Inalum : divestasi Freeport tidak seperti beli "barang sendiri"
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi (kiri ke kanan) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan, CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin, Jaksa Agung M Prasetyo dan Mensesneg Pratikno memberikan keterangan terkait pelunasan divestasi PT Freeport Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (21/12/2018). Presiden mengumumkan pelunasan divestasi PT Freeport Indonesia dengan membayarkan 3,85 miliar dolar AS atau sekitar Rp56 triliun melalui PT Inalum sehingga telah resmi menjadi milik Indonesia. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama.
“Sangat disayangkan beberapa pengamat tidak membaca data dan Kontrak Karya (KK) PTFI sebelumnya, namun berani membuat analisa bodong dan menyesatkan publik seolah-olah kita membeli Tanah Air kita sendiri. Tidak seperti itu,” kata Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum Rendi A. Witular dalam keterangan tertulis yang diterima AntaraNews, di Jakarta, Senin.
Inalum pada Jumat (21/12), resmi meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9,36 persen menjadi 51 persen dengan membayar 3, 85 miliar dolar AS atau sekitar Rp55 triliun dan menjadi pengendali perusahaan yang memiliki tambang Grasberg di Papua dengan kekayaan emas, perunggu dan perak sebesar Rp2.400 triliun hingga 2041.
PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada tahun 1967 di zaman Soeharto dan diperbarui melalui KK tahun 1991 di zaman Presiden yang sama dengan masa operasi hingga 2021.
Terkait dengan masa operasi tersebut, perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), pengendali PTFI, dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan.
Pengertian FCX adalah bahwa KK akan berakhir di tahun 2021 namun mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041). Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".
Interpretasi yang berbeda terkait kata “tidak wajar” ini harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase).
Jika ambil jalur arbitrase dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan. Ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Tambang Grasberg adalah yang paling rumit di dunia.
Dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90 persen ekonomi mereka digerakan oleh kegiatan PTFI.
Tidak ada jaminan pula Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun, dan jika kalah bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi.
Di KK itu pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis.
KK PTFI tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas di mana jika kontrak berakhir langsung dimiliki oleh pemerintah.
Baca juga: Inalum : tidak ada aset digadaikan untuk beli Freeport
Baca juga: Penerimaan negara dari Freeport diupayakan lebih besar
Baca juga: Presiden umumkan pelunasan divestasi PT Freeport
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018