Artikel
Catatan keharmonisan di Kota Tua Ampenan
10 Desember 2018 11:46 WIB
Dokumentasi - Festival Kota Tua Ampenan Sejumlah komunitas sepeda ontel memeriahkan pawai pembukaan Festival Kota Tua Ampenan, di Mataram, NTB, Jumat (25/8/2017). (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
Pemakaman Bintaro di ruas jalan kawasan Ampenan, Mataram, yang mengarah ke objek wisata Pantai Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat menjadi potret keharmonisan antara sesama umat beragama dan suku di wilayah Kota Tua Ampenan.
Pemakaman keturunan Tionghoa bersebelahan dengan pemakaman Islam. Sampai sekarang keharmonisan tetap dijaga antarberbagai suku yang berada di Kota Tua Ampenan tersebut.
Keberagaman itu terbukti dengan adanya nama kampung sesuai kesukuan yang ada di Indonesia, seperti Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Bugis, Kampung Arab, dan Pecinan.
Hal itu tidak terlepas dari keberadaan Pelabuhan Ampenan yang dibangun Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada 1896 sehingga mengundang terjadinya migrasi dari sejumlah daerah di Tanah Air.
Sangat mudah untuk melihat posisi kampung berbagai kesukuan itu, sebagai patokannya perkampungan yang berada di sebelah utara Jalan Pabean merupakan Kampung Melayu dan Arab hingga disebut ada nama Lingkungan Melayu Bangsal, Lingkungan Melayu Tengah, dan Lingkungan Melayu Timur, serta di seberang jembatan tua terdapat Kampung Banjar.
Di sisi selatan jalan itu, merupakan perkampungan Bugis dan Arab. Bangunan kiri kanan sepanjang Jalan Pabean atau beberapa ratus meter menjelang kawasan Simpang Lima, dikenal sebagai Pecinan di mana mereka menguasai sektor perdagangan saat itu. Jalan Pabean sendiri merupakan penghubung antara dermaga Pelabuhan Ampenan dengan pusat kota Simpang Lima.
Kendati demikian, sampai sekarang tidak pernah terdengar terjadinya konflik antara kesukuan di kota tua itu. Mereka terus menjaga keharmonisan lingkungannya setelah leluhurnya tinggal di daerah itu secara turun temurun.
"Kami terus menjaga keharmonisan dan persaudaraan di Ampenan ini. Tidak pernah saya dengar ada konflik," kata Dimas, salah seorang warga keturunan Melayu di Kampung Tua Ampenan.
Ia menyebutkan kawasan Kampung Melayu itu berada di dekat Kampung Arab yang dahulunya terkenal sebagai saudagar, sedangkan di seberangnya yang dipisahkan oleh kali kecil merupakan Kampung Banjar.
Di sisi timur dari Jalan Pabean merupakan Kampung Bugis dan Kampung Arab.
"Saya punya teman di seluruh kampung itu, kan kecil kota tua ini," katanya.
Dari keterangan leluhurnya, pernah diceritakan bahwa tempat tinggalnya dahulu itu rumah tiang kayu atau panggung yang memanjang persis dengan rumah di Pulau Sumatera, selain itu ada juga rumah batu.
"Dulu katanya ada rumah panggung," kata dia yang mengaku masih berdarah Palembang, Sumatera Selatan.
Dia menyebutkan bahasa yang sering dipakai di lingkungan Kota Tua Ampenan itu, menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi yang bertahan sampai sekarang.
Muhammad Shafwan menyebutkan masyarakat Ampenan dengan latar budaya yang berbeda, membentuk akulturasi dari heterogenitasnya. Keinginan yang sama untuk bekerja keras dan berusaha meraih kemajuan di bidang bisnis perdagangan, menjadi semacam penyangga kebersamaan dalam persaingan.
"Etnis Cina mengambil atau membeli barang kepada pedagang Arab, pedagang Arab dan Cina membutuhkan tenaga pribumi untuk bekerja, orang pribumi butuh pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Itu semua membuat satu komunitas dengan komunitas lainnya saling tergantung," katanya dalam buku Ampenan Kota Tua.
Pada mulanya warga etnis Melayu yang tinggal di Ampenan, kata dia, berasal dari Sumatera. Mereka datang dan tinggal di dekat pesisir. Kampung Melayu diapit Kali Jengkuk dan Jalan Pabean. Jika pada awalnya, Kampung Melayu itu hanya didiami masyarakat dari Sumatera, belakangan kampung tersebut telah mengalami percampuran dengan suku lain dan warga lokal.
Agama dan tradisi masyarakat Melayu yang memiliki kedekatan dengan tradisi masyarakat Sasak membuat etnis Melayu yang dibawa dari Sumatera mengalami akulturasi secara perlahan.
"Contoh paling nyata yang bisa dirasakan adalah dari sisi kebahasaan. Bahasa Melayu dan Arab sangat memengaruhi gaya komunikasi dan rasa berbahasa orang Ampenan," katanya dalam buku tersebut.
Tidak salah jika Muhammad Shafwan menyebutkan heterogenitas penduduk di Ampenan itu ibarat taman bunga dengan beraneka ragam bunga, warna, serta aroma yang memikat.
"Berbagai suku, agama, etnis, dan kepercayaan tumbuh saling berdampingan," katanya.
Kecamatan tertua
Kota Tua Ampenan masuk dalam wilayah Kecamatan Ampenan, Mataram. Kota itu merupakan kecamatan tertua di Kota Mataram, mengingat dahulunya pusat ibu kota Pulau Lombok semasa zaman penjajahan Hindia Belanda.
Secara geografis, di sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok yang menghubungkan dengan Pulau Bali sehingga jika cuaca cerah, warga bisa melihat siluet Gunung Agung dari Pantai Ampenan.
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Selaparang, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat. Di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Kecamatan Sekarbela.
Secara keseluruhan, Kecamatan Ampenan memiliki luas wilayah 946 ribu hektare yang terbagi dalam 10 kelurahan, termasuk kampung-kampung sesuai kesukuan.
Kelurahan Taman Sari dengan luas 160,78 hektare, Kelurahan Ampenan Selatan 83,921 hektare, Kelurahan Banjar 41,371 hektare, Ampenan Tengah 59 hektare, Bintaro 81,767 hektare, Dayan Peken 53,872 hektare, Ampenan Utara 249,361 hektare, Pejeruk 84,538 hektare, Kebon Sari 57,520 hektare, dan Pejarakan Karya 73,942 hektare.
Dalam laman Kecamatan Ampenan menyebutkan Ampenan yang merupakan kota tua di Lombok tidak hanya meninggalkan bangunan tua, melainkan representasi dari akulturasi budaya dan etnis yang ada di wilayah Lombok.
Hal itu terbukti dengan terdapat banyaknya kampung yang merupakan perwujudan dari berbagai suku bangsa di Indonesia, di antaranya Kampung Tionghoa, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Arab, dan Kampung Bali.
Masyarakat yang ada di daerah itu bersifat heterogen dan rukun, bahkan keberagaman etnis maupun agama tersebut terwakili dengan adanya berbagai rumah ibadah sebagai represntasi dari pemeluk agama yang ada dan bermukim di Ampenan.
Setidaknya, hal menyangkut kerukunan bangsa Indonesia bisa belajar di Kota Tua Ampenan di mana keharmonisan terus terjaga dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).*
Baca juga: Kusamnya kota Tua Ampenan
Baca juga: Dari Ampenan, kisah perdagangan itu dimulai
Baca juga: Kota tua Ampenan akan diusulkan menjadi cagar budaya
Pemakaman keturunan Tionghoa bersebelahan dengan pemakaman Islam. Sampai sekarang keharmonisan tetap dijaga antarberbagai suku yang berada di Kota Tua Ampenan tersebut.
Keberagaman itu terbukti dengan adanya nama kampung sesuai kesukuan yang ada di Indonesia, seperti Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Bugis, Kampung Arab, dan Pecinan.
Hal itu tidak terlepas dari keberadaan Pelabuhan Ampenan yang dibangun Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada 1896 sehingga mengundang terjadinya migrasi dari sejumlah daerah di Tanah Air.
Sangat mudah untuk melihat posisi kampung berbagai kesukuan itu, sebagai patokannya perkampungan yang berada di sebelah utara Jalan Pabean merupakan Kampung Melayu dan Arab hingga disebut ada nama Lingkungan Melayu Bangsal, Lingkungan Melayu Tengah, dan Lingkungan Melayu Timur, serta di seberang jembatan tua terdapat Kampung Banjar.
Di sisi selatan jalan itu, merupakan perkampungan Bugis dan Arab. Bangunan kiri kanan sepanjang Jalan Pabean atau beberapa ratus meter menjelang kawasan Simpang Lima, dikenal sebagai Pecinan di mana mereka menguasai sektor perdagangan saat itu. Jalan Pabean sendiri merupakan penghubung antara dermaga Pelabuhan Ampenan dengan pusat kota Simpang Lima.
Kendati demikian, sampai sekarang tidak pernah terdengar terjadinya konflik antara kesukuan di kota tua itu. Mereka terus menjaga keharmonisan lingkungannya setelah leluhurnya tinggal di daerah itu secara turun temurun.
"Kami terus menjaga keharmonisan dan persaudaraan di Ampenan ini. Tidak pernah saya dengar ada konflik," kata Dimas, salah seorang warga keturunan Melayu di Kampung Tua Ampenan.
Ia menyebutkan kawasan Kampung Melayu itu berada di dekat Kampung Arab yang dahulunya terkenal sebagai saudagar, sedangkan di seberangnya yang dipisahkan oleh kali kecil merupakan Kampung Banjar.
Di sisi timur dari Jalan Pabean merupakan Kampung Bugis dan Kampung Arab.
"Saya punya teman di seluruh kampung itu, kan kecil kota tua ini," katanya.
Dari keterangan leluhurnya, pernah diceritakan bahwa tempat tinggalnya dahulu itu rumah tiang kayu atau panggung yang memanjang persis dengan rumah di Pulau Sumatera, selain itu ada juga rumah batu.
"Dulu katanya ada rumah panggung," kata dia yang mengaku masih berdarah Palembang, Sumatera Selatan.
Dia menyebutkan bahasa yang sering dipakai di lingkungan Kota Tua Ampenan itu, menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi yang bertahan sampai sekarang.
Muhammad Shafwan menyebutkan masyarakat Ampenan dengan latar budaya yang berbeda, membentuk akulturasi dari heterogenitasnya. Keinginan yang sama untuk bekerja keras dan berusaha meraih kemajuan di bidang bisnis perdagangan, menjadi semacam penyangga kebersamaan dalam persaingan.
"Etnis Cina mengambil atau membeli barang kepada pedagang Arab, pedagang Arab dan Cina membutuhkan tenaga pribumi untuk bekerja, orang pribumi butuh pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Itu semua membuat satu komunitas dengan komunitas lainnya saling tergantung," katanya dalam buku Ampenan Kota Tua.
Pada mulanya warga etnis Melayu yang tinggal di Ampenan, kata dia, berasal dari Sumatera. Mereka datang dan tinggal di dekat pesisir. Kampung Melayu diapit Kali Jengkuk dan Jalan Pabean. Jika pada awalnya, Kampung Melayu itu hanya didiami masyarakat dari Sumatera, belakangan kampung tersebut telah mengalami percampuran dengan suku lain dan warga lokal.
Agama dan tradisi masyarakat Melayu yang memiliki kedekatan dengan tradisi masyarakat Sasak membuat etnis Melayu yang dibawa dari Sumatera mengalami akulturasi secara perlahan.
"Contoh paling nyata yang bisa dirasakan adalah dari sisi kebahasaan. Bahasa Melayu dan Arab sangat memengaruhi gaya komunikasi dan rasa berbahasa orang Ampenan," katanya dalam buku tersebut.
Tidak salah jika Muhammad Shafwan menyebutkan heterogenitas penduduk di Ampenan itu ibarat taman bunga dengan beraneka ragam bunga, warna, serta aroma yang memikat.
"Berbagai suku, agama, etnis, dan kepercayaan tumbuh saling berdampingan," katanya.
Kecamatan tertua
Kota Tua Ampenan masuk dalam wilayah Kecamatan Ampenan, Mataram. Kota itu merupakan kecamatan tertua di Kota Mataram, mengingat dahulunya pusat ibu kota Pulau Lombok semasa zaman penjajahan Hindia Belanda.
Secara geografis, di sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok yang menghubungkan dengan Pulau Bali sehingga jika cuaca cerah, warga bisa melihat siluet Gunung Agung dari Pantai Ampenan.
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Selaparang, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat. Di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Kecamatan Sekarbela.
Secara keseluruhan, Kecamatan Ampenan memiliki luas wilayah 946 ribu hektare yang terbagi dalam 10 kelurahan, termasuk kampung-kampung sesuai kesukuan.
Kelurahan Taman Sari dengan luas 160,78 hektare, Kelurahan Ampenan Selatan 83,921 hektare, Kelurahan Banjar 41,371 hektare, Ampenan Tengah 59 hektare, Bintaro 81,767 hektare, Dayan Peken 53,872 hektare, Ampenan Utara 249,361 hektare, Pejeruk 84,538 hektare, Kebon Sari 57,520 hektare, dan Pejarakan Karya 73,942 hektare.
Dalam laman Kecamatan Ampenan menyebutkan Ampenan yang merupakan kota tua di Lombok tidak hanya meninggalkan bangunan tua, melainkan representasi dari akulturasi budaya dan etnis yang ada di wilayah Lombok.
Hal itu terbukti dengan terdapat banyaknya kampung yang merupakan perwujudan dari berbagai suku bangsa di Indonesia, di antaranya Kampung Tionghoa, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Arab, dan Kampung Bali.
Masyarakat yang ada di daerah itu bersifat heterogen dan rukun, bahkan keberagaman etnis maupun agama tersebut terwakili dengan adanya berbagai rumah ibadah sebagai represntasi dari pemeluk agama yang ada dan bermukim di Ampenan.
Setidaknya, hal menyangkut kerukunan bangsa Indonesia bisa belajar di Kota Tua Ampenan di mana keharmonisan terus terjaga dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).*
Baca juga: Kusamnya kota Tua Ampenan
Baca juga: Dari Ampenan, kisah perdagangan itu dimulai
Baca juga: Kota tua Ampenan akan diusulkan menjadi cagar budaya
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018
Tags: