Jakarta (ANTARA News) - Kurs rupiah pada pekan depan diperkirakan masih di bawah level Rp9.200 per dolar AS, yakni pada kisaran Rp9.150-Rp9.190 per dolar AS, menyusul langkah Bank Sentral AS (The Fed) menurunkan suku bunga Fed fund 50 basis poin menjadi 4,75 persen. "Posisi rupiah pada pekan depan masih di bawah level Rp9.200 per dolar AS," kata pengamat pasar uang dari Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, di Jakarta, akhir pekan ini. Rupiah pada Jumat lalu cenderung melemah, namun masih di bawah level Rp9.200 per dolar AS menjadi Rp9.175/180 dari sebelumnya Rp9.165/170 per dolar AS. "Kami memperkirakan rupiah akan kembali menguat pada pekan depan, karena dampak kasus Subprime Mortgage Kredit perumahan di AS masih belum reda sama sekali," katanya. Karena itu, lanjut dia, pemerintah harus tetap mengawasi perkembangan perekonomian terkait dengan faktor subprime mortgage di AS terhadap dampak kelanjutannya. "Sementara kita cukup aman terhadap kasus kredit perumahan di AS, ke depan semoga tidak ada kejutan baru. Selama ini kita bisa pantau dengan data-data yang ada maka dampaknya bisa kita kendalikan," katanya. Menurut dia, melambatnya pertumbuhan ekonomi AS menekan pergerakan dolar AS di pasar dunia yang memberikan dampak positif kepada rupiah sehingga kenaikannya berlanjut. "Karena itu rupiah diperkirakan pada akhir tahun ini akan bisa berkisar antara Rp9.100 sampai Rp9.200 per dolar AS," katanya. Dikatakannya, pertumbuhan ekonomi AS yang melambat sebenarnya tidak begitu berpengaruh terhadap negara-negara Asia, khususnya Indonesia, apalagi pertumbuhan ekonomi dunia sudah beralih ke Asia. Negara-negara Asia merupakan pasar potensial bagi negara Eropa dan Amerika untuk menempatkan dananya di kawasan itu yang akan dijadikan basis produksi bagi ekspornya ke negara lain, katanya. Di Asia, lanjut dia, China dan India merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi Asia yang akan mengimbas negara-negara Asia lainnya khususnya Indonesia yang saat ini tumbuh di atas enam persen. Dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar itu, maka rupiah seharusnya bisa stabil pada level Rp9.000 per dolar AS, katanya. Menurut dia, sentimen positif terhadap rupiah juga akan datang dari investor asing yang akan kembali memasuki pasar Indonesia. Investor asing ingin bermain di sertifikat Bank Indonesia (SBI), karena selisih tingkat bunga rupiah terhadap bunga dolar AS cukup tinggi sebesar 3,5 persen, ujarnya. BI, lanjut dia harus terus memantau di pasar dengan masuknya investor asing, karena dikhawatirkan kenaikan rupiah akan berjalan cepat. Kenaikan rupiah harus di rem agar berjalan dengan perlahan-lahan, sehingga kenaikan tidak terlalu cepat itulah fungsinya BI berada di pasar, katanya. (*)