Artikel
Tak malukah wakil rakyat terus "diburu" KPK?
13 Desember 2018 03:22 WIB
PERPANJANG PENAHANAN SUAP DPRD MALANG Mantan anggota DPRD Kota Malang Hadi Susanto (kiri), Diana Yanti (tengah) dan Sugiarto (kanan) bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (28/11/2018). KPK memperpanjang masa penahanan 14 mantan anggota DPRD Kota Malang yang menjadi tersangka penerimaan suap dari Wali Kota Malang Mochammad Anton terkait pembahasan APBD-P Pemerintah Kota Malang Tahun Anggaran 2015. 9ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.0
Setelah Taufik Kurniawan yang dikenal masyarakat sebagai Wakil Ketua DPR.RI dicari-cari KPK karena terlibat dalam kasus duit "segepok" di satu daerah, maka lembaga antirasuah ini tetap terus saja memburu wakil-wakil rakyat terutama di daerah yang diduga keras juga terlibat dalam kasus sogok-menyogok.
Pada hari Selasa, 11 Desember 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK tanpa ragu mengumumkan tiga kasus yang sedang digarap. Ketiga kasus hukum itu melibatkan anggota DPRD Sumatera Utara masa bakti 2009-2014 dan kemudian 2014-2019, Kemudian KPK mengumumkan memanggil anggota DPRD Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dalam kasus proyek raksasa Meikarta yang mencakup lahan ratusan hektare.
KPK juga memanggil beberapa orang yang disangkakan atau diduga keras terkait kasus penyuapan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) yang nilai penyuapan atau gratifikasinya puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah.
Pemanggilan demi pemanggilan wakil- wakil yang seharusnya disebut "terhormat" itu terjadi hanya sekitar empat bulan sebelum berlangsungnya pemilihan anggota lembaga legislatif pada hari Rabu, 17 April 2019. Pada Pemilihan Umum mendatang juga, juga akan dipilih presiden dan wakil presiden masa bakti 2019-2024.
Pada April 2019 itu, sekitar 191 juta pemilih diharapkan akan memilih anggota DPD RI, kemudian DPR RI serta DPRD provinsi, kabupaten dan serta kota. Jadi bisa dibayangkan berapa belas ribu atau puluhan ribu orang bakal berkampanye agar mereka terpilih menjadi bapak atau ibu wakil rakyat yang terhormat.
Jika terpilih sebagai utusan wakil rakyat di pusat ataupun daerah, maka setumpuk fasilitas sudah "siap menanti" mulai dari honor yang jutaan rupiah setiap bulan, ditambah dengan uang sidang, dihormati atau bahkan disebut sebagai wakil rakyat yang amat terhormat hingga dikawal oleh petugas keamanan seperti polisi jika sedang melakukan perjalanan dinas. Bahkan, wakil rakyat bisa saja "dipercaya" untuk dolan atau "melakukan kujungan kerja" ke negara sahabat.
Populerkah wakil rakyat?
Kedudukan alias posisi sebagai wakil rakyat baik di daerah maupun di Senayan, Jakarta, pasti diincar begitu banyak orang. Jika mereka benar- benar mengabdi kepada para pemiihnya maka masyarakat akan menghormati dan menghargainya karena merasa telah diurus kepentingannya oleh anggota DPD, DPR hingga DPRD yang bersangkutan.
Akan tetapi sebalknya jika para bapak dan ibu wakil rakyat itu cuma datang, duduk, diam dan mencari duit saja atau istilahnya hanya bertindak "D4 " saja maka rakyat pasti kecewa, marah dan kecewa jika aspirasi atau harapan dan cita-citanya tak diurus oleh wakil- wakil mereka itu.
Rakyat Indonesia pasti akan terus teringat, misalnya kepada Setya Novanto. Tokoh ini yang sudah mencapai posisi tertinggi sebagai ketua DPR.RI -- sebuah posisi yang pasti juga diincar oleh anggota DPR lainnya-- akhirnya harus "turun tahta" karena terbukti secara hukum melakukan tindak pidana korupsi miliaran rupiah dalam kasus KTP-elektronik.
Kemudian juga Idrus Marham, yang baru beberapa bulan menjadi menteri sosial lagi-lagi terjungkal dari posisinya karena pada saat menjadi wakil rakyat di Senayan disangkakan ikut dalam proyek PLTU Riau I bersama anggota DPR lainnya Eni Saragih..
Taufik Kurniawan yang sedang nikmat- nikmatnya menempati posisi sebagai wakil ketua DPR rupanya terperosok juga dengan dugaan kuat terlibat dalam kasus dana miliaran miliaran rupiah di sebuah daerah tingkat dua di Provinsi Jawa Tengah.
Rakyat patut menghargai dan memegang teguh prinsip azas praduga tak bersalah yakni seseorang tidak boleh dianggap bersalah sampai adanya keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Akan tetapi keputusan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan tentang pencopotan Taufik sebagai wakil ketua DPR sudah bisa dijadikan bukti bagi keterlibatan Taufik dalam kasus kejahatan ini.
Rakyat juga pasti akan teringat pada kasus Mohammad Nazaruddin. Angelina Sondakh yang telah dijebloskan ke bui gara-gara uang miliaran rupiah dalam berbagai kasus korupsi yang terkait dengan posisi mereka di Senayan, Jakarta.
Pemilu 2019
Pada 17 April mendatang itu, ratusan juta pemilih diharapkan akan memanfaatkan hak suara mereka untuk memilih wakil- wakil mereka apakah di DPD, DPR hingga DPRD. Namun, pertanyaan yang amat patut dijawab semua ketua umum partai politik adalah apakah mereka sudah benar- benar menyeleksi para calon wakil rakyat itu semaksimal mungkin atau tidak?
Menjelang pemilu 2014, seorang bisa saja amat berambisi untuk duduk sebagai wakil rakyat di senayan. Jakarta. Padahal dia tidak dikenal dalam bidang perpolitikan dalam negeri. Untuk mewujudkan ambisi politiknya, maka tanpa ragu, dia mengeluarkan uang yang "hanya" beberapa miliaran rupiah agar ambisinya terwujud. Memang akhirnya cita- citanya terwujud menjadi wakil rakyat yang "terhormat".
Akan tetapi rakyat yang mencoblos gambarnya di surat suara, pasti mempunyai hak untuk bertanya apakakah yag sudah ia perbuat atau lakukan demi kepentingan para pemilihnya? Gajinya sebagai wakil rakyat yang bisa mencapai puluhan juta rupiah tiap bulannya pasti tidak akan cukup supaya "balik modal". Kalau pengeluarannya tidak "tertutupi" oleh gaji resminya maka apakah dia telah dan akan terus mencari "uang tambahan" demi "baliknya modal usaha" itu?.
Rakyat tentu berhak menaruh kepercayaan bahwa masih banyak calon wakil rakyat yang benar-benar memiliki cita- cita luhur untuk mengabdi kepada para pemilihnya apalagi sebagian rakyat Indonesia masih hidup dalam status prasejahtera alias miskin. Para pemilih tentu sudah menyadari bahwa wakil-wakil mereka itu berhak atas kehidupan yang layak misalnya gajinya yang besar, punya mobil yang bagus serta rumah yang "amat memadai".
Akan tetapi sebaliknya wakil- wakil rakyat itu tentu tidak boleh melupakan para pemilihnya. Anggota DPD, DPR, serta DPRD pasti tak boleh melengos atau menghindar saat akan ditemui rakyatnya. Kalau ada rakyat yang ingin menemuinya maka amat pantas mereka diterima dan diberi penghargaan sekedarnya dengan tersenyum manis dan kemudian diajak berbicara secara baik-baik.
Amat perlu dipertanyakan kepada semua pimpinan partai politik apakah mereka sudah benar-benar memilih dan menyeleksi calon- calon wakil rakyat sehingga apabila kelak mereka terpilih memang benar-benar pantas menjadi penghuni Senayan dan di kantor- kantor DPRD?
Rakyat tentu tak ingin mendengar atau melihat lagi ada wakilnya yang "diculik" para penyidik KPK gara-gara "makan uang" rakyat dan negara. Kalau pimpinan parpol gagal memilih para wakil rakyat yang boleh dibilang" tawadhu" alias rendah hati terhadap orang- orang yang diwakilnya itu, maka siap-siap saja dengan tuntutan rakyat yang meminta agar sistem pemilihan umum diubah, apa pun pilihannya.
Para ketua umum parpol harus sadar bahwa rakyat kian cerdas, semakin berpendidikan sehingga bisa memilih mana wakil rakyat yang siap mengabdi ataukah sebaliknya cuma sekedar duduk di DPD, DPR hingga DPRD demi diri sendiri, parpol atau bahkan demi kelompoknya sendiri.*
Baca juga: Demokrasi mengikis korupsi
Baca juga: Mempertanyakan integritas kepala daerah usai diciduk KPK
Pada hari Selasa, 11 Desember 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK tanpa ragu mengumumkan tiga kasus yang sedang digarap. Ketiga kasus hukum itu melibatkan anggota DPRD Sumatera Utara masa bakti 2009-2014 dan kemudian 2014-2019, Kemudian KPK mengumumkan memanggil anggota DPRD Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dalam kasus proyek raksasa Meikarta yang mencakup lahan ratusan hektare.
KPK juga memanggil beberapa orang yang disangkakan atau diduga keras terkait kasus penyuapan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) yang nilai penyuapan atau gratifikasinya puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah.
Pemanggilan demi pemanggilan wakil- wakil yang seharusnya disebut "terhormat" itu terjadi hanya sekitar empat bulan sebelum berlangsungnya pemilihan anggota lembaga legislatif pada hari Rabu, 17 April 2019. Pada Pemilihan Umum mendatang juga, juga akan dipilih presiden dan wakil presiden masa bakti 2019-2024.
Pada April 2019 itu, sekitar 191 juta pemilih diharapkan akan memilih anggota DPD RI, kemudian DPR RI serta DPRD provinsi, kabupaten dan serta kota. Jadi bisa dibayangkan berapa belas ribu atau puluhan ribu orang bakal berkampanye agar mereka terpilih menjadi bapak atau ibu wakil rakyat yang terhormat.
Jika terpilih sebagai utusan wakil rakyat di pusat ataupun daerah, maka setumpuk fasilitas sudah "siap menanti" mulai dari honor yang jutaan rupiah setiap bulan, ditambah dengan uang sidang, dihormati atau bahkan disebut sebagai wakil rakyat yang amat terhormat hingga dikawal oleh petugas keamanan seperti polisi jika sedang melakukan perjalanan dinas. Bahkan, wakil rakyat bisa saja "dipercaya" untuk dolan atau "melakukan kujungan kerja" ke negara sahabat.
Populerkah wakil rakyat?
Kedudukan alias posisi sebagai wakil rakyat baik di daerah maupun di Senayan, Jakarta, pasti diincar begitu banyak orang. Jika mereka benar- benar mengabdi kepada para pemiihnya maka masyarakat akan menghormati dan menghargainya karena merasa telah diurus kepentingannya oleh anggota DPD, DPR hingga DPRD yang bersangkutan.
Akan tetapi sebalknya jika para bapak dan ibu wakil rakyat itu cuma datang, duduk, diam dan mencari duit saja atau istilahnya hanya bertindak "D4 " saja maka rakyat pasti kecewa, marah dan kecewa jika aspirasi atau harapan dan cita-citanya tak diurus oleh wakil- wakil mereka itu.
Rakyat Indonesia pasti akan terus teringat, misalnya kepada Setya Novanto. Tokoh ini yang sudah mencapai posisi tertinggi sebagai ketua DPR.RI -- sebuah posisi yang pasti juga diincar oleh anggota DPR lainnya-- akhirnya harus "turun tahta" karena terbukti secara hukum melakukan tindak pidana korupsi miliaran rupiah dalam kasus KTP-elektronik.
Kemudian juga Idrus Marham, yang baru beberapa bulan menjadi menteri sosial lagi-lagi terjungkal dari posisinya karena pada saat menjadi wakil rakyat di Senayan disangkakan ikut dalam proyek PLTU Riau I bersama anggota DPR lainnya Eni Saragih..
Taufik Kurniawan yang sedang nikmat- nikmatnya menempati posisi sebagai wakil ketua DPR rupanya terperosok juga dengan dugaan kuat terlibat dalam kasus dana miliaran miliaran rupiah di sebuah daerah tingkat dua di Provinsi Jawa Tengah.
Rakyat patut menghargai dan memegang teguh prinsip azas praduga tak bersalah yakni seseorang tidak boleh dianggap bersalah sampai adanya keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Akan tetapi keputusan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan tentang pencopotan Taufik sebagai wakil ketua DPR sudah bisa dijadikan bukti bagi keterlibatan Taufik dalam kasus kejahatan ini.
Rakyat juga pasti akan teringat pada kasus Mohammad Nazaruddin. Angelina Sondakh yang telah dijebloskan ke bui gara-gara uang miliaran rupiah dalam berbagai kasus korupsi yang terkait dengan posisi mereka di Senayan, Jakarta.
Pemilu 2019
Pada 17 April mendatang itu, ratusan juta pemilih diharapkan akan memanfaatkan hak suara mereka untuk memilih wakil- wakil mereka apakah di DPD, DPR hingga DPRD. Namun, pertanyaan yang amat patut dijawab semua ketua umum partai politik adalah apakah mereka sudah benar- benar menyeleksi para calon wakil rakyat itu semaksimal mungkin atau tidak?
Menjelang pemilu 2014, seorang bisa saja amat berambisi untuk duduk sebagai wakil rakyat di senayan. Jakarta. Padahal dia tidak dikenal dalam bidang perpolitikan dalam negeri. Untuk mewujudkan ambisi politiknya, maka tanpa ragu, dia mengeluarkan uang yang "hanya" beberapa miliaran rupiah agar ambisinya terwujud. Memang akhirnya cita- citanya terwujud menjadi wakil rakyat yang "terhormat".
Akan tetapi rakyat yang mencoblos gambarnya di surat suara, pasti mempunyai hak untuk bertanya apakakah yag sudah ia perbuat atau lakukan demi kepentingan para pemilihnya? Gajinya sebagai wakil rakyat yang bisa mencapai puluhan juta rupiah tiap bulannya pasti tidak akan cukup supaya "balik modal". Kalau pengeluarannya tidak "tertutupi" oleh gaji resminya maka apakah dia telah dan akan terus mencari "uang tambahan" demi "baliknya modal usaha" itu?.
Rakyat tentu berhak menaruh kepercayaan bahwa masih banyak calon wakil rakyat yang benar-benar memiliki cita- cita luhur untuk mengabdi kepada para pemilihnya apalagi sebagian rakyat Indonesia masih hidup dalam status prasejahtera alias miskin. Para pemilih tentu sudah menyadari bahwa wakil-wakil mereka itu berhak atas kehidupan yang layak misalnya gajinya yang besar, punya mobil yang bagus serta rumah yang "amat memadai".
Akan tetapi sebaliknya wakil- wakil rakyat itu tentu tidak boleh melupakan para pemilihnya. Anggota DPD, DPR, serta DPRD pasti tak boleh melengos atau menghindar saat akan ditemui rakyatnya. Kalau ada rakyat yang ingin menemuinya maka amat pantas mereka diterima dan diberi penghargaan sekedarnya dengan tersenyum manis dan kemudian diajak berbicara secara baik-baik.
Amat perlu dipertanyakan kepada semua pimpinan partai politik apakah mereka sudah benar-benar memilih dan menyeleksi calon- calon wakil rakyat sehingga apabila kelak mereka terpilih memang benar-benar pantas menjadi penghuni Senayan dan di kantor- kantor DPRD?
Rakyat tentu tak ingin mendengar atau melihat lagi ada wakilnya yang "diculik" para penyidik KPK gara-gara "makan uang" rakyat dan negara. Kalau pimpinan parpol gagal memilih para wakil rakyat yang boleh dibilang" tawadhu" alias rendah hati terhadap orang- orang yang diwakilnya itu, maka siap-siap saja dengan tuntutan rakyat yang meminta agar sistem pemilihan umum diubah, apa pun pilihannya.
Para ketua umum parpol harus sadar bahwa rakyat kian cerdas, semakin berpendidikan sehingga bisa memilih mana wakil rakyat yang siap mengabdi ataukah sebaliknya cuma sekedar duduk di DPD, DPR hingga DPRD demi diri sendiri, parpol atau bahkan demi kelompoknya sendiri.*
Baca juga: Demokrasi mengikis korupsi
Baca juga: Mempertanyakan integritas kepala daerah usai diciduk KPK
Pewarta: Arnaz F. Firman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018
Tags: