Makassar (ANTARA News) - Tahun 2018 disebut sebagai tahun politik karena pada waktu itu diselenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak di sejumlah kota di Tanah Air.

Pemilihan umum wali kota dan wakil wali kota Makassar, sebagai salah satunya mencatat fenomena baru karena hanya diikuti oleh satu pasangan calon yang "menguasai" 10 partai politik yang akan menempati kursi legislatif.

Sepuluh partai politik menjadi pengusung pasangan Munafri Arifuddin dan Rachmatika Dewi kandidat wali kota dan wakilnya yaitu, Partai Golkar, Nasional Demokrat (NasDem), Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN),Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hanura, PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Hanya satu partai yang mendukung petahana Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto yang maju melalui jalan perseorangan atau independen.

Appi - sapaan akrab Munafri mengatakan, 10 dari 11 partai di DPRD Makassar ini mengontrol 43 kursi di DPRD Makassar dan mereka semua solid dalam mendukung dirinya bersama Rachmatika Dewi.

"Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua partai pengusung dan kami di sini tidak lain karena mengharapkan kemenangan dan kesejahteraan untuk masyarakat," katanya Munafri ketika itu dengan keyakinan bahwa suara para pendukung akan menghantarnya ke tampuk pimpinan kota.

Namun pada hari pencoblosan, paslon tunggal Munafri Arifuddin dan Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) harus menelan pil pahit karena pesta demokrasi itu tidak lagi mencapai suara terbanyak.

Suara yang terbanyak justru masuk ke kolom kosong karena paslon yang sedianya akan menjadi lawannya yaitu paslon petahana dari jalur independen, Moh Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari Paramastuti (DIAmi), tidak lagi menjadi lawannya.

Paslon DIAmi sekitar bulan sebelum pencoblosan telah didiskualifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar melalui proses panjang dan bertahap di Bawaslu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) hingga ke Mahkamah Agung (MA).

Berdasarkan keputusan MA yang memperkuatkan keputusan dari PTTUN maka Paslon DIAmi didiskualifikasi paslon.

KPU Kota Makassar berdalih bahwa keputusan mencoret paslon DIAmi berpedoman pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Makassar periode 2018-2023 tetap hanya satu pasangan.

"KPU Kota Makassar akhirnya memutuskan untuk berpedoman pada putusan Mahkamah Agung dalam menyikapi putusan Panwas Kota Makassar Nomor: 002 / PS / PWSL.MKS / 27.01 / V / 2018 tertanggal 13 Mei 2018," ujar Komisioner KPU Makassar Abdullah Mansyur.

Ia mengatakan, usai menggelar rapat pleno di kantor KPU Provinsi Sulawesi Selatan, Rabu (16/5) malam, Keputusan KPU Kota Makassar Nomor: 64 / P.KWK / HK.03.1-Kpt / 7371 / KPU-Kot / IV / 2018 merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 250 K / TUN / Pilkada / 2018.

Keputusan tidak termasuk dalam definisi Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan pasal 2 huruf (e) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dapat dimintakan pembatalan.

Selain itu, lanjutnya, putusan Panwas Kota Makassar atas Objek Sengketa Keputusan KPU Kota Makassar Nomor: 64 / P.KWK / HK.03.1-Kpt / 7371 / KPU-Kot / IV / 2018 tersebut, tidak ada ketentuan dengan ketentuan pasal 144 ayat ( 2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Bagian Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.

Pada ayat tersebut disebutkan bahwa KPU provinsi dan / atau KPU kabupaten / kota wajib menindak lanjuti putusan Bawaslu provinsi dan / atau putusan Pemda kabupaten / kota untuk pemilihan umum pada ayat (1) paling lambat tiga hari kerja.

Koordinator Divisi Teknis ini juga akan menjadi lebih jelas lagi berdasarkan pasal 154 ayat 10 UU Nomor 10/2016 secara tegas, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai Nomor (9) final dan memungkinkan dan tidak dapat dilakukan oleh Peninjau Kembali.

Abdullah Manshur memberi pengakuan bahwa sikap KPU Makassar dalam menindak lanjuti putusan Panwas tersebut, merupakan hasil penilaian secara berjenjang.

"Ini adalah hasil konsultasi kami di KPU Provinsi Sulsel dan KPU RI dan keputusan yang dituangkan dalam berita acara pleno tertanggal 16 Mei 2018 yang dihadiri empat komisioner," katanya pula.


Pilkada Makassar Diulang 2020

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar memastikan pemilihan wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar akan diulang pada tahun 2020 setelah tidak terpenuhinya kompensasi suara pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi (Appi Cicu).

"Karena paslon tunggal Munafri Arifuddin dan Rachmatika Dewi itu tidak memenuhi syarat yang ditetapkan, maka pemilihan wali kota akan diulang pada tahun 2020," ujar Komisioner Bidang Divisi Data dan Teknis KPU Makassar Abdullah Manshur.

Ia mengatakan paslon tunggal Appi-Cicu dalam pilihan kepala daerah serentak 2018 tidak dapat menggunakan hak suara dari kolom kosong (koko) Zona pemilihan harus diulang.

Pada saat yang sama, paslon tunggal Appi-Cicu hanya meraih sebanyak 264.245 suara dan kolom kosong (koko) sebanyak 300.795 suara.

Abdullah Mansyur mengatakan suara dari beberapa calon tunggal Appi-Cicu secara penuh 47%.

"Dengan demikian pilkada Makassar akan diulang pada pemilihan berikutnya. Harusnya tahun 2019 nanti karena ada pemilu presiden dan legislatif, maka pilkada serentaknya itu di tahun 2020," katanya.

Sesuai Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2018 tentang satu pemilihan dengan pasangan calon bila tidak mencapai lebih dari 50 persen maka harus dilakukan pemilihan ulang.

Pasangan Munafri dan Rachmatika Dewi masih memungkinkan untuk dimajukan kembali pada tahun 2020, namun tidak bisa dalam satu paket lagi melainkan harus berganti pasangan.

"Mereka yang gagal mendapat suara terbanyak masih bisa ikut lagi di pilkada selanjutnya tetapi harus dengan pasangan yang lain. Siapa pun bisa ikut serta," katanya.

Jika ada pihak dari paslon yang tidak menerima hasil resmi dari KPU Makassar dapat melakukan upaya hukum .

"Itu sah-sah saja mau menggugat. Kami selalu siap untuk menghadapi meraka yang tidak terima hasil KPU ini," ungkapnya.

Atas kejayaan kolom yang menjadi sejarah, Penjabat gubernur Sulawesi Selatan Soni Sumarsono mendorong akademisi untuk fenomena kemenangan kotak kosong (Koko) dalam Pemilihan Kepala Daerah Makassar 2018.

"Penelitian dengan ekspresi akademik akan menjadi sebuah pembelajaran politik bagi para penentu pokok untuk menjadi landasan dalam pembuatan keputusan atau keputusan selanjutnya," kata Soni saat menerima Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM) Husain Syam.

Ia mengatakan kemenangan "Koko" ini dapat menjadi buku yang menarik karena fenomenal dan dengan dinamika politik kompleks yang terjadi di dalamnya. Pokok, pertanyaan tentang bagaimana sebuah kotak kosong bisa menang dan apa saja faktor dan variabel-variabel yang mempengaruhi.

Menanggapi hal ini, Husain Syam mengatakan buku tersebut dari sudut perspektif pendidikan politik, akademisi dan peneliti UNM. Nantinya diharapkan dapat memberikan saran-saran berdasarkan hasil penelitian dan temuan di lapangan.

"Tentu sesuai dengan teori, ini terus kami buat untuk menampilkan pendidikan untuk masyarakat dan untuk memberikan wawasan khusus tentang Kota Makassar," kata dia.

Husain Syam menambahkan, konsep penjabat yang dilakukan dari diskusi yang mengkaji perspektif pendidikan politik dan upaya memberikan kontribusi pikiran, karena fakta berbeda dengan teori yang ada. Kalau bisa menuliskannya tentang pendidikan di masyarakat dalam berpolitik.

Banyak pendapat yang bergulir mengenai fenomena kemenangan kotak kosong karena mencerminkan sikap masyarakat khususnya pemilih, dan para kandidat dalam pemilihan umum, pemilihan anggota legislatif perlu lebih jeli mengamati dan mempelajarinya bila ingin menang dalam suatu pemilihan.

Baca juga: Menakar representasi caleg perempuan Sulsel
Baca juga: Jalan panjang perempuan korban kekerasan cari keadilan