Tanggal 10 Desember 2018 bisa jadi menjadi saat yang sulit dilupakan bagi sejumlah anggota kepolisian yang sedang bertugas di Mapolsek Ciracas, Jakarta Timur, karena tiba-tiba muncul serangan, penyerbuan atau apa pun istilahnya, yang dilakukan oleh sekitar 170 orang.

Gara-gara persoalan yang amat sepele antara juru parkir dengan seorang pengendara sepeda motor yang ternyata seorang kapten TNI, maka akhirnya timbul bentrokan diantara kedua pihak yang kemudian membawa-bawa seorang prajurit satu (pratu) hingga akhirnya muncul persoalan besar. Munculnya berbagai tanggapan termasuk dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto.

Padahal suasana tenang di Jakarta terutama di bidang keamanan sangat dijaga oleh jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak dahulu masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI bersama Kepolisian Republik Indonesia alias Polri. Mereka sangat khawatir jika terjadi gesekan di antara aparat pertahanan dan keamanan di ibu kota negara ini maka bisa menimbulkan dampak negatif terhadap daerah-daerah lainnya di Tanah Air.

Sampai sekarang jarang sekali terdengar "gesekan" atau malahan bentrokan antara aparat TNI dengan Polri di Jakarta sedangkan di berbagai daerah hal itu beberapa kali terjadi.

Menko Polhukam Wiranto yang sudah dikenal sebagai seorang jenderal purnawirawan berbintang empat dengan setumpuk pengalaman di bidang tempur, pembinaan teritorial hingga persoalan politik akhirnya ikut "nimbrung" berbicara tentang kasus penyerbuan Mapolsek Ciracas ini. Wiranto dalam jumpa pers mengenai Mapolsek Ciracas menegaskan bahwa kekompakan antara TNI dengan Polri yang disebutnya soliditas tetap terjaga.

Sang jenderal berkata bahwa yang terjadi bukanlah polemik antara lembaga TNI dan Polri. Masyarakat di Tanah Air diminta memahami bahwa persoalan muncul diantara oknum-oknum kedua institusi tersebut. Dengan memberikan penjelasan ini, maka tentu jajaran Polhukam menginginkan tidak munculnya kesan bahwa ada "gesekan" antara TNI dengan Polri.

Rakyat tentu kaget dengan munculnya peristiwa yang amat menyedihkan ini. Yang menjadi pertanyaan, musibah ini terjadi pada 10 Desember, sedangkan hingga Rabu, 19 Desember belum ada penjelasan tuntas mengenai sebab-musabab kasus ini. Bagaimana hal ini tak terjadi lagi di masa depan, apalagi pada Rabu, 17 April 2019 akan dilaksanakan pemilihan presiden-wakil presiden hingga anggota DPD, DPR serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Sebagai perbandingan, rakyat tentu amat berhak menengok ke belakang terutama saat terjadinya penyerbuan oleh "segelintir" atau belasan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2013. Akibat "serbuan" itu, dua orang narapidana tewas sehingga timbul polemik.

Pertanyaan yang amat mendasar muncul karena tidak ada aturan perundangan yang memberi hak kepada prajurit TNI untuk "mendatangi" sebuah lapas. Akan tetapi pada kenyataannya, ada dua penghuni Lapas Cebongan yang tewas.

Saat itu, pimpinan Kodam IV/Diponegoro membantah adanya tindak kekerasan tersebut dengan menyatakan bahwa semua prajurit Kopassus berada di asrama sehingga tak ada "serbuan" itu. Akan tetapi karena munculnya begitu banyak pertanyaan hingga akhirnya Markas Besar Angkatan Darat memutuskan untuk membentuk tim investigasi.

Kemudian Brigadir Jenderal Unggul Yudhoyono yang pernah lama bertugas di Pasukan Pengamanan Presiden alias Paspampres ditunjuk sebagai ketua tim investigasi. Akhirnya, entah dengan pendekatan yang amat lunak alias "soft approach" maka Brigjen Unggul hanya dalam waktu dua hingga tiga hari berhasil membongkar kasus kekerasan ini.

Jenderal Unggul yang dikenal oleh lingkungannya sebagai perwira tinggi yang amat rendah hati tidak hanya berhasil membongkar kasus ini tapi juga sukses ikut menenangkan suasana. Bahkan pimpinan Kodam Diponegoro tergusur dari kursi empuknya padahal sang jenderal ini belum lama menduduki posisi itu.

Kolonel Infanteri Kristomei Sianturi di Jakarta, Jumat menyebut Kodam Jaya telah membentuk tim investigasi untuk mengungkap kelompok massa pelaku perusakan dan pembakaran Mapolsek Ciracas Jakarta Timur. (Devi Nindy/Antara)



Jangan terulang

Kasus penyerbuan Mapolsek oleh sekitar 170 hingga 200 orang itu diduga juga melibatkan "segelintir" prajurit. Namun sudah hampir 10 hari belum juga terungkap urutan kejadian atau kronologis kasus ini.

Tentu masyarakat di Tanah Air berhak meminta atau bahkan menuntut agar tidak ada hal-hal yang disembunyikan di "belakang layar".

Rakyat tentu ingin tahu mengapa situasi di Jakarta yang relatif aman dan baik itu harus terganggu oleh "segelintir oknum" prajurit. Para tentara itu pasti sudah pernah dididik bahwa mereka harus menjaga kekompakan atau soliditas diantara sesama prajurit TNi dan juga personel Polri. Akan tetapi kejadian serupa masih bisa terulang.

Salah satu faktornya kemungkinan besar adalah karena mereka masih muda-muda, tamtama dan bintara itu rata-rata usia dibawah 30 tahun sehingga "darah mudanya" amat mudah tergerak. Akan tetapi sebaliknya mereka harus sadar atau disadarkan bahwa sekalipun masih muda, mereka itu adalah prajurit-prajurit TNI yang dibekali pistol atau senapan sehingga harus tetap gampang mengendalikan diri.

Karena masih termasuk "generasi milineal" atau lelompok muda maka harus menahan diri apa pun alasannya. Tidak ada alasan sedikitpun bagi prajurit TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU dan juga Polri untuk "berdarah panas" yang gampang mengamuk atau naik emosinya hanya gara- gara hal sepele.

Mereka dipercaya menjadi prajurit TNI dan Polri karena diyakini bahwa mereka adalah termasuk orang-orang yang baik dan tidak berbakat untuk menjadi "preman" yang bisa mengamuk dimana saja dan kapan saja.

Kalau "preman" maka tak aneh jika gampang tersinggung dan kemudian marah hingga menyakiti perasaan dan hati rakyat. Akan tetapi seluruh prajurit TNI dan juga Polri harus sadar bahwa mereka adalah orang-orang terpilih untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang amat tercinta ini.

Kasus Mapolsek Ciracas, Jakarta Timur harus menjadi peristiwa "adu otot" yang terakhir kalinya jika terbukti ada keterlibatan personel- personel TNI. Ingatlah bahwa ketika terjadi peristiwa pergantian pemerintahan pada tahun 1998 maka yang paling dipuja dan dipuji-puji rakyat Indonesia terutama di ibu kota negara Jakarta adalah prajurit-prajurit Korps Marinir TNI Angkatan Laut.

Marinir dipuja dan dipuji rakyat Jakarta karena mereka sopan dan rendah hati saat harus menghadapi rakyat saat itu.

Menjelang pesta politik, 17 April 2019 yang biasanya hiruk-pikuk dengan saling serang, saling maki di antara para tokoh poltitik, maka seharusnya seluruh prajurit TNI dan Polri sebagai warga negara terbaik yang istilahnya "tawadhu" atau rendah hati atau tahu diri untuk menjaga keamanan. Senjata api yang digenggam merupakan alat untuk menjaga rakyat dan bukan "berperang" dengan sesama anggota TNI maupun Polri.*


Baca juga: Pengamat ingatkan TNI-Polri tidak terpancing lakukan keributan jelang pemilu

Baca juga: Polda Metro masih hitung kerugian akibat pembakaran Mapolsek Ciracas

Baca juga: Keterlibatan oknum TNI di kasus pembakaran mapolsek diselidiki