Lebak (ANTARA News) - Pengamat hukum Koswara Purwasasmita mengatakan bahwa kasus korupsi kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT) akibat biaya politik tinggi yang dibebankan kepada calon kepala daerah.
"Semestinya, sistem pencalonan kepala daerah diubah guna menghindari korupsi," kata Koswara yang juga pengacara hukum saat dihubungi di Lebak, Banten, Senin.
Koswara mengatakan hal itu terkait dengan kasus korupsi kepala daerah, baik bupati, wali kota, maupun gubernur, yang ditangkap KPK sepanjang tahun 2018 sebanyak 17 orang.
Namun, lanjut dia, kejahatan korupsi itu kebanyakan melalui OTT dan beraneka modus mulai adanya praktik suap menyuap dengan memberikan kemudahan proses perizinan, seperti yang dialami Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin.
Bahkan, kasus terakhir Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar juga terlibat suap pemotongan dana alokasi khusus (DAK).
Mereka pelaku korupsi itu dilakukan secara beramai-ramai juga melibatkan kepala dinas maupun pengusaha swasta.
Fenomena kasus korupsi kepala daerah, kata dia, terus berlanjut jika pemerintah tidak mengubah sistem pencalonan kepala daerah.
Selama ini, kata dia, mahar politik dibebankan kepada calon kepala daerah sendiri. Ketika menduduki jabatan, yang bersangkutan harus berpikir bagaimana untuk mengembalikan biaya politik itu.
"Biaya politik itu tentu memicu potensi untuk melakukan kejahatan korupsi," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, pemilihan calon kepala daerah harus diubah sistemnya dengan kebijakan baru.
Pengamat: Korupsi kepala daerah akibat biaya politik tinggi
18 Desember 2018 00:04 WIB
Ilustrasi - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan. (ANTARA/Umarul Faruq)
Pewarta: Mansyur
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018
Tags: