Migrant-Care serukan ASEAN lindungi pekerja migran
13 Desember 2018 20:45 WIB
Deputi Direktur Regional Asia dan Pasifik ILO Panudda Boonpala, Duta Besar Uni Eropa untuk ASEAN Francisco Fontan, Deputi Sekretaris Jenderal ASEAN untuk Komunitas Sosial Budaya Kung Phoak, Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Maruli A Hasoloan, serta Wakil Tetap RI untuk ASEAN Ade Padmo dalam peluncuran Kampanye Migrasi Aman di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Rabu. (ANTARA/Yashinta Difa)
Tangerang (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia harus mendorong ASEAN untuk mengimplementasikan Konsensus tentang Perlindungan dan Promosi Hak-hak Pekerja Migran (ASEAN Consensus on Protection and Promotion the Rights of Migrant Workers) sebagai prinsip-prinsip dasar perlindungan pekerja migran di kawasan ASEAN.
Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif Migrant-CARE, Wahyu Susilo pada Dialog Publik Perayaan Hari HAM Sedunia: "Prospek Pemajuan dan Perlindungan HAM di ASEAN 2019" yang diadakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Tangerang Selatan, Kamis.
"Indonesia juga harus mengimplementasikan Konvensi ASEAN Melawan Perdagangan Orang, khususnya perempuan dan anak-anak, sebagai instrumen untuk memerangi tindak pidana perdagangan manusia di kawasan ASEAN," ujar dia.
Ia menyatakan diplomasi perlindungan pekerja migran Indonesia harus signifikan seiring dengan gencarnya politik luar negeri yang memprioritaskan perlindungan warga negara.
Pemerintah Indonesia pun berkomitmen untuk mengadopsi Agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) sebagai panduan pembangunan.
Di mana agenda tersebut memiliki prinsip No One Left Behind dengan berbagai tujuan, yakni tentang kesetaraan gender, kerja layak, anti perbudakan, anti ketimpangan dan tata kelola remitansi yang adil dan bermanfaat bagi pekerja migran.
Menurut Wahyu, visi-misi Nawacita dengan tagline "negara hadir" telah menjadi pijakan sekaligus alat tagih bagi penyelenggaran kebijakan perlindungan pekerja migran Indonesia, yang pengejawantahnya ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Selain itu, kata dia, prinsip "membangun dari pinggiran" yang diterapkan pemerintahan Joko Widodo, seperti mengembalikan otonomi desa, dapat menjangkau warga yang selama ini terpinggirkan dan membantu mengedepankan persoalan-persoalan pekerja migran.
Terutama pekerja migran perempuan, yang hingga kini menghadapi berbagai situasi kerentanan.
Apalagi Indonesia telah memiliki Undang-Undang No.18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang seharusnya menjadi pijakan tata kelola pelayanan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Baca juga: Kemnaker: Perlindungan PMI di ASEAN perlu ditingkatkan
Baca juga: ILO soroti pentingnya sistem perlindungan pekerja migran
Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif Migrant-CARE, Wahyu Susilo pada Dialog Publik Perayaan Hari HAM Sedunia: "Prospek Pemajuan dan Perlindungan HAM di ASEAN 2019" yang diadakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Tangerang Selatan, Kamis.
"Indonesia juga harus mengimplementasikan Konvensi ASEAN Melawan Perdagangan Orang, khususnya perempuan dan anak-anak, sebagai instrumen untuk memerangi tindak pidana perdagangan manusia di kawasan ASEAN," ujar dia.
Ia menyatakan diplomasi perlindungan pekerja migran Indonesia harus signifikan seiring dengan gencarnya politik luar negeri yang memprioritaskan perlindungan warga negara.
Pemerintah Indonesia pun berkomitmen untuk mengadopsi Agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) sebagai panduan pembangunan.
Di mana agenda tersebut memiliki prinsip No One Left Behind dengan berbagai tujuan, yakni tentang kesetaraan gender, kerja layak, anti perbudakan, anti ketimpangan dan tata kelola remitansi yang adil dan bermanfaat bagi pekerja migran.
Menurut Wahyu, visi-misi Nawacita dengan tagline "negara hadir" telah menjadi pijakan sekaligus alat tagih bagi penyelenggaran kebijakan perlindungan pekerja migran Indonesia, yang pengejawantahnya ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Selain itu, kata dia, prinsip "membangun dari pinggiran" yang diterapkan pemerintahan Joko Widodo, seperti mengembalikan otonomi desa, dapat menjangkau warga yang selama ini terpinggirkan dan membantu mengedepankan persoalan-persoalan pekerja migran.
Terutama pekerja migran perempuan, yang hingga kini menghadapi berbagai situasi kerentanan.
Apalagi Indonesia telah memiliki Undang-Undang No.18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang seharusnya menjadi pijakan tata kelola pelayanan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Baca juga: Kemnaker: Perlindungan PMI di ASEAN perlu ditingkatkan
Baca juga: ILO soroti pentingnya sistem perlindungan pekerja migran
Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018
Tags: