Pengungsi tak mau turun dari gunung, takut tsunami susulan
28 Desember 2018 20:47 WIB
Warga korban tsunami dari Pulau Sebesi dan Sebuku Lampung Selatan tiba di posko pengungsian di Kalianda, Lampung Selatan, Lampung, Rabu (26/12/2018). Sebanyak 1.500 orang pengungsi korban tsunami dari Pulau Sebesi dan Sebuku dievakuasi menggunakan kapal KM Jatra III, menuju Kalianda. ANTARA FOTO/Ardiansyah/kye.
Lampung Selatan (ANTARA News) - Sejumlah warga di Desa Way Muli dan Desa Way Muli Timur, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung yang mengungsi ke gunung, mengaku trauma dan tidak mau jika diajak turun mengingat aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK) masih aktif.
"Saya trauma, saya tidak berani turun," kata seorang warga Way Muli Tumur yang mengungsi di pengungsian Pegunungan Rajabasa, Suminta, di Lampung Selatan, Jumat.
Dia mengatakan, bencana tsunami telah merusak sebagian rumah beserta perahu miliknya yang biasa dipergunakan untuk usaha.
"Rumah saya sebelah bagian kanan jalan dan tidak membelakangi laut. Beruntung rumah saya cuma sebagian yang rusak dan terpenting keluarga saya tidak jadi korban," katanya menerangkan.
Selain berprofesi sebagai nelayan, Suminta dalam kesehariannya menjadi guru mengaji untuk anak-anak sekitar. Saat kejadian, dirinya tidak mendapati tanda-tanda akan terjadinya tsunami.
"Ketika mereka teriak-teriak ada tsunami ada tsunami, saya langsung lari bersama keluarga saya menaiki dataran tinggi ke arah gunung. Pada saat itu, saya tidak tahu lagi selanjutnya," kata dia.
Warga lainnya, Pajri, saat kejadian sedang berada di Pelabuhan Bakauheni. Saat itu warga yag berprofesi sebagai supir itu sedang menyeberang ke Pelabuhan Merak mengantarkan kiriman menggunakan mobil truk.
"Hanya ada anak dan istri saya yang berada di rumah. Dan untung mereka bisa selamat," kata dia menjelaskan.
Namun, dia merasa ada keanehan ketika istrinya menghubunginya melalui sambungan telepon. Saat itu, istrinya mengatakan bahwa di desanya sedang dilanda banjir.
"Aneh saja, istri saya bilang banjir tapi saya berada di Bakauheni pantai sedang surut. Kan aneh. Padahal sejauh apa sih Way Muli Timur dengan Bakauheni," kata dia.
Baca juga: Ratusan warga Pulau Sebesi akhirnya mau dievakuasi
Baca juga: Warga yang mengungsi di pegunungan Lampung belum tersentuh bantuan
"Saya trauma, saya tidak berani turun," kata seorang warga Way Muli Tumur yang mengungsi di pengungsian Pegunungan Rajabasa, Suminta, di Lampung Selatan, Jumat.
Dia mengatakan, bencana tsunami telah merusak sebagian rumah beserta perahu miliknya yang biasa dipergunakan untuk usaha.
"Rumah saya sebelah bagian kanan jalan dan tidak membelakangi laut. Beruntung rumah saya cuma sebagian yang rusak dan terpenting keluarga saya tidak jadi korban," katanya menerangkan.
Selain berprofesi sebagai nelayan, Suminta dalam kesehariannya menjadi guru mengaji untuk anak-anak sekitar. Saat kejadian, dirinya tidak mendapati tanda-tanda akan terjadinya tsunami.
"Ketika mereka teriak-teriak ada tsunami ada tsunami, saya langsung lari bersama keluarga saya menaiki dataran tinggi ke arah gunung. Pada saat itu, saya tidak tahu lagi selanjutnya," kata dia.
Warga lainnya, Pajri, saat kejadian sedang berada di Pelabuhan Bakauheni. Saat itu warga yag berprofesi sebagai supir itu sedang menyeberang ke Pelabuhan Merak mengantarkan kiriman menggunakan mobil truk.
"Hanya ada anak dan istri saya yang berada di rumah. Dan untung mereka bisa selamat," kata dia menjelaskan.
Namun, dia merasa ada keanehan ketika istrinya menghubunginya melalui sambungan telepon. Saat itu, istrinya mengatakan bahwa di desanya sedang dilanda banjir.
"Aneh saja, istri saya bilang banjir tapi saya berada di Bakauheni pantai sedang surut. Kan aneh. Padahal sejauh apa sih Way Muli Timur dengan Bakauheni," kata dia.
Baca juga: Ratusan warga Pulau Sebesi akhirnya mau dievakuasi
Baca juga: Warga yang mengungsi di pegunungan Lampung belum tersentuh bantuan
Pewarta: Triono Subagyo dan Damiri
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018
Tags: