Cawapres Ma'ruf ajak kiai Banten kembali mengingat sejarah bangsa
16 Desember 2018 17:57 WIB
Cawapres KH Ma'ruf Amin dalam Silaturahmi Nahdliyin Kabupaten dan Kota Serang, serta Kota Cilegon, di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara (Penata) Serang, di Serang, Minggu (16/12/2018) (ANTARA News/HO)
Serang (ANTARA News) - Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut satu, KH Ma'ruf Amin (KMA) mengajak para kiai Banten untuk kembali mengingat sejarah bangsa ini.
"Kita harus belajar dari sejarah, bagaimana para pendahulu kita membangun kesepakatan, mitsaq. Berupa NKRI dan Pancasila. Nabi sendiri pernah melakukan mitsaq, kesepakatan untuk kedamaian Madinah," kata KH Ma`ruf Amin dalam Silaturahmi Nahdliyin Kabupaten dan Kota Serang, serta Kota Cilegon, di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara (Penata) Serang, di Serang, Minggu.
Di Indonesia, menurut KMA, para ulama juga menjaga negara ini dengan luar biasa. Ketika Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus, beberapa bulan kemudian, di bulan Oktober, Belanda dan Sekutu ingin merebut Indonesia. Para Ulama yang dipimpin Rais Akbar mengeluarkan Resolusi Jihad yang melahirkan semangat Umat Islam untuk melawan penjajah Belanda.
"Ulama kita telah membangun kesepakatan tentang konsep dan dasar Negara ini. Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila. Kita harus menaati dan menjaga kesepakatan itu. Jika dilihat dari isi Pancasila, apa negara ini islami, ya tentu Indonesia ini negara kebangsaan yang bertauhid, karena ada Sila Ketuhanan yang Maha Esa," katanya.
KMA juga mengingatkan para Nahdliyin untuk tidak kagetan. Terbawa arus opini yang mendegradasi santri dan kiai seolah santri dan kyai tak layak jadi pemimpin, tak layak jadi politisi dan memimpin birokrasi.
"Santri itu bisa jadi apa saja. Zaman dulu, bupati dan wedana itu Kyai, di Serang ada Kyai Sjam`un, Kiai Abdul Halim Bupati Pandeglang.
Sekarang banyak juga santri dan kiai jadi Kepala Daerah. Jawa Barat dipimpin oleh kyai. Wakil gubernurnya kyai. Jawa Tengah wakil gubernurnya kyai, putranya Mbah Moen. Jawa Timur juga dipimpin Nyai Khofifah, dia itu santriwati. Gus Dur juga pernah jadi Presiden. Jadi kalau kyai dipilih jadi wakil presiden, bukan hal aneh," kata KMA.
Karena itu, KH Ma`ruf pun mengajak masyarakat untuk membantah tudingan bahwa dipilihnya KMA sebagai cawapres oleh Presiden Joko Widodo hanya akan jadi alat.
"Masa saya jadi alat. Saya tentu paham politik. Sebab sejak muda saya sudah jadi anggota DPRD DKI, menjadi anggota DPR-MPR, menjadi Dewan Pertimbangan Presiden dua periode, menjadi Rais Aam PBNU, Ketua MUI, masa bisa diperalat. Saya menerima tawaran menjadi wapres adalah untuk memperjuangkan kemaslahatan bangsa ini," katanya.
Upaya pembelaan terhadap umat, kata KMA, dilakukan sejak lama dan banyak mendapat respon positif di era Presiden Jokowi.
"Saya pernah usul kepada Pak Jokowi, Ekonomi Islam itu sangat penting bagi umat, sekaligus juga potensial untuk meningkatkan ekonomi nasional. Di antaranya adalah konsep bagi hasil. Kemudian Pak Jokowi setuju membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah. Saya usulkan juga agar Presiden langsung yang menjadi ketua Komitenya," kata KH Ma`ruf Amin.
Dalam kesempatan lain, KMA juga meminta Pemerintah untuk perhatian kepada pesantren, yang kemudian direspon menjadi RUU Pesantren.
"Kita harus belajar dari sejarah, bagaimana para pendahulu kita membangun kesepakatan, mitsaq. Berupa NKRI dan Pancasila. Nabi sendiri pernah melakukan mitsaq, kesepakatan untuk kedamaian Madinah," kata KH Ma`ruf Amin dalam Silaturahmi Nahdliyin Kabupaten dan Kota Serang, serta Kota Cilegon, di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara (Penata) Serang, di Serang, Minggu.
Di Indonesia, menurut KMA, para ulama juga menjaga negara ini dengan luar biasa. Ketika Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus, beberapa bulan kemudian, di bulan Oktober, Belanda dan Sekutu ingin merebut Indonesia. Para Ulama yang dipimpin Rais Akbar mengeluarkan Resolusi Jihad yang melahirkan semangat Umat Islam untuk melawan penjajah Belanda.
"Ulama kita telah membangun kesepakatan tentang konsep dan dasar Negara ini. Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila. Kita harus menaati dan menjaga kesepakatan itu. Jika dilihat dari isi Pancasila, apa negara ini islami, ya tentu Indonesia ini negara kebangsaan yang bertauhid, karena ada Sila Ketuhanan yang Maha Esa," katanya.
KMA juga mengingatkan para Nahdliyin untuk tidak kagetan. Terbawa arus opini yang mendegradasi santri dan kiai seolah santri dan kyai tak layak jadi pemimpin, tak layak jadi politisi dan memimpin birokrasi.
"Santri itu bisa jadi apa saja. Zaman dulu, bupati dan wedana itu Kyai, di Serang ada Kyai Sjam`un, Kiai Abdul Halim Bupati Pandeglang.
Sekarang banyak juga santri dan kiai jadi Kepala Daerah. Jawa Barat dipimpin oleh kyai. Wakil gubernurnya kyai. Jawa Tengah wakil gubernurnya kyai, putranya Mbah Moen. Jawa Timur juga dipimpin Nyai Khofifah, dia itu santriwati. Gus Dur juga pernah jadi Presiden. Jadi kalau kyai dipilih jadi wakil presiden, bukan hal aneh," kata KMA.
Karena itu, KH Ma`ruf pun mengajak masyarakat untuk membantah tudingan bahwa dipilihnya KMA sebagai cawapres oleh Presiden Joko Widodo hanya akan jadi alat.
"Masa saya jadi alat. Saya tentu paham politik. Sebab sejak muda saya sudah jadi anggota DPRD DKI, menjadi anggota DPR-MPR, menjadi Dewan Pertimbangan Presiden dua periode, menjadi Rais Aam PBNU, Ketua MUI, masa bisa diperalat. Saya menerima tawaran menjadi wapres adalah untuk memperjuangkan kemaslahatan bangsa ini," katanya.
Upaya pembelaan terhadap umat, kata KMA, dilakukan sejak lama dan banyak mendapat respon positif di era Presiden Jokowi.
"Saya pernah usul kepada Pak Jokowi, Ekonomi Islam itu sangat penting bagi umat, sekaligus juga potensial untuk meningkatkan ekonomi nasional. Di antaranya adalah konsep bagi hasil. Kemudian Pak Jokowi setuju membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah. Saya usulkan juga agar Presiden langsung yang menjadi ketua Komitenya," kata KH Ma`ruf Amin.
Dalam kesempatan lain, KMA juga meminta Pemerintah untuk perhatian kepada pesantren, yang kemudian direspon menjadi RUU Pesantren.
Pewarta: Mulyana
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: