Meulaboh, Aceh, (ANTARA News) - Wilayah pesisir barat selatan Provinsi Aceh merupakan daerah sentra produksi pertanian dengan berbagai komoditas yang menjadi penompang kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.

Seperti di Kabupaten Aceh Selatan, daerah setempat dikenal memiliki potensi sumber daya alam (SDA) berupa tanaman pala dan sawit, namun akhir-akhir ini mulai berkembang beberapa komoditas lain yang dianggap lebih bernilai ekonomis.

Salah satu alasan petani beralih pada komoditi lain, yakni menyesuaikan dengan kondisi iklim dan cuaca di wilayahnya, di mana ketika curah hujan tinggi mereka tidak bisa bekerja, sedangkan saat cuaca membaik kadang tidak didukung oleh nilai harga jual.

Sebagaimana dilakukan masyarakat dan petani Desa Mutiara, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Selatan, saat ini masyarakat dari lintas usia berlomba-lomba melakukan budi daya tanaman serai wangi karena bernilai jual tinggi.

Tanaman pala tetap menjadi primadona sektor pertanian daerah, namun perubahan iklim dan cuaca ikut memengaruhi sikap dan perilaku petani mencari sisi lebih menguntungkan agar label petani yang melekat pada diri mereka tetap bertahan.

Belum lagi menghitung biaya perawatan dan sulitnya menyelamatkan tanaman dari serangan panyakit mematikan, akhirnya butuh jalan keluar menentukan sikap sehingga sektor pertanian tetap menjadi sumber mata pencarian petani.

Berubahnya haluan pertanian dari satu komoditas kepada komoditi lain sudah tidak dapat terbendung, bukan karena petani telah bosan, akan tetapi masyarakat dan petani cenderung melihat potensi budi daya tanaman lain yang lebih menjanjikan.

Terhitung hingga awal Desember 2018, harga jual minyak serai wangi hasil produksi petani setempat bertahan Rp340.000/ kg, harga tersebut cukup membuat mereka tergiur berbudi daya tanaman untuk bahan asiri tersebut.

"Saya sendiri alhamdulillah sudah punya enam hektare lahan tanaman serai wangi dan sudah panen beberapa kali dengan nilai jual memuaskan," kata petani serai wangi di Kabupaten Aceh Selatan, Anhar Sawang.

Dengan nilai jual Rp340.000/kg, untuk seluruh area lahan dimiliknya bisa berproduksi 500 kilogram daun, kemudian setelah diproses penyulingan bisa menghasilkan bahan baku minyak asiri sekitar 5-6 kg.

Keunggulan serai wangi bisa dipanen sampai lima kali, kemudian umur tanaman tersebut sangat lama, sampai berumur 15 tahun petani hanya memetik hasil dengan memanen secara berkala yakni 2,5 bulan per satu kali panen.

Tanaman ini tidak membutuhkan biaya untuk perawatan dan pupuk, petani hanya mengeluarkan modal untuk membeli kayu sebagai bahan bakar untuk proses penyulingan minyak mentah serai wangi di ketel-ketel kecil.

Petani serai wangi setempat memberikan istilah MGM, yakni murah, gampang, dan mudah, sebab pekerjaan tersebut bisa dilakukan oleh masyarakat yang tidak memiliki modal, hanya butuh kemauan dan kerja keras membuka lahan.

Mayoritas pelaku agribisnis serai wangi ini terkonsentrasi di kawasan Desa Mutiara, Kecamatan Sawang, Aceh Selatan. Masyarakat di daerah tersebut saat ini berlomba-lomba mengembangkan tanaman serai wangi sebagai sumber ekonomi keluarga.

Terlebih lagi pemda, sudah menunjukkan kemauan untuk pengembangan tanaman itu. Hasil diskusinya dengan Wakil Bupati Aceh Selatan belum lama ini, pemda akan coba menindaklanjuti untuk program daerah dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.

"Kami di sini sudah ada kelompok kecil membangun usaha serai wangi, saya sendiri sudah pernah bertemu dengan Wakil Bupati Aceh Selatan membicarakan wacana pengembangan serai wangi di daerah kami," demikian Anhar Sawang.

Tanaman pala tetap menjadi primadona di daerah setempat. Pada Desember 2018 harga jual buah pala petani ditampung Rp24.000/kg, sementara untuk minyak pala hasil produksi di ketal lokal seharga Rp620.000/kg.



Pemetaan

Pemerintah perlu membuat pemetaan untuk pengembangan secara berkelanjutan, didukung komitmen dari petani sendiri untuk serius dalam berbudidaya, jangan hanya karena saat harga serai wangi melonjak karena tingginya permintaan pasar.

Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Aceh Selatan, Khaidir Amin, mengatakan pemerintah perlu tegas dalam kebijakan untuk melindungi petani dari anjloknya harga komoditas yang menjadi sumber ekonomi.

Dicontohkan seperti harga TBS sawit petani yang saat ini anjlok hingga Rp650-Rp700 per kg, sementara Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh telah menetapkan harga minimal pembelian TBS Rp1.200 per kg dengan rendeman 18,41 persen.

Penyebab anjloknya harga itu karena mata rantai penjualan produksi petani kebun sawit di Aceh Selatan masih sangat panjang hingga sampai Pabrik Kelapa Sawit (PKS) untuk diolah menjadi bahan baku minyak mentah atau crude palm oil (CPO).

Harga itu diperkirakan dengan nilai penjualan CPO Rp6.062 per kg, kemudian rata-rata harga kernel Rp4.945 per kg, juga disesuaikan dengan umur tanaman kelapa sawit serta rendemen atau kadar minyak dalam kelapa sawit.

Aceh Selatan yang memiliki wilayah pegunungan yang cukup luas, saat ini terus dimanfaatkan oleh masyarakat, termasuk dalam pengembangan serai wangi, karena ditemukan kondisi lereng gunung yang sangat baik untuk budi daya tanaman itu.

"Harus ada ketegasan dulu dari pemerintah, tidak boleh beli TBS di bawah standar minimum. Kedua, perlu segera tersedia pabrik pengolah CPO di Aceh Selatan sehingga dapat memangkas biaya transportasi darat," kata Khaidir Amin.

Menurut Anggota DPR Aceh ini, hal wajar, ketika saat ini masyarakat dan petani di Aceh Selatan yang dahulu dikenal produsen buah pala dan minyak pala, secara bergelombang telah mencari komoditas lain yang bernilai ekonomis.

Tuntutan ekonomi dan kondisi geologi memaksa petani harus menentukan sikap, apalagi di tengah kondisi global terhadap ancaman usaha sektor perkebunan besar sehingga harus ada upaya bertahan yang harus dilakukan.

Tidak hanya petani, bahkan pihak perusahaan pun, tidak jarang sudah mencoba beralih kepada komoditas lain, termasuk menyesuaikan operasional kerja untuk memangkas berbagai biaya yang dianggap tidak perlu.



Lumbung Pangan

Kondisi serupa juga dialami oleh petani di Kabupaten Aceh Jaya. Daerah yang berada di daerah pesisir Aceh ini merupakan salah satu lumbung pangan, produsen gabah untuk swasembada pangan.

Namun, sebagian besar petani di daerah setempat saat ini cenderung lebih tertarik mengembangkan tanaman jagung dibandingkan dengan komoditas lain karena terbukti secara ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

"Jagung, saat ini sedang digalakkan, apalagi untuk tanaman lain masih sulit karena letak daerah yang rawan bencana banjir," kata Ketua Organisasi Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Aceh Jaya, Nurdin.

Kawasan sentra pengembangan tanaman jagung terkonsentrasi di beberapa desa di Kecamatan Teunom. Area pengembangan komoditas jenis jagung pipil itu, jauh dari kawasan ancaman banjir musiman.

Di Kecamatan Teunom, setidaknya terdapat 1.000 hektare lebih luas lahan tanaman jagung budi daya masyarakat sekitar yang dilakukan panen secara berkala tiga bulan sekali oleh petani dengan produktivitas 6-7 ton/ hektare.

Persoalan harga jual masih relatif murah yakni seharga Rp4.000/ kg, dengan potensi lahan dan ketersediaan bahan baku di Aceh Jaya seharusnya sudah ada industri pengolah jagung untuk kebutuhan pakan dan sebagainya.

Masyarakat dan petani di daerah dekat pantai pesisir Aceh setempat, sangat berharap ada perlindungan terhadap kondisi lahan pertanian tanaman padi yang terus rusak akibat bencana alam banjir luapan sungai.

Tanaman padi Aceh Jaya selalu diterjang banjir. Dalam setahun ini sudah dua kali banjir besar di dareah itu.

Ada dua kecamatan daerah sentra produksi pertanian padi yakni Kecamatan Pasie Raya dan Kecamatan Teunom.

Nurdin, mewakili petani Aceh Jaya menaruh harapan adanya penanganan banjir secara permanen di kawasan pertanian, berupa pembangunan saluran air yang memadai serta tanggul untuk menahan air sungai agar tidak menerjang sawah.

Mayoritas petani sudah mulai bergairah dan beralih ke jagung. Secara ekonomi tidak masalah ketika banyak muncul petani jagung, tetapi persoalan tanaman padi juga harus menjadi prioritas, karena hal itu masalah pangan nasional.

Petani Desa Mon Mata, Kecamatan Krueng Sabe, Fajri, menyampaikan di daerahnya terdapat area lahan sawah yang potensial dan produktif.

Namun, bencana alam banjir selalu mengganggu jumlah produktivitas pertanian warga sekitar.

Perkiraan musim tanam selalu tepat, namun bencana banjir datang tanpa melihat musim.*


Baca juga: INDEF: Peminjaman jagung jadi potensi negatif investasi

Baca juga: Petani tembakau Madura disarankan alih tanam jagung

Baca juga: Serai wangi penghasil minyak atsiri masa depan