LIPI: Afrika pasar potensial bagi Indonesia
15 Desember 2018 07:43 WIB
Seminar bertajuk Indonesia dalam Pusaran Global: Menghadapi Tantangan Game of Thrones, di Gedung LIPI, Jakarta, Jumat (13/12/2018). (ANTARA News/ Anita Permata Dewi)
Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa Afrika adalah pasar baru yang termasuk dalam pasar nontradisional dengan potensi ekspor yang sangat besar bagi Indonesia.
"Hal yang coba dilakukan adalah dengan mengembangkan pasar nontradisional, salah satunya melihat Afrika atau juga ada Amerika Latin dan sebagainya," demikian disampaikan oleh peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR) LIPI, Ahmad Helmy Fuady dalam seminar bertajuk Indonesia dalam Pusaran Global: Menghadapi Tantangan Game of Thrones, di Jakarta, Jumat.
Menurutnya kondisi Afrika saat ini berbeda jauh dengan belasan tahun lalu yang saat itu masih dianggap sebagai wilayah yang terbelakang.
"Sampai tahun 2000 bahkan masih dianggap sebagai wilayah yang hopeless, The Economist dalam covernya menyebutnya (Afrika) sebagai The Hopeless Continent," katanya.
Namun dengan berjalannya waktu, Afrika menjadi semakin berkembang.
"Saat ini dianggap sebagai Africa Rising karena dari 2004 sampai terakhir kemarin rata-rata pertumbuhan masih di atas lima persen, beberapa negara Afrika bahkan tumbuh 10 persen lebih seperti Ethiopia, Kenya, Tanzania," ujar pria yang karib disapa Helmy ini.
Perkembangan Afrika ini membuat banyak negara berlomba-lomba berinvestasi di wilayah tersebut sehingga persaingan untuk masuk semakin ketat.
"Posisinya di tahun 2016, mereka begitu favorit, hampir semua negara mencoba masuk ke Afrika, jadi kita bisa bayangkan begitu besarnya kompetisi yang harus kita (Indonesia) hadapi ketika mau masuk ke sana," katanya.
Helmy menjelaskan salah satu penyebab adanya persaingan tersebut adalah karena banyak negara melirik potensi dari pasar nontradisional.
Ia pun mengimbau kepada pemerintah untuk tidak hanya mengandalkan ekspor sumber daya alam saja.
"Kalaupun kita mau masuk ke pasar nontradisional, itu juga persaingan yang cukup berat, apalagi kalau kita lagi-lagi hanya mengandalkan ekspor tradisional yang berbasis natural resources," katanya.
Helmy juga melontarkan kritikan kepada pemerintah yang dinilainya tidak menggarap pasar Afrika dengan serius.
"Dalam kenyataannya sampai saat ini jumlah atase perdagangan dan ITPC (Indonesia Trade Promotion Center) di Afrika, di Nigeria, Afrika Selatan, jumlah kedutaan juga tidak meningkat dari akhir tahun 60-an," katanya.
Hal tersebut membuat Indonesia kalah jauh dari Cina dalam hal investasi di wilayah Afrika.
Ia pun membandingkan jumlah perusahaan Cina yang sudah berekspansi ke Afrika. "Ada sekitar 400 perusahaan dari Cina yang masuk ke Ethiopia, kita bandingkan dengan yang ada di Indonesia, hanya sekitar 10 (perusahaan) itupun kecil-kecil," katanya.
Helmy menjelaskan bahwa sebenarnya pemerintah sudah berupaya untuk membentuk forum kerja sama dengan Afrika sejak April 2018.
Namun demikian dalam pembangunan infrastruktur di wilayah Afrika, Indonesia masih dikalahkan oleh kekuatan lobi dari Pemerintah Cina.
"Di Afrika, Cina berhasil membangun narasi tentang kebutuhan infrastruktur, karena kemudian yang turut berperan di sana tidak hanya Cina tapi juga African Development Bank, World Bank dan sebagainya turut membiayai narasi pembangunan yang muncul ini," katanya.
Ia pun meminta pemerintah untuk meningkatkan upaya diplomasi di bidang ekonomi agar produk dan perusahaan Indonesia mampu masuk ke negara-negara pasar non tradisional. "Itu tidak bisa kita lakukan kalau diplomasi ekonomi kita jalan seperti biasa, perlu usaha yang luar biasa," pungkasnya.
Baca juga: Menilik diplomasi ekonomi Indonesia ke arah Afrika
Baca juga: Indonesia-Afrika Selatan akan tingkatkan kerja sama ekonomi
"Hal yang coba dilakukan adalah dengan mengembangkan pasar nontradisional, salah satunya melihat Afrika atau juga ada Amerika Latin dan sebagainya," demikian disampaikan oleh peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR) LIPI, Ahmad Helmy Fuady dalam seminar bertajuk Indonesia dalam Pusaran Global: Menghadapi Tantangan Game of Thrones, di Jakarta, Jumat.
Menurutnya kondisi Afrika saat ini berbeda jauh dengan belasan tahun lalu yang saat itu masih dianggap sebagai wilayah yang terbelakang.
"Sampai tahun 2000 bahkan masih dianggap sebagai wilayah yang hopeless, The Economist dalam covernya menyebutnya (Afrika) sebagai The Hopeless Continent," katanya.
Namun dengan berjalannya waktu, Afrika menjadi semakin berkembang.
"Saat ini dianggap sebagai Africa Rising karena dari 2004 sampai terakhir kemarin rata-rata pertumbuhan masih di atas lima persen, beberapa negara Afrika bahkan tumbuh 10 persen lebih seperti Ethiopia, Kenya, Tanzania," ujar pria yang karib disapa Helmy ini.
Perkembangan Afrika ini membuat banyak negara berlomba-lomba berinvestasi di wilayah tersebut sehingga persaingan untuk masuk semakin ketat.
"Posisinya di tahun 2016, mereka begitu favorit, hampir semua negara mencoba masuk ke Afrika, jadi kita bisa bayangkan begitu besarnya kompetisi yang harus kita (Indonesia) hadapi ketika mau masuk ke sana," katanya.
Helmy menjelaskan salah satu penyebab adanya persaingan tersebut adalah karena banyak negara melirik potensi dari pasar nontradisional.
Ia pun mengimbau kepada pemerintah untuk tidak hanya mengandalkan ekspor sumber daya alam saja.
"Kalaupun kita mau masuk ke pasar nontradisional, itu juga persaingan yang cukup berat, apalagi kalau kita lagi-lagi hanya mengandalkan ekspor tradisional yang berbasis natural resources," katanya.
Helmy juga melontarkan kritikan kepada pemerintah yang dinilainya tidak menggarap pasar Afrika dengan serius.
"Dalam kenyataannya sampai saat ini jumlah atase perdagangan dan ITPC (Indonesia Trade Promotion Center) di Afrika, di Nigeria, Afrika Selatan, jumlah kedutaan juga tidak meningkat dari akhir tahun 60-an," katanya.
Hal tersebut membuat Indonesia kalah jauh dari Cina dalam hal investasi di wilayah Afrika.
Ia pun membandingkan jumlah perusahaan Cina yang sudah berekspansi ke Afrika. "Ada sekitar 400 perusahaan dari Cina yang masuk ke Ethiopia, kita bandingkan dengan yang ada di Indonesia, hanya sekitar 10 (perusahaan) itupun kecil-kecil," katanya.
Helmy menjelaskan bahwa sebenarnya pemerintah sudah berupaya untuk membentuk forum kerja sama dengan Afrika sejak April 2018.
Namun demikian dalam pembangunan infrastruktur di wilayah Afrika, Indonesia masih dikalahkan oleh kekuatan lobi dari Pemerintah Cina.
"Di Afrika, Cina berhasil membangun narasi tentang kebutuhan infrastruktur, karena kemudian yang turut berperan di sana tidak hanya Cina tapi juga African Development Bank, World Bank dan sebagainya turut membiayai narasi pembangunan yang muncul ini," katanya.
Ia pun meminta pemerintah untuk meningkatkan upaya diplomasi di bidang ekonomi agar produk dan perusahaan Indonesia mampu masuk ke negara-negara pasar non tradisional. "Itu tidak bisa kita lakukan kalau diplomasi ekonomi kita jalan seperti biasa, perlu usaha yang luar biasa," pungkasnya.
Baca juga: Menilik diplomasi ekonomi Indonesia ke arah Afrika
Baca juga: Indonesia-Afrika Selatan akan tingkatkan kerja sama ekonomi
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018
Tags: