Karya sastra mampu meredam kekerasan
15 Desember 2018 21:00 WIB
Pakar sastra Prof Dr Nani Solihati dalam pengukuhannya sebagai guru besar di bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) di Jakarta, Sabtu (15/12/2018). (Uhamka)
Jakarta (ANTARA News) - Karya sastra dapat menginspirasi perilaku dan pola pikir manusia serta bisa menjadi formula tepat dalam meredam budaya kekerasan di tengah masyarakat, kata pakar sastra Prof Dr Nani Solihati.
"Tidak ada satupun karya sastra yang tanpa makna. Karya sastra selalu dibuat untuk memberi pesan dan merupakan formula tepat dalam pembentukan karakter bangsa," kata Nani dalam pengukuhannya sebagai guru besar di bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) di Jakarta, Sabtu.
Dalam konsep pendidikan karakter yang disampaikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan karakter yang diinginkan itu antara lain, relijius, jujur, toleran, demokratis, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, punya rasa ingin tahu, menghargai prestasi, cinta damai, tanggung jawab, peduli sosial dan lingkungan hingga cinta tanah air.
Karena itu, menurut dia, perlu ada reposisi sastra dalam pembentukan karakter seperti yang diinginkan ini, yaitu menggencarkan karya sastra yang memberi manfaat, bukan sekedar memberi pengalaman yang menghibur kepada penikmatnya.
"Karya sastra diharapkan bisa mengubah perilaku masyarakat yang negatif seperti suka kekerasan, beringas, mudah marah, menjadi cinta damai, pemaaf, santun, penyabar dan perilaku baik lainnya," katanya menyikapi masih banyaknya peristiwa kekerasan di tengah masyarakat.
Karya sastra, menurut dia, jangan hanya bergerak di ranah kognitif atau aspek pengetahuan belaka, namun harus mampu dibawa ke arah psikomotorik dan afektif, yang menyentuh emosi.
Ia juga menyoroti karya-karya sastra yang ditulis di masa kini, yang haruslah menyesuaikan zaman dari sisi paradigma, gaya ucap atau pola ekspresinya sehingga akan lebih diterima, seperti karya Tere Liye, Habiburrahman El-Shirazi, Aan Mansur, Bernard Batubara atau Faisal Odang.
Di sisi lain, ia juga menyayangkan masih rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, yang menurut penelitian World’s Most Literate Nations, menempati peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti.
"Ini tentu menjadi hambatan, karena karya sastra lebih efektif menginspirasi masyarakat yang memiliki minat baca tinggi," katanya.
Di zaman milenial ini, menurut dia, karya sastra semakin melimpah, dan tidak hanya bisa dinikmati melalui buku seperti di masa lalu, tetapi juga melalui internet.
"Sastra digital berkembang pesat ditandai anak-anak muda yang membaca buku melalui aplikasi semacam Wattpad," tambahnya.
Baca juga: Kiat Sapardi Djoko Damono menerjemahkan karya sastra
Baca juga: Enam sastrawan terima Anugerah Sastra Rancage
Baca juga: Balai Pustaka luncurkan buku kritik sastra karya Salim SaidBaca juga: Balai Pustaka luncurkan buku kritik sastra karya Salim Said
"Tidak ada satupun karya sastra yang tanpa makna. Karya sastra selalu dibuat untuk memberi pesan dan merupakan formula tepat dalam pembentukan karakter bangsa," kata Nani dalam pengukuhannya sebagai guru besar di bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) di Jakarta, Sabtu.
Dalam konsep pendidikan karakter yang disampaikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan karakter yang diinginkan itu antara lain, relijius, jujur, toleran, demokratis, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, punya rasa ingin tahu, menghargai prestasi, cinta damai, tanggung jawab, peduli sosial dan lingkungan hingga cinta tanah air.
Karena itu, menurut dia, perlu ada reposisi sastra dalam pembentukan karakter seperti yang diinginkan ini, yaitu menggencarkan karya sastra yang memberi manfaat, bukan sekedar memberi pengalaman yang menghibur kepada penikmatnya.
"Karya sastra diharapkan bisa mengubah perilaku masyarakat yang negatif seperti suka kekerasan, beringas, mudah marah, menjadi cinta damai, pemaaf, santun, penyabar dan perilaku baik lainnya," katanya menyikapi masih banyaknya peristiwa kekerasan di tengah masyarakat.
Karya sastra, menurut dia, jangan hanya bergerak di ranah kognitif atau aspek pengetahuan belaka, namun harus mampu dibawa ke arah psikomotorik dan afektif, yang menyentuh emosi.
Ia juga menyoroti karya-karya sastra yang ditulis di masa kini, yang haruslah menyesuaikan zaman dari sisi paradigma, gaya ucap atau pola ekspresinya sehingga akan lebih diterima, seperti karya Tere Liye, Habiburrahman El-Shirazi, Aan Mansur, Bernard Batubara atau Faisal Odang.
Di sisi lain, ia juga menyayangkan masih rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, yang menurut penelitian World’s Most Literate Nations, menempati peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti.
"Ini tentu menjadi hambatan, karena karya sastra lebih efektif menginspirasi masyarakat yang memiliki minat baca tinggi," katanya.
Di zaman milenial ini, menurut dia, karya sastra semakin melimpah, dan tidak hanya bisa dinikmati melalui buku seperti di masa lalu, tetapi juga melalui internet.
"Sastra digital berkembang pesat ditandai anak-anak muda yang membaca buku melalui aplikasi semacam Wattpad," tambahnya.
Baca juga: Kiat Sapardi Djoko Damono menerjemahkan karya sastra
Baca juga: Enam sastrawan terima Anugerah Sastra Rancage
Baca juga: Balai Pustaka luncurkan buku kritik sastra karya Salim SaidBaca juga: Balai Pustaka luncurkan buku kritik sastra karya Salim Said
Pewarta: Dewanti Lestari
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018
Tags: