LIPI sebut inkonsistensi kebijakan pengelolaan lahan tidak dengan cara bakar
19 Desember 2018 10:33 WIB
Petani memetik buah kopi di kebun kopi lahan Perhutani, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/2/2018). Pada 2018, pemerintah akan memberikan hak pengelolaan perhutanan sosial kepada sejumlah kelompok masyarakat di berbagai wilayah, dimana pada tahap pertama pemerintah telah memberikan hak pengelolaannya kepada 22 kelompok masyarakat di berbagai daerah dan tahap kedua akan dilakukan pada bulan Maret mendatang di wilayah Tuban, Malang, Blora dan Bandung. (ANTARA FOTO/Khairizal Maris)
Jakarta (ANTARA News) - Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI Laely Nur Hidayah menyebut masih terdapat inkonsistensi peraturan perundang-undangan terutama yang terkait dengan kearifan lokal dalam pengelolaan lahan dengan cara membakar.
"Pasal 69 (1) (h) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Pasal 69 (2) selanjutnya menyebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing,' jelas Laely di Jakarta, Rabu.
Ia mengungkapkan kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektare (ha) per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api kewilayah sekelilingnya.
Laley juga menyoroti permasalahan di tingkat lokal di Kalimantan Tengah, misalnya Peraturan Gubernur (Pergub) yang membolehkan membakar telah dicabut setelah adanya kebakaran hebat tahun 2015.
"Dengan dicabutnya Pergub Nomor 15 Tahun 2010 maka perlu peraturan baru, terutama apakah diperbolehkan lagi untuk masyarakat traditional menggunakan api untuk membuka lahan atau tidak,?" kata Laely.
LIPI, lanjutnya, telah memetakan permasalahan kebijakan dan implementasi serta tantangan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tata kelola gambut. Pusat Penelitian Biologi juga melakukan riset yang terkait biodiversitas di lahan gambut.
Selain itu, Ia mengatakan terobosan riset diperlukan terutama inovasi teknologi pembukaan lahan dengan tanpa bakar (PLTB).
"Inovasi-inovasi diperlukan untuk mendapatkan teknologi PLTB yang bisa diterima masyarakat dan memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat,?lanjutnya.
Ia mencontohkan pembukaan cetak sawah yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah salah satu contoh PLTB.
Lebih lanjut Laely mengatakan bahwa sejauh ini cetak sawah belum berhasil memproduksi padi sesuai yang diharapkan. Selain itu, masyarakat juga sudah terbiasa menanam tanaman padi lokal yang berusia enam hingga sembilan bulan.
"Peran berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam menjawab tantangan pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan," ujar dia.
Baca juga: KLHK kembangkan teknologi pembukaan lahan tanpa pembakaran
Baca juga: Pengelolaan gambut Indonesia jadi contoh dunia
"Pasal 69 (1) (h) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Pasal 69 (2) selanjutnya menyebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing,' jelas Laely di Jakarta, Rabu.
Ia mengungkapkan kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektare (ha) per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api kewilayah sekelilingnya.
Laley juga menyoroti permasalahan di tingkat lokal di Kalimantan Tengah, misalnya Peraturan Gubernur (Pergub) yang membolehkan membakar telah dicabut setelah adanya kebakaran hebat tahun 2015.
"Dengan dicabutnya Pergub Nomor 15 Tahun 2010 maka perlu peraturan baru, terutama apakah diperbolehkan lagi untuk masyarakat traditional menggunakan api untuk membuka lahan atau tidak,?" kata Laely.
LIPI, lanjutnya, telah memetakan permasalahan kebijakan dan implementasi serta tantangan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tata kelola gambut. Pusat Penelitian Biologi juga melakukan riset yang terkait biodiversitas di lahan gambut.
Selain itu, Ia mengatakan terobosan riset diperlukan terutama inovasi teknologi pembukaan lahan dengan tanpa bakar (PLTB).
"Inovasi-inovasi diperlukan untuk mendapatkan teknologi PLTB yang bisa diterima masyarakat dan memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat,?lanjutnya.
Ia mencontohkan pembukaan cetak sawah yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah salah satu contoh PLTB.
Lebih lanjut Laely mengatakan bahwa sejauh ini cetak sawah belum berhasil memproduksi padi sesuai yang diharapkan. Selain itu, masyarakat juga sudah terbiasa menanam tanaman padi lokal yang berusia enam hingga sembilan bulan.
"Peran berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam menjawab tantangan pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan," ujar dia.
Baca juga: KLHK kembangkan teknologi pembukaan lahan tanpa pembakaran
Baca juga: Pengelolaan gambut Indonesia jadi contoh dunia
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018
Tags: