Artikel
Mengais peluang di tengah kecamuk perang dagang
Oleh M. Irfan Ilmie
11 Desember 2018 22:54 WIB
Manggis dari Indonesia dipajang di salah satu toko swalayan di Beijing setelah pemerintah China membuka kembali keran impor manggis dari Indonesia pada awal Januari 2018. (M. Irfan Ilmie)
Jakarta (ANTARA News) - Awal tahun 2018 merupakan klimaks dari perseteruan Amerika Serikat dan China sekaligus antiklimaks pada tatanan ekonomi global yang menolak hambatan-hambatan.
Pecahnya perang dagang AS-China tidak bisa dihindari setelah meja-meja perundingan gagal menghasilkan kesepakatan.
AS menuduh China berulang kali melakukan tindakan tidak fair dalam berniaga sehingga menyebabkan negara adidaya itu mengalami defisit perdagangan hingga 375 miliar dolar AS pada 2017.
AS merasa dicurangi oleh China karena hanya bisa mengekspor 130 miliar dolar AS. Tidak sebanding dengan impor AS dari China yang mencapai 506 miliar dolar AS pada tahun lalu itu.
Belum lagi laporan AS terhadap China terkait pelanggaran hak kekayaan intelektual ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Puncaknya terjadi pada 22 Januari 2018, saat Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif sebesar 30 persen terhadap panel tenaga surya. Tarif tersebut akan dikurangi hingga 15 persen, tapi setelah empat tahun kebijakan tarif 30 persen tersebut berjalan.
Tentu saja kebijakan perdana Trump soal tarif itu membuat China sebagai negara pemimpin dunia di bidang panel surya berang tidak ketulungan.
Kebijakan AS masih berlanjut dengan pengenaan tarif 20 persen terhadap 1,2 juta unit mesin cuci pertama yang diimpor dari China pada 2018.
China kembali meradang dengan kebijakan tersebut karena pada 2016 saja ekspor mesin cuci ke AS telah menghasilan 425 juta dolar AS.
Lalu sebanyak 1.300 kategori barang impor dari China, termasuk komponen pesawat, baterai, panel televisi, peralatan kesehatan, satelit, dan beragam senjata masuk dalam kebijakan pengenaan tarif baru Trump.
Beijing sepertinya sudah habis kesabarannya sehingga mau tidak mau melakukan tindakan balasan terhadap seteru baru di bidang ekonomi itu.
Sedikitnya 128 jenis produk AS, seperti alumunium, pesawat terbang, mobil, daging babi beku, dan kedelai dikenai tarif 25 persen oleh China.
Demikian halnya dengan buah-buahan, kacang, dan pipa baja dari AS dikenai biaya masuk sebesar 15 persen.
Tidak cukup sampai di situ, China pun mendesak WTO menindaklanjuti kebijakan AS yang dianggapnya sudah melenceng dari tujuan utama perdagangan global yang mendorong liberalisasi pasar.
Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 12-18 November 2018 di Port Moresby, Papua Nugini, tidak menghasilkan kesepakatan apa pun di antara negara-negara anggota, termasuk AS dan China.
Kalau pun Presiden Trump dan Presiden China Xi Jinping duduk dalam satu meja di KTT G20 di Buenos Aires, Argentina, beberapa hari lalu bukan berarti peperangan mereda.
Di meja makan malam bersama, Trump dan Xi hanya sepakat menunda penambahan kebijakan tarif lanjutan untuk beberapa produk selama 90 hari terhitung sejak 1 Desember 2019.
Kedua kepala negara itu juga membuka kesempatan untuk menegosiasikan ulang beberapa perselisihan perdagangan yang selama ini belum selesai.
Strategis
Perang tarif itu tidak saja membuat kedua negara "dedel duel", melainkan juga memberikan dampak ekonomi terhadap beberapa negara lain.
Fenomena tersebut telah menjadikan masa depan perekonomian global semakin tidak jelas jeluntrungnya.
Dan, Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena dampak dari perang tarif dua negara besar itu.
Melemahnya daya beli masyarakat dan merosotnya nilai tukar rupiah sebagaian kecil dari dampak perang dagang tersebut.
Sampai kapan gejala ini berlangsung? Tidak satu pun ekonom dan pelaku bisnis yang bisa memprediksi karena semuanya tergantung dari kemauan Trump dan Xi yang sama-sama punya pengaruh kuat, baik di dalam maupun di luar negeri.
"Kalau kita sebut maraton, ya memang maraton yang tidak jelas kapan finishnya," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Beijing, Arief Hartawan, menanggapi upaya pemerintah Indonesia dalam menstabilkan perekonomian saat ini.
Walau begitu, Indonesia punya peluang yang cukup signifikan dalam memanfaatkan situasi tidak menentu seperti sekarang ini.
Apalagi sudah ada jaminan dari Perdana Menteri China Li Keqiang yang akan menambah pasokan barang dari Indonesia seperti yang disampaikannya kepada Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kenegaraannya ke Indonesia pada 6-8 Mei 2018.
Jaminan itu di antaranya penambahan kuota impor 500 ribu ton kelapa sawit dari Indonesia sebagai pengganti kedelai AS yang dikenai tarif masuk ke China sebesar 25 persen.
Sudah barang tentu menjadi kabar baik bagi 16 juta petani kelapa sawit Indonesia. Jika pada 2016, volume impor kelapa sawit China dari Indonesia mencapai 3,23 juta ton, maka pada 2017 volume itu meningkat menjadi 3,73 juta ton.
Pada awal 2018, China juga mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan Indonesia dengan dibukanya keran ekspor manggis dan nanas.
China menghentikan impor manggis dari Indonesia pada 2014 karena kandungan zat kimianya melebihi batas toleransi.
Pada 2013 saat Indonesia terakhir kali mengekspor manggis ke China nilainya hanya 93 ribu dolar AS. Padahal setahun sebelumnya sempat mencapai 36 juta dolar AS atau 18,84 persen dari kebutuhan pasar China.
Yang mencengangkan, pada saat China menghentikan impor dari Indonesia, Malaysia justru menjadi negara penyerap terbanyak manggis dari Indonesia karena pada 2014 mencapai 2,2 juta dolar AS, 2015 (5,7 juta dolar AS), dan 2016 (5,36 juta dolar AS).
Demikian halnya dengan sarang burung walet. Indonesia kembali merajai pasar China, terutama setelah pasokan sarang burung walet dari Malaysia distop.
Konsumsi sarang burung walet di China pada 2018 mencapai 800 ton. Sekitar 80 persen dari Indonesia, sedangkan sisanya dari Malaysia, Vietnam, dan Thailand, demikian General Manager Kalimantan Nest Trading, Jerry Hidayat.
Padahal Indonesia baru bisa mengekspor langsung sarang burung yang sangat berkhasiat bagi kesehatan tubuh itu pada September 2014 karena sebelumnya harus melalui perusahaan pihak ketiga, salah satunya yang berada di Malaysia.
Belum lagi industri baja. Lagi-lagi konflik dagang AS-China yang juga menyentuh sektor investasi dan perdagangan baja membawa manfaat bagi Indonesia.
Baru-baru ini Hebei Bishi Steel Group yang berkantor pusat di Tangshan, Provinsi Hebei, telah menandatangani perjanjian kerja sama (MoU) dengan PT Seafer Kawasan Industri untuk membangun pabrik baja dengan nilai investasi mencapai 2,54 miliar dolar AS di Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Saat bertemu Bupati Kendal Mirna Annisa di Hebei pada 25 Juli 2018, bos perusahaan asal China itu berjanji akan memperkejakan 6.000 hingga 10.000 warga Kabupaten Kendal, khususnya di Kecamatan Patebon.
Dengan adanya investor baru itu, maka secara otomatis pangsa investasi China terhadap total investasi asing di Jateng meningkat menjadi 15 persen dari sebelumnya yang hanya 1 persen.
Manfaat lain dari perseteruan ekonomi AS-China adalah mudahnya pasokan komoditas lain dari Indonesia, termasuk makanan olahan dan siap saji.
Untuk pertama kalinya beberapa produk makanan dan minuman asal Indonesia mendapatkan kesempatan dipasarkan di 11-11, ajang belanja daring terbesar yang digelar Alibaba Group, raksasa perdagangan berbasis elektronik (e-commerce).
Produk-produk makanan dan minuman asal Indonesia seperti mi instan, kerupuk, biskuit, kopi, termasuk kecap, sambal, santan, sarang burung walet dan produk turunannya juga mulai bisa didapat di rak-rak toko swalayan di kota-kota besar di daratan Tiongkok.
Perseteruannya dengan AS itu pula membuat China makin menyadari pentingnya Indonesia, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Pada tahun lalu, Beijing sepertinya sudah menyiapkan langkah strategis jikalau Washington mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif. Langkah antisipasi itu salah satunya adalah mengurangi selisih ekspor-impornya dengan Indonesia.
Pada 2017 selisih ekspor dan impor Indonesia dengan China tercatat 6,35 miliar dolar AS. Selisih tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, yakni sebesar 14,55 miliar dolar AS pada 2015 dan 11,57 miliar dolar AS pada 2016.
"Bicara masalah perdagangan AS dengan China, posisi Indonesia sebagai negara cukup besar tidak perlu berpihak kepada salah satu. Jadi kita bisa meletakkan posisi kita dengan cantik," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan sesuai bertemu PM Li Keqiang di Beijing pada 14 April 2018.
Pecahnya perang dagang AS-China tidak bisa dihindari setelah meja-meja perundingan gagal menghasilkan kesepakatan.
AS menuduh China berulang kali melakukan tindakan tidak fair dalam berniaga sehingga menyebabkan negara adidaya itu mengalami defisit perdagangan hingga 375 miliar dolar AS pada 2017.
AS merasa dicurangi oleh China karena hanya bisa mengekspor 130 miliar dolar AS. Tidak sebanding dengan impor AS dari China yang mencapai 506 miliar dolar AS pada tahun lalu itu.
Belum lagi laporan AS terhadap China terkait pelanggaran hak kekayaan intelektual ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Puncaknya terjadi pada 22 Januari 2018, saat Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif sebesar 30 persen terhadap panel tenaga surya. Tarif tersebut akan dikurangi hingga 15 persen, tapi setelah empat tahun kebijakan tarif 30 persen tersebut berjalan.
Tentu saja kebijakan perdana Trump soal tarif itu membuat China sebagai negara pemimpin dunia di bidang panel surya berang tidak ketulungan.
Kebijakan AS masih berlanjut dengan pengenaan tarif 20 persen terhadap 1,2 juta unit mesin cuci pertama yang diimpor dari China pada 2018.
China kembali meradang dengan kebijakan tersebut karena pada 2016 saja ekspor mesin cuci ke AS telah menghasilan 425 juta dolar AS.
Lalu sebanyak 1.300 kategori barang impor dari China, termasuk komponen pesawat, baterai, panel televisi, peralatan kesehatan, satelit, dan beragam senjata masuk dalam kebijakan pengenaan tarif baru Trump.
Beijing sepertinya sudah habis kesabarannya sehingga mau tidak mau melakukan tindakan balasan terhadap seteru baru di bidang ekonomi itu.
Sedikitnya 128 jenis produk AS, seperti alumunium, pesawat terbang, mobil, daging babi beku, dan kedelai dikenai tarif 25 persen oleh China.
Demikian halnya dengan buah-buahan, kacang, dan pipa baja dari AS dikenai biaya masuk sebesar 15 persen.
Tidak cukup sampai di situ, China pun mendesak WTO menindaklanjuti kebijakan AS yang dianggapnya sudah melenceng dari tujuan utama perdagangan global yang mendorong liberalisasi pasar.
Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 12-18 November 2018 di Port Moresby, Papua Nugini, tidak menghasilkan kesepakatan apa pun di antara negara-negara anggota, termasuk AS dan China.
Kalau pun Presiden Trump dan Presiden China Xi Jinping duduk dalam satu meja di KTT G20 di Buenos Aires, Argentina, beberapa hari lalu bukan berarti peperangan mereda.
Di meja makan malam bersama, Trump dan Xi hanya sepakat menunda penambahan kebijakan tarif lanjutan untuk beberapa produk selama 90 hari terhitung sejak 1 Desember 2019.
Kedua kepala negara itu juga membuka kesempatan untuk menegosiasikan ulang beberapa perselisihan perdagangan yang selama ini belum selesai.
Strategis
Perang tarif itu tidak saja membuat kedua negara "dedel duel", melainkan juga memberikan dampak ekonomi terhadap beberapa negara lain.
Fenomena tersebut telah menjadikan masa depan perekonomian global semakin tidak jelas jeluntrungnya.
Dan, Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena dampak dari perang tarif dua negara besar itu.
Melemahnya daya beli masyarakat dan merosotnya nilai tukar rupiah sebagaian kecil dari dampak perang dagang tersebut.
Sampai kapan gejala ini berlangsung? Tidak satu pun ekonom dan pelaku bisnis yang bisa memprediksi karena semuanya tergantung dari kemauan Trump dan Xi yang sama-sama punya pengaruh kuat, baik di dalam maupun di luar negeri.
"Kalau kita sebut maraton, ya memang maraton yang tidak jelas kapan finishnya," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Beijing, Arief Hartawan, menanggapi upaya pemerintah Indonesia dalam menstabilkan perekonomian saat ini.
Walau begitu, Indonesia punya peluang yang cukup signifikan dalam memanfaatkan situasi tidak menentu seperti sekarang ini.
Apalagi sudah ada jaminan dari Perdana Menteri China Li Keqiang yang akan menambah pasokan barang dari Indonesia seperti yang disampaikannya kepada Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kenegaraannya ke Indonesia pada 6-8 Mei 2018.
Jaminan itu di antaranya penambahan kuota impor 500 ribu ton kelapa sawit dari Indonesia sebagai pengganti kedelai AS yang dikenai tarif masuk ke China sebesar 25 persen.
Sudah barang tentu menjadi kabar baik bagi 16 juta petani kelapa sawit Indonesia. Jika pada 2016, volume impor kelapa sawit China dari Indonesia mencapai 3,23 juta ton, maka pada 2017 volume itu meningkat menjadi 3,73 juta ton.
Pada awal 2018, China juga mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan Indonesia dengan dibukanya keran ekspor manggis dan nanas.
China menghentikan impor manggis dari Indonesia pada 2014 karena kandungan zat kimianya melebihi batas toleransi.
Pada 2013 saat Indonesia terakhir kali mengekspor manggis ke China nilainya hanya 93 ribu dolar AS. Padahal setahun sebelumnya sempat mencapai 36 juta dolar AS atau 18,84 persen dari kebutuhan pasar China.
Yang mencengangkan, pada saat China menghentikan impor dari Indonesia, Malaysia justru menjadi negara penyerap terbanyak manggis dari Indonesia karena pada 2014 mencapai 2,2 juta dolar AS, 2015 (5,7 juta dolar AS), dan 2016 (5,36 juta dolar AS).
Demikian halnya dengan sarang burung walet. Indonesia kembali merajai pasar China, terutama setelah pasokan sarang burung walet dari Malaysia distop.
Konsumsi sarang burung walet di China pada 2018 mencapai 800 ton. Sekitar 80 persen dari Indonesia, sedangkan sisanya dari Malaysia, Vietnam, dan Thailand, demikian General Manager Kalimantan Nest Trading, Jerry Hidayat.
Padahal Indonesia baru bisa mengekspor langsung sarang burung yang sangat berkhasiat bagi kesehatan tubuh itu pada September 2014 karena sebelumnya harus melalui perusahaan pihak ketiga, salah satunya yang berada di Malaysia.
Belum lagi industri baja. Lagi-lagi konflik dagang AS-China yang juga menyentuh sektor investasi dan perdagangan baja membawa manfaat bagi Indonesia.
Baru-baru ini Hebei Bishi Steel Group yang berkantor pusat di Tangshan, Provinsi Hebei, telah menandatangani perjanjian kerja sama (MoU) dengan PT Seafer Kawasan Industri untuk membangun pabrik baja dengan nilai investasi mencapai 2,54 miliar dolar AS di Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Saat bertemu Bupati Kendal Mirna Annisa di Hebei pada 25 Juli 2018, bos perusahaan asal China itu berjanji akan memperkejakan 6.000 hingga 10.000 warga Kabupaten Kendal, khususnya di Kecamatan Patebon.
Dengan adanya investor baru itu, maka secara otomatis pangsa investasi China terhadap total investasi asing di Jateng meningkat menjadi 15 persen dari sebelumnya yang hanya 1 persen.
Manfaat lain dari perseteruan ekonomi AS-China adalah mudahnya pasokan komoditas lain dari Indonesia, termasuk makanan olahan dan siap saji.
Untuk pertama kalinya beberapa produk makanan dan minuman asal Indonesia mendapatkan kesempatan dipasarkan di 11-11, ajang belanja daring terbesar yang digelar Alibaba Group, raksasa perdagangan berbasis elektronik (e-commerce).
Produk-produk makanan dan minuman asal Indonesia seperti mi instan, kerupuk, biskuit, kopi, termasuk kecap, sambal, santan, sarang burung walet dan produk turunannya juga mulai bisa didapat di rak-rak toko swalayan di kota-kota besar di daratan Tiongkok.
Perseteruannya dengan AS itu pula membuat China makin menyadari pentingnya Indonesia, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Pada tahun lalu, Beijing sepertinya sudah menyiapkan langkah strategis jikalau Washington mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif. Langkah antisipasi itu salah satunya adalah mengurangi selisih ekspor-impornya dengan Indonesia.
Pada 2017 selisih ekspor dan impor Indonesia dengan China tercatat 6,35 miliar dolar AS. Selisih tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, yakni sebesar 14,55 miliar dolar AS pada 2015 dan 11,57 miliar dolar AS pada 2016.
"Bicara masalah perdagangan AS dengan China, posisi Indonesia sebagai negara cukup besar tidak perlu berpihak kepada salah satu. Jadi kita bisa meletakkan posisi kita dengan cantik," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan sesuai bertemu PM Li Keqiang di Beijing pada 14 April 2018.
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018
Tags: