Jakarta (ANTARA News) - Usai berbagai bencana besar seperti gempa Lombok juga gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah yang berturut-turut (Juli dan September), Indonesia kembali tersentak dengan kabar tsunami di perairan Selat Sunda, Sabtu malam (22/12).

Beberapa titik di pesisir pantai Banten dan Lampung Selatan luluh lantak akibat gelombang tsunami dengan tinggi bervariasi antara satu hingga lima meter.

Gelombang tsunami itu mengakibatkan sedikitnya 430 orang meninggal dunia, 1.495 orang luka-luka, 159 orang hilang dan 21.991 orang mengungsi termasuk yang dari pulau-pulau di sekitar Selat Sunda, di antaranya Pulau Sebesi dan Pulau Sebuku.

Tidak cukup itu, bencana alam itu juga menyebabkan kerugian fisik meliputi 924 unit rumah rusak, 73 unit penginapan/hotel/vila rusak, 434 unit perahu dan kapal rusak, 60 unit warung dan toko rusak serta puluhan kendaraan rusak.

Aktivitas dan letusan Gunung Anak Krakatau di tengah Selat Sunda yang mengakibatkan longsor bawah laut seluas 64 Hektare, ditambah saat itu gelombang pasang karena bulan purnama, diduga menjadi penyebab gelombang tinggi tsunami tersebut.

Meski begitu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Nugroho, dalam akun twitter-nya, @Sutopo_PN, menilai tsunami di Selat Sunda termasuk langka, pasalnya letusan Gunung Anak Krakatau tidak besar, meski getaran terus-menerus namun tidak ada frekuensi yang mencurigakan dan tidak ada gempa yang memicu tsunami saat itu, hingga akhirnya sulit menentukan penyebab awal gelombang tsunami.

Jadi Momok
Tsunami yang ternyata tidak didahului gempa Bumi itu, tentu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat yang tinggal dan beraktifitas di pesisir pantai jugs di pulau-pulau kecil yang tersebar di Indonesia, termasuk masyarakat di gugusan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Bukan tanpa alasan warga di Kepulauan Seribu merasa was-was. Pasalnya, selain kenyataan bahwa tsunami Selat Sunda menerjang tanpa ada peringatan (didahului gempa), lingkungan tempat tinggal mereka juga bisa disebut terkategorikan wilayah rawan.

Dari data pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pulau-pulau di Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta memiliki topografi datar hingga landai yang memiliki ketinggian rata-rata sekitar 0-2 meter di atas permukaan laut, serta luas daratan yang dapat berubah oleh pasang surut air laut dengan ketinggian pasang antara 1-1,5 meter.

Adapun Teluk Jakarta bukan perairan dalam, kedalamannya tidak ekstrim dan masuk kategori "dangkal" untuk suatu perairan.

Jika melihat kejadian tsunami di Selat Sunda dengan ketinggian gelombang satu hingga lima meter, pulau-pulau di wilayah Kepulauan Seribu ini terbilang sangat mudah tersapi tenggelam oleh gelombang tinggi tsunami tersebut.

Bahkan kerawanan tersebut tersirat dari pernyataan BMKG pada 24 Desember 2018 yang menyebut wilayah Utara Jawa termasuk wilayah Jakarta berpotensi diterjang gelombang pasang maksimum di akhir tahun 2018 menyusul aktifitas erupsi Gunung Anak Krakatau.

Menurut jurnal penelitian Teknik Geodesi ITB pada 1999, sejatinya pulau-pulau di Kepulauan Seribu memiliki "pertahanan" yang kuat dalam menghadapi gelombang air laut karena telah lebih dahulu teredam oleh rataan karang (reef flat) yang mengelilingi pulau-pulau hingga akibatnya gelombang di daerah tubir akan lebih besar dibandingkan di pesisir pantai. Di antaranya di Pulau Pramuka yang terkategori memiliki gelombang rendah (<1 meter).

Akan tetapi, meski memiliki pertahanan alami, pulau di wilayah itu dikatakan kuat, namun kini dalam keadaan terancam, bukan hanya dari alam, tapi juga dari manusia, seiring perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk serta jumlah wisatawan yang berkunjung ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu, termasuk Pulau Pramuka yang dulunya bernama Pulau Elang.

Mahariah (49), warga Pulau Pramuka yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar, mengatakan pulau yang menjadi pusat pemerintahan kabupaten Kepulauan tersebut mengalami pergeseran dari habitat elang bondol yang merupakan maskot DKI Jakarta, menjadi pemukiman sejak dasawarsa '70-an akhir dan perlahan menjadi rusak oleh pembukaan lahan dan limbah sampah dari para wisatawan.

"Karena semakin ramainya warga dan perkembangan wisata, habitat elang sudah tidak ada, hutan bakau mengalami penyusutan, sampah plastik banyak terserak di pulau serta perairan, dan terumbu karang banyak mengalami kerusakan. Padahal bakau dan terumbu karang adalah ekosistem penting dari sebuah pulau karena itu ibaratnya benteng kita," kata Mahariah saat dihubungi.

Bahkan, Mahariah menyebut, luas pulau sempat terdegradasi karena abrasi (pengikisan daratan oleh air laut) akibat rusaknya ekosistem bakau, lamun dan terumbu karang.

Sampai-sampai penyu sisik yang salah satu habitat bertelurnya adalah di Pulau Pramuka, sempat enggan singgah karena rusaknya kondisi ekosistem hutan pantai di Pulau Pramuka akibat banyak aktifitas manusia yang tidak menjaga alam.

"Namun kami tak bisa mengesampingkan sektor pariwisata, karena itu salah satu sumber perekonomian utama masyarakat di pulau ini," ujar dia.
Warga Pulau Pramuka Mahariah menunjukan salah satu produk pertanian Pulau Pramuka. (Antara/Ricky Prayoga)


Usaha Rehabilitasi
Menyadari menjaga lingkungan dan menjaga sektor pariwisata sama pentingnya, Mahariah bersama orang-orang yang sepaham dengannya, sekitar 2003 mulai mengembangkan program ekowisata.

Melalui program ini, Mahariah bersama kelompoknya menawarkan menjalankan bisinis pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengedepankan aspek konservasi alam, pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal, serta pendidikan.

Kelompok ini menitik beratkan konservasi alam dengan melakukan pembersihan sampah serta memperbaiki kualitas ekosistem penyangga pulau yakni hutan pantai, hutan bakau dan padang lamun.

Pembersihan sampah (utamanya plastik), dilakukan dengan kampanye menjaga lingkungan warga masing-masing agar sampah tidak menumpuk serta menjaga kerindahan. Lalu untuk rehabilitasi ekosistem penyangga pulau, kelompok ini secara swadaya memulai untuk menanam pohon bakau hingga cemara pantai sedikit demi sedikit dan merawatnya demi menciptakan ekosistem pantai.

"Walau di awal rasanya sulit, harus pelan-pelan menyadarkan masyarakat, tapi hasil kerja kerasnya ada, bahkan saat ini dari perhitungan terakhir, luas pulau bertambah dari 14 hektar sebelum ada bakau, sekarang menjadi 16,73 hektar," ujar Mahariah.
Warga Pulau Pramuka Mahyudin menunjukan salah satu program Kampung Berseri Astra, Bio Gas. (Antara/Ricky Prayoga)


Butuh Bantuan
Kelompok ini menyadari bahwa usaha yang mereka lakukan tidak bisa dilakukan sendiri, namun membutuhkan pihak lainya termasuk swasta untuk meningkatkan usaha mereka menyelamatkan pulau mereka. Termasuk memenuhi kebutuhan yang selama ini belum bisa mereka dapatkan penuh dari dalam pulau, yakni air tawar, energi dan kebutuhan pangan masyarakat.

Tergerak kerja keras para penduduk Pulau Pramuka untuk melestarikan lingkungan tempat tinggalnya, swasta seperti PT Astra International akhirnya tergerak untuk turut memfasilitasi usaha warga di Pulau Pramuka untuk menjaga lingkungan seiring dengan usaha meningkatkan perekonomian mereka utamanya di sektor ekowisata.

Mulai tahun 2015, Astra dengan program Kampung Berseri Astra memfasilitasi warga di Pulau Pramuka dengan mencanangkan pembentukan "ranger" sampah yang terdiri dari nelayan dan penyelam setempat untuk mencari dan mengumpulkan sampah di perairan sekitar pulau, serta pendirian bank sampah sebagai penampung dan pengolah sampah menjadi cendera mata yang dijual pada wistawan.

Bahkan kini mereka memiliki produk olahan baru yakni ecobrick atau "batu bata ramah lingkungan", terbuat dari botol dan sampah plastik yang terkumpul, dan pemanfaatan utamanya sebagai sistem peringatan dini.

"Ini kami susun dan tempatkan di air sebagai penanda bahwa di bawahnya ada terumbu karang hidup, yang juga berfungsi sebagai tempat untuk menambat kapal sehingga jadi peringatan agar tidak melepas jangkar ke air yang ada terumbu karang," ujar Agus, salah satu anggota kelompok Mahariah.

Program Kampung Berseri ini, terlibat dalam berbagai proyek di pulau tersebut yakni pembibitan tumbuhan bakau sebagai pembentuk utama ekosistem hutan mangrove yang merupakan tempat hidup berbagai jenis ikan, burung dan pelindung pulau dari abrasi serta gelombang tinggi; pemeliharaan kawasan pantai hingga sesuai untuk tempat bertelur penyu sisik dan pembudidayaan penyu; serta menginisiasi program untuk pengadaan air, energi dan bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat.

Untuk pengadaan air tawar yang selama ini mengandalkan pasokan dari luar (karena Pulau Pramuka tak memiliki sumber air tawar) diusahakan dengan membuat banyak sumur resapan berdiameter 50 sentimeter sedalam satu meter dengan jarak dua meter antara satu sumur dan lainnya dengan tujuan menampung air hujan sebanyak-banyaknya sebagai sumber air baku (tanah).

Untuk kebutuhan pangan masyarakat yang juga harus didapatkan dari luar pulau, kini masyarakat bisa memenuhi sebagian kebutuhannya sendiri dengan adanya peternakan kelinci, pertanian sayuran produktif serta buah sukun yang diolah menjadi kerajinan kripik. Bahkan masyarakat beberapa kali bisa mengirimkan hasil produksinya ke daerah lain.

Sedangkan untuk energi, masyarakat sedang diarahkan untuk menggunakan bio gas dari pengolahan sayuran yang tidak terpakai seperti kubis yang dicampur dengan katalisator (kotoran sapi dan gula) untuk pertumbuhan bakteri hingga menghasilkan gas metan yang dialirkan ke kompor untuk memasak hingga bisa mengurangi ketergantungan masyarakat akan gas elpiji yang harganya lebih mahal karena persoalan transportasi di wilayah itu.

"Harapannya, ini bisa jadi solusi masyarakat pulau. Serta menjadi pemasukan lain mereka dengan memproduksi berbagai komoditi dari pertanian dan peternakan yang aplikasinya bisa diterapkan di pekarangan rumah walau masih perlu dikembangkan lagi," ujar Corporate Comunication PT Astra International, Boy Kelana Soebroto, saat ditemui, Kamis lalu (27/9).

Diakui oleh Mahyudin, salah satu penghuni Pulau Pramuka dan anggota kelompok Mahariah, dengan berbagai program yang mendukung ekonomi berbasis lingkungan, Kampung Berseri Astra memiliki kontribusi dalam menyejahterakan masyarakat Pulau Pramuka.

Bahkan, menurut dia, turut andil "menjaga" pulau dari bencana alam seperti degradasi tanah akibat abrasi air laut, serta membentengi pulau berpenduduk 2.000 jiwa tersebut dari ancaman gelombang tinggi tsunami.

"Walau perasaan was-was itu ada, terlebih dengan tsunami di Selat Sunda kemarin, tapi kami sedikit tenang dengan kemajuan pertumbuhan ekosistem pelindung pulau di sini. Mudah-mudahan usaha kami bisa menjadi solusi akan perasaan khawatir kami," ujar Mahyudin yang merupakan pensiunan PNS Suku Dinas PU di Kepulauan Seribu tersebut.