Menteri Agama bicara kebutuhan mengasah rasa di muktamar sastra
19 Desember 2018 13:39 WIB
Arsip Foto. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (kiri) saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/11/2018). (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
Situbondo, Jawa Timur (ANTARA News) - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berbicara mengenai kebutuhan untuk mengasah rasa saat membuka Muktamar Sastra Nusantara di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Rabu.
"Bangsa Indonesia saat ini sedang membutuhkan banyak mengasah rasa. Revolusi digital telah mengubah cara dan perilaku beragama sebagian kita," katanya.
Ia mengemukakan bahwa kegagapan sebagian orang dalam memahami agama kadang bisa membuat seruan agama yang seharusnya menentramkan justru menjadi menakutkan.
"Agama yang seharusnya santun justru menjadi kegarangan. Masyarakat kita butuh asupan bacaan dan pendidikan agama yang tidak hitam putih dalam penafsirannya," kata pejabat yang pernah nyantri itu.
Ia kemudian mengatakan bahwa pemahaman keagamaan mestinya lezat seperti santapan khas Madura.
"Masakan Madura itu nyaman ongghu (sungguh enak). Jadi pemahaman agama itu perlu pengetahuan yang memiliki cita rasa tinggi, bukan pengetahuan hambar yang tidak bergizi," tambahnya.
Ia mengapresiasi pelaksanaan Muktamar Sastra Nusantara yang digagas Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi`iyah Sukorejo KHR Ahmad Azaim Ibrahimy dengan dukungan Lembaga Ta'lif wa Anta Nashr Nahdlatul Ulama Jawa Timur dan TV9 Nusantara.
"Saya melihat benang merah sejumlah peristiwa yang menandakan keprihatinan dan kepedulian warga terhadap kebudayaan bangsa kita," katanya.
Dia juga mengatakan bahwa sastra bisa menjadi salah satu media pembelajaran.
"Saya yakin karya sastra memiliki karakter sintesis yang mampu menyatukan perbedaan. Sastra juga memiliki watak keleluasaan untuk menyuarakan suara arus bawah melawan ketidakadilan, termasuk korupsi, seperti yang dilakukan oleh Saudara Sosiawan Leak," terangnya.
Baca juga: Karya sastra mampu meredam kekerasan
"Bangsa Indonesia saat ini sedang membutuhkan banyak mengasah rasa. Revolusi digital telah mengubah cara dan perilaku beragama sebagian kita," katanya.
Ia mengemukakan bahwa kegagapan sebagian orang dalam memahami agama kadang bisa membuat seruan agama yang seharusnya menentramkan justru menjadi menakutkan.
"Agama yang seharusnya santun justru menjadi kegarangan. Masyarakat kita butuh asupan bacaan dan pendidikan agama yang tidak hitam putih dalam penafsirannya," kata pejabat yang pernah nyantri itu.
Ia kemudian mengatakan bahwa pemahaman keagamaan mestinya lezat seperti santapan khas Madura.
"Masakan Madura itu nyaman ongghu (sungguh enak). Jadi pemahaman agama itu perlu pengetahuan yang memiliki cita rasa tinggi, bukan pengetahuan hambar yang tidak bergizi," tambahnya.
Ia mengapresiasi pelaksanaan Muktamar Sastra Nusantara yang digagas Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi`iyah Sukorejo KHR Ahmad Azaim Ibrahimy dengan dukungan Lembaga Ta'lif wa Anta Nashr Nahdlatul Ulama Jawa Timur dan TV9 Nusantara.
"Saya melihat benang merah sejumlah peristiwa yang menandakan keprihatinan dan kepedulian warga terhadap kebudayaan bangsa kita," katanya.
Dia juga mengatakan bahwa sastra bisa menjadi salah satu media pembelajaran.
"Saya yakin karya sastra memiliki karakter sintesis yang mampu menyatukan perbedaan. Sastra juga memiliki watak keleluasaan untuk menyuarakan suara arus bawah melawan ketidakadilan, termasuk korupsi, seperti yang dilakukan oleh Saudara Sosiawan Leak," terangnya.
Baca juga: Karya sastra mampu meredam kekerasan
Pewarta: Masuki M Astro
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018
Tags: