Penganut Islam "Wetu Telu" itu, menyebutkan pada masa lalu daerah itu tandus hingga suatu saat seorang wali penyebar Islam yang memiliki kemampuan lebih, memukulkan tongkatnya di atas tanah tersebut sehingga keluarlah air sampai sekarang.
Di atasnyalah, berdiri kawasan Pura Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Posisinya tidak jauh dari Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat atau sekitar 15 menit jalur darat.
Tempat itu juga menjadi lokasi berlangsungnya "Perang Topat" (ketupat) yang digelar setiap November atau Desember sebagai simbol kesuburan.
Pura Lingsar juga menjadi tempat perpaduan dua umat agama, karena tempat beribadah umat Hindu dan pengikut Islam Wetu Telu yang memiliki bangunan yang dihormati sampai sekarang, yakni Kemaliq.
Lokasi dua bangunan itu berdekatan, Pura Lingsar berada di sebelah atas dan bangunan Kemaliq berada di bagian bawah. "Pertempuran" Topat mengambil lokasi di tempat itu, di mana penganut Islam Wetu Telu dan umat Hindu akan saling lempar sebagai simbol keharmonisan. Ketupat hasil "peperangan" kemudian akan ditanam ke dalam tanah karena dipercaya bakal memberikan kesuburan.
Jika dilihat, bangunan itu terdiri atas tiga kompleks, yakni Kompleks Pura Lingsar atau Pura Gaduh, Kompleks Kemaliq, dan Kompleks Pesiraman.
Sebelum memasuki Kompleks Pura Lingsar, pengunjung akan melewati gapura yang bernuansa bangunan khas Bali, dengan di kanan kiri terdapat kolam yang disebut kolam kembar.
Selanjutnya, pengunjung harus naik beberapa anak tangga sebelum melewati gapura kedua. Posisi sebelah kanan berdiri Pura Lingsar atau tepatnya di bagian atas sebelah utara dan bagian bawahnya sebelah selatan, bangunan Kemaliq.
Uniknya. kedua bangunan umat beragama yang berbeda itu, mengarah ke barat. Antara dua bangunan itu, dihubungan dengan dua kori agung. Di halaman luar Pura Lingsar dan Kemaliq terdapat tiga bangunan Bale.
Kedua bangunan Bale Jajar ini merupakan tempat kegiatan kesenian dan beristirahat bagi umat yang bersembahyang, berbentuk segi empat panjang, dan bertiang enam.
Bangunan Bale Bundar terletak halaman luar Kemaliq yang merupakan tempat rapat dan beristirahat bagi umat yang bersembahyang. Bentuknya serupa dengan yang di depan Pura Lingsar.
Berakhir
Laman Pemkab Lombok Barat menyebutkan rumah ibadah itu didirikan pada 1759 atau berakhirnya kekuasaan Kerajaan Mataram yang berpusat di Cakranegara.
Pembangunan itu semasa dipimpin Raja Ketut Karangasem yang tidak lain untuk menyatukan antara masyarakat Sasak dan Bali.
Versi lainnya berawal dari kedatangan orang Bali dari Karangasem yang mendarat di Gunung Pengsong, Kabupaten Lombok Barat. Sesampainya di tempat itu, mereka melanjutkan perjalanan hingga sampailah di satu lokasi, mereka beristirahat untuk makan dan minum.
Tidak lama kemudian, mereka mendengar ada suara seperti letusan dan bergemuruh sehingga mencari sumber suara tersebut. Kemudian ada wahyu bahwa kalau sudah menguasai Lombok maka buatlah pura.
Kemudian luapan air itu diberi nama Ai' Mual, yang artinya air yang mengalir. Selanjutnya nama Ai` Mual berubah menjadi Lingsar. Lingsar berasal dari kata Ling, yang artinya wahyu atau sabda dan Sar yang artinya syah atau jelas. Jadi Lingsar artinya wahyu yang jelas.
Sedangkan sumber mata airnya terletak tidak jauh dari daerah tersebut, dan diberi nama Ai' Mual ( Air Timbul) yang letaknya di sebelah timur Lingsar.
Buku Studi Sejarah dan Budaya Lombok menyebutkan Pura Lingsar merupakan bangunan pura tertua di Pulau Lombok yang dibangun pada masa awal kedatangan orang Bali di pulau tersebut pada akhir abad ke-17.
"Latar belakang sejarah dari Taman Lingsar tidak dapat dipisahkan dari Taman Mayura, Pura Meru di Cakranegara, Taman Narmadas dan Pura Suranadi di Suranadi," kata pengarang buku itu, H. Sudirman.
Disebutkan, bangunan Kemaliq itu sudah ada di daerah itu sebelum kedatangan orang Bali, di mana sebagai tempat pemujaan bagi penganut Islam Wetu Telu.
"Agama Hindu yang dibawa oleh orang-orang Bali pada waktu itu, tidak boleh dipaksakan kepada orang lain," katanya.
Raja Bali saat itu menyatakan semua orang harus menyampaikan terima kasih kepada Tuhan sesuai dengan caranya masing-masing.
Hingga akhirnya Raja Anak Agung Made Karangasem pada akhir abad ke-19 membangun Taman Lingsar.
"Oleh sebab itu, kedua bangunan tersebut boleh digunakan kapan saja menurut keperluan masing-masing," katanya.
Suparman Taufik membenarkan bangunan Kemaliq itu sudah ada sebelum kedatangan Raja Bali, termasuk pula dengan kegiatan "Perang Topat".
Berdasarkan cerita dari leluhurnya, adanya wali penyebar Islam yang memiliki tiga anak, Raden Mas Abdul Malik (Pemban Pengerakse Jagat), Raden Mas Abdul Rauf (Pengiring Pemban), dan Hajjah Raden Ayu Dewi (Pengiring Pengabeh Pemban).
Ketiga bersaudara itu kemudian menyebarkan agama Islam di tanah Lombok, di antaranya Raden Ayu Anjani untuk wilayah Sembalun atau di Gunung Rinjani.
"Namun sesama kerajaan Islam saat itu memiliki ego jauh sebelum kedatangan Kerajaan Karang Asem ke Lombok," katanya.
Untuk mengganti peperangan yang terjadi sesama kerajaan di tanah Lombok itu, digelarlah "perang ketupat", sebagai simbol perdamaian dan tidak mengedepankan hawa nafsu.
Kegiatan itu terus berlangsung sampai sekarang. Dalam "Perang Topat" itu tidak ada istilah dendam antara sesama pihak.
Baca juga: Perang topat simbol kesuburan