Badan Geologi cek aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau
23 Desember 2018 04:56 WIB
Asap hitam menyembur saat terjadi letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Banten, Senin (10/12/2018). Berdasarkan data yang terekam di Pos Pengamatan GAK di Pasauran, Serang, sejak Jumat (7/12) hingga Minggu (9/12) GAK mengeluarkan 204 letusan awan hitam setinggi 150-300 meter dengan durasi 31-72 detik diiringi 22 kali gempa vulkanik sehingga statusnya masih pada level waspada. ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Badan Geologi Kementerian ESDM akan memeriksa morfologi dan aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yang diduga menyebabkan tsunami di Selat Sunda.
"Keterkaitan dengan tsunami ini, memang kami masih menduga apakah ada longsor material dari lereng Gunung Anak Krakatau atau bukan," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar kepada media melalui telekonferensi di Kantor BMKG, Jakarta pada Minggu dini hari.
Menurut Rudy, gunung tersebut secara visual dan morfologi berkemungkinan untuk longsor karena aktivitas vulkanik.
Dia menambahkan tipe letusan Gunung Anak Krakatau yang terpantau tim Badan Geologi bertipe "strombolian" atau melontarkan material vulkanis ke atas gunung.
Tim mencatat lontaran material vulkanis gunung itu bisa mencapai tinggi 1.500 meter ke atas.
"Kemudian tadi juga dilaporkan jam 21.03 WIB memang terjadi lagi letusan. Hanya karena cuacanya kurang mendukung untuk pemantauan visual, kita tidak melihat lontaran ketinggiannya," ungkap Rudy.
Namun demikian, setiap letusan di Gunung Anak Krakatau juga dibarengi dengan lelehan lava yang turun mengikuti lereng.
Pihaknya bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akan memeriksa morfologi gunung itu untuk mengetahui penyebab gelombang tsunami yang bisa disebabkan karena longsoran material vulkanis di lautan.
Sebelumnya telah terjadi gelombang tsunami bersamaan dengan gelombang tinggi pasang air laut di Selat Sunda yang menerjang kawasan di Provinsi Banten maupun Provinsi Lampung pada Sabtu malam (22/12).
Data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak tiga orang tewas dan 21 lainnya mengalami luka-luka di Lampung dan Banten akibat insiden yang terjadi di kawasan itu.
"Keterkaitan dengan tsunami ini, memang kami masih menduga apakah ada longsor material dari lereng Gunung Anak Krakatau atau bukan," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar kepada media melalui telekonferensi di Kantor BMKG, Jakarta pada Minggu dini hari.
Menurut Rudy, gunung tersebut secara visual dan morfologi berkemungkinan untuk longsor karena aktivitas vulkanik.
Dia menambahkan tipe letusan Gunung Anak Krakatau yang terpantau tim Badan Geologi bertipe "strombolian" atau melontarkan material vulkanis ke atas gunung.
Tim mencatat lontaran material vulkanis gunung itu bisa mencapai tinggi 1.500 meter ke atas.
"Kemudian tadi juga dilaporkan jam 21.03 WIB memang terjadi lagi letusan. Hanya karena cuacanya kurang mendukung untuk pemantauan visual, kita tidak melihat lontaran ketinggiannya," ungkap Rudy.
Namun demikian, setiap letusan di Gunung Anak Krakatau juga dibarengi dengan lelehan lava yang turun mengikuti lereng.
Pihaknya bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akan memeriksa morfologi gunung itu untuk mengetahui penyebab gelombang tsunami yang bisa disebabkan karena longsoran material vulkanis di lautan.
Sebelumnya telah terjadi gelombang tsunami bersamaan dengan gelombang tinggi pasang air laut di Selat Sunda yang menerjang kawasan di Provinsi Banten maupun Provinsi Lampung pada Sabtu malam (22/12).
Data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak tiga orang tewas dan 21 lainnya mengalami luka-luka di Lampung dan Banten akibat insiden yang terjadi di kawasan itu.
Pewarta: Bayu Prasetyo
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2018
Tags: