Jakarta (ANTARA News) - Kalimat yang meluncur dari pelatih tim nasional sepak bola Indonesia Bima Sakti terdengar terbata-bata dalam konferensi pers di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Minggu (25/11).

Bima mengaku dirinya terharu melihat dukungan suporter untuk skuatnya meski timnas dipastikan tersingkir dari Piala AFF 2018 karena tak mampu lolos dari fase grup seperti tahun 2007, 2012 dan 2014. Sebuah prestasi yang amat buruk karena sejatinya tim berjuluk Garuda itu ditargetkan meraih juara.
Baca juga: Bima Sakti terharu melihat dukungan suporter
Baca juga: Bima: Jangan saling menyalahkan terkait kegagalan timnas

Pencapaian yang membuat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mendapat kritik dari berbagai kalangan tersebut seolah menjadi kesimpulan pahit dari cerita timnas sepanjang tahun 2018.

Di 2018, tim nasional sepak bola Indonesia semua kelompok umur baik putra dan putri mengikuti delapan turnamen resmi yang diakui Federasi Sepak Bola ASEAN (AFF) dan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).

Timnas putri terlibat dalam tiga kompetisi yaitu Piala AFF, Asian Games dan kualifikasi Olimpiade 2020, dan mereka tidak ditargetkan menjadi yang terbaik. Hasilnya, Indonesia memang gagal lolos dari fase grup Piala AFF putri 2018 dan sepak bola putri Asian Games 2018. Prestasi yang memang tak apik, tetapi bisa dimaklumi karena timnas putri Indonesia baru diaktifkan kembali pada tahun 2017 setelah vakum beberapa tahun.

Walau begitu, timnas putri mampu menorehkan catatan bagus di kualifikasi Olimpiade tahun 2020, Tokyo, setelah lolos ke fase kedua kualifikasi.

Kepada timnas putra, pada tahun 2018 PSSI menargetkan juara di tiga turnamen yakni Piala U-16 AFF, U-19 AFF dan Piala AFF. Lalu mencapai semifinal Asian Games serta U-16 dan U-19 Piala Asia, yang kalau berhasil otomatis melaju ke Piala Dunia remaja FIFA.

Kenyataannya, hanya satu yang mampu memenuhi ekspektasi, yaitu timnas U-16 asuhan pelatih Fakhri Husaini yang merebut gelar kampiun Piala U-16 AFF.
Baca juga: Indonesia juara Piala AFF U-16

Di kejuaraan lainnya, Indonesia tak mampu bicara banyak. Indonesia hanya sampai perempat final di Piala U-16 dan U-19 Asia, peringkat ketiga di Piala U-19 AFF, sementara timnas U-23 cuma bertengger di 16 besar cabang olahraga sepak bola Asian Games 2018. Timnas senior bahkan tak mampu lolos dari fase grup Piala AFF.

PSSI berjanji melakukan evaluasi. Setiap aspek timnas akan dinilai, baik teknis maupun non-teknis.

Performa para pelatih yakni Fakhri Husaini di timnas U-16, Indra Sjafri di timnas U-19, Luis Milla di timnas U-23 serta Luis Milla/Bima Sakti di tim nasional senior tak luput dari perhatian.

Dari nama-nama itu, bisa dikatakan Fakhri Husaini-lah yang paling sukses. Sejak ditunjuk menjadi pelatih pada tahun 2017, dia membawa anak-anak asuhnya merengkuh tiga gelar juara di tiga turnamen internasional yaitu Piala U-16 Tien Phong Plastic 2017 di Vietnam, turnamen sepak bola remaja U-16 JENESYS Jepang-ASEAN 2018 di Jepang dan Piala U-16 AFF 2018 di Indonesia. Di era modern, belum ada juru taktik Indonesia yang mampu menyamai hasil tersebut.

Ketika ditanyakan mengenai alasan timnas tidak mampu berbicara banyak di turnamen tingkat Asia dan Asia Tenggara, baik Fakhri, Indra dan Bima memberikan jawaban yang hampir serupa. Mereka sepakat sepak bola Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain terutama soal kompetisi usia muda, bahkan bila dibandingkan dengan Thailand.

Thailand, yang mulai disegani di tingkat Asia, telah memikirkan soal ini sejak jauh hari. Berbekal hasrat bermain di Piala Dunia 2026, Asosiasi Sepak Bola Thailand (FAT) membangun ekosistem liga usia muda bernama Liga Belia Thailand (Thailand Youth League) mulai tahun 2016 meliputi liga U-13 (untuk pemain di bawah 13 tahun), U-15, U-17 dan U-19.

Klub-klub profesional Thailand seperti FC Bangkok bahkan memiliki tim-tim belia mulai U-7 sampai U-17, sementara juara Liga Thailand tahun 2017 Buriram FC mempunyai tim muda yakni U-11, U-13, U-15, U-17 dan U-19.

Itu malah belum apa-apa bila melihat Jepang yang program pemain mudanya sudah berjalan sejak tahun 1980-an atau Australia yang sudah punya kompetisi usia dini modern mulai tahun 2008.

Situasi ini berbeda dengan klub-klub di Indonesia yang belum terbiasa membina tim usia muda. PSSI baru mewajibkan klub memiliki tim U-19 sejak tahun 2017 dan tim U-16 sejak tahun 2018.


Drama

Bukan prestasi, tetapi justru drama yang mencuri perhatian pencinta sepak bola nasional pada tahun 2018.

Diawali dengan habisnya kontrak pelatih asal Spanyol Luis Milla pada Agustus 2018 usai memimpin timnya di Asian Games 2018. Masyarakat kemudian menyaksikan "tarik ulur" perpanjangan kontrak Luis Milla oleh PSSI.

Isu ini terus bergulir sampai akhirnya Bima Sakti ditunjuk sebagai pengganti. Luis Milla sempat melontarkan kekecewaan melalui unggahan di media sosial pribadinya. Mantan pemain Barcelona dan Real Madrid itu menganggap PSSI memiliki profesionalisme dan manajemen yang buruk.

Situasi lalu bertambah kusut dengan datangnya kabar duka dari Liga 1 Indonesia tahun 2018, di akhir September. Seorang anggota suporter klub Persija Jakarta, The Jakmania, tewas setelah dikeroyok kelompok suporter Persib Bandung di pelataran Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung.

Baca juga: Persib sampaikan duka atas meninggalnya Haringga Sirilla

Sepak bola Indonesia berkabung. Polisi melakukan pengusutan dan menahan para tersangka. Mereka sudah disidang dengan vonis masa tahanan beragam, tiga sampai empat tahun.

Namun, drama belum berhenti. Akhir November 2018, Indonesia diguncang kabar adanya dugaan pengaturan skor di Liga 2. Acara bincang-bincang di televisi yang dipandu pewarta ternama Najwa Shihab menjadi awal semuanya. Para narasumber dengan gamblang menyebut para terduga pelaku. Salah satunya Hidayat, anggota komite eksekutif PSSI periode 2016-2020 yang ujungnya mengundurkan diri karena dampak dari kasus tersebut.

Komite Disiplin PSSI segera bersidang. Hasilnya, Hidayat terbukti berupaya suap dengan menawarkan sejumlah uang kepada klub Liga 2 Madura FC. Beragam sanksi diterimanya, mulai dari larangan beraktivitas di dunia sepak bola selama tiga tahun, wajib membayar denda sebesar Rp150 juta, hingga tidak diperkenankan memasuki stadion selama dua tahun.

Baca juga: Mantan anggota Exco PSSI terbukti berupaya suap

Gonjang-ganjing di luar lapangan dikhawatirkan membuat proses pengembangan sepak bola Indonesia terhambat. Namun, PSSI menegaskan tetap fokus menunaikan semua rencana yang sudah disusun.

Untuk soal pengaturan skor, organisasi yang berdiri 19 April 1930 tersebut berjanji membentuk sebuah komite khusus (ad hoc) yang akan bekerja sama dengan pihak kepolisian demi memberantas para mafia bola.

Lalu dari sisi peningkatan prestasi sepak bola, PSSI tetap menjalankan liga usia muda yaitu Liga 1 U-19, yang telah berlangsung sejak 2017, dan Liga 1 U-16 yang bergulir pertama kali mulai tahun 2018. Begitu pula turnamen remaja Piala Soeratin untuk kelompok umur U-13, U-15 dan U-17 yang tetap berputar.

PSSI juga telah menggelar kursus lisensi pelatih Pro AFC pada April 2018. Ini menjadi tonggak penting karena itu adalah pertama kalinya PSSI, Indonesia menyelenggarakan kursus untuk lisensi setingkat Pro AFC. Setidak-tidaknya kini ada 20 pelatih Indonesia bersertifikat Pro AFC. Meski demikian, jumlah itu sangat sedikit jika dibandingkan negara seperti Jepang yang memiliki ratusan pelatih Pro AFC.

Mimpi PSSI di bawah kepemimpinan Edy Rahmayadi yaitu, timnas Indonesia mampu berlaga di Olimipiade tahun 2024 dan Piala Dunia tahun 2034 di mana Indonesia mengajukan diri menjadi tuan rumah bersama Thailand. Lalu tahun 2045 Indonesia diharapkan mampu menguasai Piala Asia.

Di penghujung 2018, demi meraih trofi di kemudian hari, PSSI menunjuk beberapa nama untuk melatih timnas putra maupun putri. Mantan pelatih klub Liga 1 Indonesia Bhayangkara FC Simon McMenemy menangani timnas senior putra, Indra Sjafri melatih timnas U-22 putra dan Bima Sakti memegang timnas U-16 putra. Untuk timnas U-19, PSSI belum menentukan nama tetapi Fakhri Husaini masuk dalam bursa.

Untuk timnas putri, pelatihnya kembali dijabat Rully Nere. Pelatih timnas U-16 putri menyusul kemudian. Nama-nama pelatih semua timnas akan ditetapkan sebelum kongres tahunan PSSI yang rencananya digelar di Bali, 20 Januari 2019.

Tentu masyarakat berharap perubahan itu membawa angin segar. Lebih dari 28 tahun berlalu sejak sorak-sorai kemenangan bergemuruh saat Indonesia merebut medali emas sepak bola putra SEA Games 1991, masa terakhir timnas berjaya di turnamen resmi internasional.

Semoga penantian prestasi tim nasional Indonesia berakhir tidak lama lagi.