Jakarta (ANTARA News) - Komnas Perempuan menyebut realitas persoalan yang terjadi pada buruh migran belum menunjukkan berbagai perlindungan normatif bagi Pekerja Migran Indonesia, masih jauh dari harapan, dan belum terimplementasi secara efektif.

Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei dalam siaran pers di Jakarta, Jumat, menilai hal tersebut berdasarkan isu migrasi yang ditinjau ulang di sejumlah wilayah pascakonflik dalam 20 tahun terakhir.

“Isu migrasi tidak bisa dilepaskan dari konflik khususnya konflik Sumber Daya Alam (SDA) dan pembangunan infrastuktur yang memicu migrasi paksa yang terjadi di sejumlah wilayah konflik termasuk bencana,” kata Imam.

Menurut Imam, dari hasil pendokumentasian Komnas Perempuan tentang hukuman mati bagi migran dan keluarganya (2015) dan pemantauan tentang migrasi, perdagangan perempuan dan narkoba (2017) juga menunjukkan kompleksitas isu migrasi.

“Ada yang dijadikan kendaraan sindikasi narkoba yang merentankan perempuan pekerja migran hingga terancam hukuman mati atau merenggut seumur hidup mereka di penjara,” kata Imam.

Menurut dia, temuan ini juga memperlihatkan kerentanan kerja domestik yang eksploitatif dan iming-iming kerja dengan mobilitas tinggi dijadikan sasaran modus sindikasi narkoba, serta diperparah dengan dimensi kekerasan berbasis gnder di balik isu migrasi.

“Data yang diadukan ke Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan pada 2018, menunjukkan pola-pola yang sejak 30 tahun migrasi masih terjadi dan masih berulang,” kata dia.

Beberapa masalah itu antara lain ancaman pra berangkat, informasi, manipulasi dokumen, perampasan dokumen, pelanggaran kontrak kerja, dipekerjakan oleh beberapa majikan, perbudakan kerja tak kenal waktu, kekerasan psikis hingga seksual, dilarang kembali ke tanah air, dilarang beribadah, dipaksa tidur dengan anjing, hingga hutang dan pemerasan.

“Padahal, Kasus-kasus pelanggaran hak-hak pekerja migran menuntut adanya layanan, upaya pencegahan dan perlindungan yang memadai, serta sistem pengawasan yang memastikan penyelenggaraan layanan dan perlindungan berjalan sebagaimana mandat undang-undang,” kata dia.

Imam menyebut perangkat pengawasan penyelenggaraan penempatan dan perlindungan pekerja migran sangat dibutuhkan untuk meminimalisir terjadinya kasus-kasus pelanggaran hak-hak pekerja migran, termasuk memastikan kementerian/lembaga terkait memenuhi hak-hak pekerja migran, di seluruh tahapan migrasi (pra penempatan, penempatan dan purna penempatan).

“Hal yang juga mengkhawatirkan adalah kerentanan pekerja migran perempuan terhadap kekerasan seksual. Ini semakin menguatkan adanya kebutuhan payung hukum, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk segera disahkan guna melindungi pekerja migran,” kata dia.*



Baca juga: Kemlu nilai BPJS Ketenagakerjaan mitra andal lindungi pekerja migran

Baca juga: Pemerintah diminta harus susun turunan UU PPMI