anak.
Biaya Gratis
Fatmawati sering mendapat pertanyaan dari orang tua dan masyarakat bagaimana mungkin dirinya bisa menjalankan PAUD sementara tidak ada iuran tetap yang diambil, padahal untuk operasional sekolah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ia menegaskan bahwa ia akan berpegang teguh pada komitmen awal yaitu tidak akan memungut biaya dari orang tua murid.
“Tidak dipungkiri sudah pasti ada biaya yang harus kami keluarkan baik untuk kebutuhan murid seperti alat peraga, buku-buku cerita, maupun kebutuhan operasional sekolah serta perawatan berkala gedung dan berbagai kebutuhan lainnya”, ujarnya.
Fatmawati hanya menyediakan kotak infak di samping kelas belajar untuk pengembangan fasiltas kelas belajar dan bermain Anak-anak yang kadang mendapat Rp1,5 juta sebulan. Uang itu tidak untuk gaji karena gurunya murni relawan.
"intinya bukan untuk mencari gaji karena sejak awal sudah tertanam di antara guru bahwa kegiatan tersebut bagian dari kerelaan dan sekaligus ladang amal," katanya.
Sejak beberapa tahun terakhir, guru-guru di Paud Cerdas telah menerima bantuan dari pemerintah, dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para guru terkait dengan kegiatan mengajar.
PAUD Cerdas meski berlabel gratis kerap menerima berkah dari mantan orang tua murid, masyarakat serta donatur yang merasa tergerak untuk membantu keberlangsungan sekolah tersebut. Kerelaan membantu bisa dalam wujud bangunan kelas, perlengkapan peraga bagi anak-anak, kursi roda bagi anak berkebutuhan khusus, meja dan kursi dan berbagai kebutuhan lainnya karena Padmawati lebih memilih diberikan bantuan fisik ketimbang uang tunai.
Fatmawati bersyukur karena sepak terjangnya dalam mendirikan PAUD Inklusi sepenuhnya mendapat dukungan dari suaminya, Multazim. Bahkan keteguhannya untuk menggratiskan biaya sekolah di Paud tersebut datang dari suaminya.
Dan kini ketulusan Fatmawati dan keluarganya dalam menyelenggarakan paud gratis, dibalas dengan kabar gembira ketika putri sulungnya, lulusan Pesantren Darul Ulum Jombang mendapat beasiswa dari pemerintah Rusia untuk melanjutkan pendidikan strata satu di Saint Petersburg State University of Culture and Art jurusan desain grafis. Sedangkan putri nomor dua masih duduk di kelas 8 Pesantren Al Anwari Banyuwangi.
Fatmawati tidak pernah berhenti untuk mewujudkan tekadnya, menjadikan Paud Inklusi “Cerdas” lebih dikenal luas masyarakat, tidak karena bangunan mewah serta fasilitas berlebih namun sekolah yang terbuka menampung siswa-siswa dari keluarga tidak mampu dan khususnya yang memiliki anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Beberapa lulusan PAUD Inklusi Cerdas kini lebih percaya diri untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan tidak lagi menjadi anak pendiam, pemalu dan suka merusak.
Baca juga: Kemdikbud alokasikan Rp 4,47 Triliun untuk BOP PAUD 2019
Baca juga: Kemdikbud-Kemenko Maritim kembangkan muatan kelautan kurikulum PAUD 2013
Kepedulian Fatmawati kepada anak dengan kebutuhan khusus alias inklusif tersebut diwujudkan dengan mendirikan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini Inklusif “Cerdas”. Usaha Fatmawati pada akhirnya diendus awak media yang kemudian mengungkap kegigihan perempuan sarjana pertanian itu dalam tulisan-tulisan mereka sehingga mengundang kekaguman berbagai kalangan untuk membantu sekolah itu.
PAUD Inklusi “Cerdas” di jalan Kolonel Sugiono 17 Banyuwangi ini tidak berdiri di atas bangunan mewah. Bangunan sederhana yang sebagian masih beralaskan tanah keras itu menjorok ke dalam, persisnya di bagian belakang dari bangunan Bimbingan Belajar “Les-lesan Cerdas”, yang merupakan usaha awal Fatmawati dan keluarganya sejak tahun 2005.
Kegiatan belajar, bermain, menari, berlatih fisik dilakukan secara bergantian kadang di halaman sekolah atau di ruang kelas pinjaman yang berjejer tanpa jendela. Selain ruang kelas, terdapat halaman kecil yang ditempatkan sejumlah permainan anak-anak, seperti ayunan, rumah-rumahan yang dicat berwarna warni dengan hiasan mural bertema anak-anak pada dinding tembok yang berbatasan dengan bangunan tetangga di sebelahnya.
Sejak menerima murid pertama Paud pada tahun 2008 hingga kini sekolah diselenggarakan dengan memanfaatkan kelas bimbingan belajar. Pada pagi hari kelas-kelas tersebut kosong karena bimbingan belajar baru dilaksanakan setelah jam pulang sekolah.
“Mulanya saya melihat banyak anak-anak usia pra sekolah yang hanya bermain-main dan kemudian ikut-ikutan anak yang lebih besar dalam bertingkah laku termasuk menyanyikan lagu-lagu dewasa yang mungkin tidak dipahami artinya,” kisahnya.
Patma merasa prihatin dengan kondisi lingkungan yang bisa mempengaruhi anak-anak yang kebanyakan berasal dari keluarga menengah ke bawah bahkan dari keluarga miskin. Kemudian ia mengajak sejumlah guru bimbingan belajar yang dikelolanya untuk menampung anak-anak usia pra sekolah. Jumlah murid awalnya hanya sembilan anak yang berasal dari para tetangganya sendiri.
“Awalnya saya dicemooh karena sejak awal penerimaan murid saya sampaikan kepada orang tua murid kalau sekolah Paud ini gratis tanpa dipungut biaya apapun. Banyak yang tidak percaya hingga akhirnya beberapa orang tua membuktikan, baru kemudian diikuti oleh orang tua lainnya,” kata sarjana pertanian ulisan Universitas jember yang mengaku hingga tahun ke-10 berdirinya PAUD “Cerdas” hanya menyediakan kotak amal di depan ruang guru sebagai sarana bagi orang tua murid yang ingin menyalurkan sumbangan.
Berkebutuhan khusus
Kabar sekolah gratis dengan cepat menyebar sehingga silih berganti orang tua datang membawa anak usia prasekolah untuk dititipkan di PAUD Cerdas hingga suatu saat Fatmawati kedatangan orang tua murid yang kebingungan untuk menyekolahkan anaknya karena hampir semua sekolah yang didatangi menolak untuk menerima siswa yang memiliki kebutuhan khusus.
Tanpa ragu, Fatmawati langsung menerima murid dengan kategori anak berkebutuhan khusus tersebut karena perasaan iba melihat orang tua anak itu merasa putus asa. Selain ada hal lain yang mendorong Patma mau menerima anak tersebut karena kondisi perekonomian orang tua anak itu yang pas-pasan.
"Ada sembilan murid yang pertama kali saya terima. Di antara anak-anak itu ternyata menyandang kebutuhan khusus dan juga anak yang mengalami keterlambatan dalam menerima pelajaran karena berbagai faktor mungkin sejak berada dalam kandungan hingga persoalan saat proses pertumbuhan anak,” kata ibu dari dua orang putri ini yang awalnya hanya bermodal kepercayaan diri dan kasih sayang membimbing anak-anak berkebutuhan khusus di sekolahnya.
Fatmawati di tahun ajaran 2018/2019 ini dibantu 22 guru dan relawan yang berasal dari kalangan mahasiswa dan orang tua murid serta sejumlah terapis yang datang berkala.
Umihanik salah seorang guru sekaligus relawan mengisahkan awalnya dirinya tertarik menjadi relawan karena melihat anak-anak di PAUD Cerdas membutuhkan perhatian lebih, apalagi sebagian dari anak-anak itu memiliki kondisi berbeda dengan anak-anak normal lainnya secara mental.
“Saya dulu orang tua murid yang setiap hari mengantar dan menunggui anak di sekolah. Lama kelamaan karena jumlah murid yang cukup banyak kemudian diajak ibu Fatmawati untuk ikut terlibat sebagai relawan,“ kisah Umi yang memiliki latar belakang guru mengaji.
Umihanik, bersama relawan lainnya, setiap hari mendampingi 131 siswa dan sebanyak 27 anak di antaranya penyandang disabilitas dengan berbagai keterbatasan, di antaranya autisme, cerebal palsy, epilepsi, tunawicara, dan down syndrom.
Murid PAUD yang diterima di sekolah itu antara usia 2- 10 tahun, baik anak yang normal maupun berkebutuhan khusus. Anak-anak setiap pagi dibiarkan berbaur dan bermain bersama tanpa dipisahkan karena pembauran tersebut sebagai salah satu upaya menumbuhkan kepercayaan diri dan kkesempatan bersosialisasi bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).
Ia menyadari pada awalnya banyak orang tua murid yang merasa keberatan karena anak-anak mereka harus bergaul dan belajar berdampingan dengan anak berkebutuhan khusus. Fatmawati banyak menerima protes dari para orang tua, bahkan salah satunya sampai melarang orang tua dari anak berkebutuhan khusus untuk masuk ke sekolah.
“Salah satu orang tua murid ada yang mencegat ibu dari ABK dan memberi teguran serta melarang masuk ke sekolah karena khawatir anaknya terluka atau dikasari oleh murid dengan kebutuhan khusus,” kisahnya.
Bagi Fatmawati kekhawatiran beberapa orang tua murid itu agak berlebihan karena dirinya menerapkan pengawasan yang cukup ketat dengan melibatkan guru dan relawan dari kalangan mahasiswa serta orang tua murid untuk mendampingi anak-anak saat bermain, terutama anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Fatmawati merasa iba melihat orang tua dari anak-anak berkebutuhan khusus biasanya merasa malu, berkecil hati, bahkan tidak jarang kemudian menyendiri dan hanya bisa menangis.
“Saat itu juga saya mengumpulkan seluruh orang tua murid yang mayoritas memang menunggui anaknya selama jam pelajaran. Kami bersama para guru memberikan pengertian agar orang tua diharapkan mau bertoleransi dan mendukung anak-anak berkebutuhan khusus dan tidak malah mengejek bahkan mem-bully” katanya.
Selain itu, Fatmawati secara berkala mendatangkan terapis untuk membantu anak-anak inklusi tersebut semakin mampu bersosialisasi dan mengikuti pembelajaran dengan baik. Sekolah bekerja sama dengan Lembaga Terapi “Matahari”, psikolog dari RSUD Blambangan Banyuwangi, Puskesmas Sobo Banyuwangi dan SLB Negeri di wilayah setempat.
Sementara, para relawan secara berkala mendapatkan peningkatan kualitas dalam menangani ABK dengan mendatangkan narasumber kompeten, mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Ditjen PAUD Kemdikbud dan Dinas serta Tim Pengembang PAUD Inklusif dari Balai Pengembangan PAUD dan Dikmas Jawa Timur.
Seiring berjalannya waktu, PAUD Cerdas membuka kelas parenting untuk membekali orang tua murid berbagi pengetahuan tentang pengasuhan, serta ilmu-ilmu lain untuk menunjang pendidikan anak ketika berada di rumah dengan mendatangkan ahli dari berbagai bidang berkaitan dengan perkembangan anak.
Biaya Gratis
Fatmawati sering mendapat pertanyaan dari orang tua dan masyarakat bagaimana mungkin dirinya bisa menjalankan PAUD sementara tidak ada iuran tetap yang diambil, padahal untuk operasional sekolah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ia menegaskan bahwa ia akan berpegang teguh pada komitmen awal yaitu tidak akan memungut biaya dari orang tua murid.
“Tidak dipungkiri sudah pasti ada biaya yang harus kami keluarkan baik untuk kebutuhan murid seperti alat peraga, buku-buku cerita, maupun kebutuhan operasional sekolah serta perawatan berkala gedung dan berbagai kebutuhan lainnya”, ujarnya.
Fatmawati hanya menyediakan kotak infak di samping kelas belajar untuk pengembangan fasiltas kelas belajar dan bermain Anak-anak yang kadang mendapat Rp1,5 juta sebulan. Uang itu tidak untuk gaji karena gurunya murni relawan.
"intinya bukan untuk mencari gaji karena sejak awal sudah tertanam di antara guru bahwa kegiatan tersebut bagian dari kerelaan dan sekaligus ladang amal," katanya.
Sejak beberapa tahun terakhir, guru-guru di Paud Cerdas telah menerima bantuan dari pemerintah, dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para guru terkait dengan kegiatan mengajar.
PAUD Cerdas meski berlabel gratis kerap menerima berkah dari mantan orang tua murid, masyarakat serta donatur yang merasa tergerak untuk membantu keberlangsungan sekolah tersebut. Kerelaan membantu bisa dalam wujud bangunan kelas, perlengkapan peraga bagi anak-anak, kursi roda bagi anak berkebutuhan khusus, meja dan kursi dan berbagai kebutuhan lainnya karena Padmawati lebih memilih diberikan bantuan fisik ketimbang uang tunai.
Fatmawati bersyukur karena sepak terjangnya dalam mendirikan PAUD Inklusi sepenuhnya mendapat dukungan dari suaminya, Multazim. Bahkan keteguhannya untuk menggratiskan biaya sekolah di Paud tersebut datang dari suaminya.
Dan kini ketulusan Fatmawati dan keluarganya dalam menyelenggarakan paud gratis, dibalas dengan kabar gembira ketika putri sulungnya, lulusan Pesantren Darul Ulum Jombang mendapat beasiswa dari pemerintah Rusia untuk melanjutkan pendidikan strata satu di Saint Petersburg State University of Culture and Art jurusan desain grafis. Sedangkan putri nomor dua masih duduk di kelas 8 Pesantren Al Anwari Banyuwangi.
Fatmawati tidak pernah berhenti untuk mewujudkan tekadnya, menjadikan Paud Inklusi “Cerdas” lebih dikenal luas masyarakat, tidak karena bangunan mewah serta fasilitas berlebih namun sekolah yang terbuka menampung siswa-siswa dari keluarga tidak mampu dan khususnya yang memiliki anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Beberapa lulusan PAUD Inklusi Cerdas kini lebih percaya diri untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan tidak lagi menjadi anak pendiam, pemalu dan suka merusak.
Baca juga: Kemdikbud alokasikan Rp 4,47 Triliun untuk BOP PAUD 2019
Baca juga: Kemdikbud-Kemenko Maritim kembangkan muatan kelautan kurikulum PAUD 2013
Pewarta: Zita Meirina
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019
Tags: