Artikel
Peringatan Hari Antikorupsi Dunia, untuk siapa?
9 Desember 2018 14:18 WIB
Sejumlah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia melakukan aksi peringatan hari anti korupsi sedunia saat berlangsungnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB), di kawasan Bundara HI, Jakarta, Minggu (9/12/2018). Aksi tersebut bertujuan untuk menghimbau masyarakat agar tidak memilih calon legislatif dan pemimpin yang pernah atau sedang tersangkut kasus korupsi. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
Jakarta (ANTARA News) - Setiap 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia, sesuai dengan tanggal penandatangan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) alias Konvensi PBB Antikorupsi pada 9 Desember 2003 dengan 140 negara penandatangan resolusi 58/4 mengenai UNCAC.
Majelis Umum PBB pun mendorong lebih banyak negara untuk menandatangani dan meratifikasi alias mengadopsi aturan tersebut ke hukum dalam negerinya. Indonesia juga sudah meratifikasi UNCAC menjadi UU No 7 tahun 2006.
Dalam pengantar yang termuat dalam laman United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) saat peringatan Hari Antikorupsi Internasional 2005, disebutkan bahwa perbuatan korupsi termasuk ketika para orang tua membayar biaya tidak seharusnya kepada guru untuk mendidik anak-anak mereka, pasien membayar ekstra untuk mendapat perawatan kesehatan yang layak, warga memberikan hadiah kepada pejabat pemerintah demi mempercepat pelayanan dan seorang pengemudi menyuap polisi untuk menghindari tilang.
Secara singkat, apa saja yang dianggap banyak orang sebagai cara praktis untuk menyelesaikan persoalan diluar jalur resmi adalah suatu kejahatan korupsi.
Setiap tahun, menurut UNODC, suap kepada petugas atau pejabat negara mencapai lebih dari 1 triliun dolar AS di seluruh dunia yang artinya menambah penghasilan koruptor dan merampok masa depan generasi penerus. Setiap tindakan korupsi berkontribusi terhadap kemiskinan global, kehancuran pembangunan dan menjauhkan investasi.
Tapi korupsi tidak hanya diukur dari sisi ekonomi. Dimana ada korupsi, masyarakat umum sejatinya juga ikut menderita karena korupsi melemahkan sistem peradilan dan politik yang seharusnya bekerja untuk kebaikan rakyat dengan mengerdilkan supremasi hukum dan membungkam suara rakyat. Akibatnya, kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan institusi nasional pun menurun.
Setiap orang punya peran untuk menghentikan korupsi, baik sebagai pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil maupun warga negara biasa.
SIPP
Tiga belas tahun berlalu setelah UNODC membuat pernyataan tersebut, kondisi korupsi yang digambarkan masih tampak nyata di depan mata, termasuk korupsi di Indonesia.
"Kita harus mencegah partai politik (parpol) menjadi lahan bisnis baru dengan menguasai pendanaan partai. Bila partai dikuasai pemilik modal, maka akan timbul pameo, 'kuasai parpol, kuasai parlemen, kuasai pasal-pasal dalam perundang-undangan', maka anda akan mengusasi Indonesia hanya dengan mengucurkan Rp1-2 triliun," kata Ketua DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, Selasa (4/12).
Bambang mengucapkan hal itu dalam konferensi pers Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) dalam rangka Hari Antikorupsi Sedunia 2018 dengan tema Mewujudkan Sistem Integritas Partai Politik. Dalam konferensi tersebut, 13 dari 16 parpol peserta pemilu 2019 menandatangani Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang digagas oleh KPK.
Bambang juga mengakui bahwa parpol masih kesulitan untuk membiayai kegiatan internalnya.
"Sumber pendanaan partai itu dari iuran anggota, 'susu tante' atau sumbangan darurat tanpa tekanan tapi pada praktiknya suka pakai tekanan dan yang ketiga dari negara yaitu dari APBN dan ini jauh dari kecukupan partai," tambah Bambang.
Praktik korupsi masih terjadi di parpol, menurut Bambang karena untuk mengadakan munas, rapimnas, rakernas semua membutuhkan biaya dan sumber itu biasanya dibebankan kepada kader-kader yang duduk di parlemen maupun di pemerintahan. Bila kader tidak memberikan dana maka ia pun mendapat sanksi partai.
Apalagi ketika menerapkan pilkada langsung saat ini, biaya untuk menjadi bupati atau wali kota yang paling murah adalah Rp5 miliar, dimulai dengan mendapatkan rekomendasi dari partai, sedangkan untuk pemilihan gubernur dapat mencapai Rp200-300 miliar.
"Sekarang ini masalah kita NPWP, nomor piro wangnya piro, jadi sulit kita mengharapkan kader partai yang dari partai. Saya dan Golkar mati-matian mendidik kader partai puluhan tahun tapi kita berhadapan di publik dengan saingannya keteteran dan kalah dengan pendatang baru yang dari kalangan pengusaha mapan," ujar Bambang.
KPK sendiri menilai ada persoalan integritas di tubuh parpol. Setidaknya ada empat masalah pokok yaitu pertama ketiadaan standar etik partai padahal tanpa standar etik tersebut, politik tidak memiliki panduan ideal dalam berperilaku dan melaksanakan fungsi politiknya.
Kedua, masalah kaderisasi dan rekrumen. Dengan tidak adanya sistem kaderisasi dan rekrutmen yang baku, berkelanjutan dan transparan maka parpol yang tinggi kandungan nepotisme dan sulit untuk melakukan regenerasi.
Ketiga, masalah pendanaan parpol, dengan dana dari parpol yang belum menutup kebutuhan minimum maka memicu potensi tumbuhnya oligarki, korupsi dan praktik penyimpangan.
Terakhir, tantangan demokrasi internal yang berkaitan erat dengan kontribusi parpol kepada sistem politik di Indonesia sehingga perbaikan tata kelola dan internalisasi standar integritas parpol sangat penting dilakukan.
Maka KPK bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pun membuat SIPP sebagai seperangkat kebijakan yang dibangun oleh parpol dan disepakati secara kolektif sebagai standar integritas yang harus dipatuhi kader partai untuk (1) menghasilkan calon pemimpin berintegritas (2) meminimalkan risiko korupsi politik dan penyalahgunaan kekuasaan, (3) instrumen kepatuhan SIPP, dan (4) menghasilkan tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
Pengukuran indikator sistem integritas partai itu sendiri berdasarkan 5 komponen utama yaitu kode etik, demokrasi internal parpol, kaderisasi, rekrutmen, dan keuangan parpol sehingga seluruhnya teridiri atas 19 variabel.
Komponen kode etik dikombinasikan dari 3 sistem yang terintegrasi satu sama lain yaitu penegakan etik, perlindungan (whistleblower) serta standar etik. Selanjutnya demokrasi internal dirancang untuk menentukan calon anggota legislatif dan jabatan publik serta pergantian kepengurusan dengan urgensi pelaksanaan desentralisasi dari otoritas partai ke daerah.
Selanjutnya komponen kaderisasi berprinsip (1) inklusif, (2) berjenjang, (3) berkala, (4) terukur dan (5) berkelanjutan sehingga dapat memberikan kesempatan yang sama bagi setiap kader dengan data baku dan program pelatihan yang sudah dirancang. Sistem kaderisasi berjenjang juga menciptakan keselarasan antara masukan dan keluaran di setiap tingkat kepengurusan partai.
Kemudian pengelolaan keuangan parpol yang transparan dan akunbael dibuktikan dengan laporan keuangan (laporan realisasi anggaran, laporan neraca dan laporan arus kas) yang sudah diaudit dan diumumkan ke publik.
KPK juga mendorong 5 komponen inti integritas parpol ini menjadi bagian dari perubahan UU No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dan dilaksanakan pengawasan secara bulanan maupun triwulanan untuk memastikan keberjalanan strategi dan evaluasi hasil.
Mengutip pernyataan mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam lembar terakhir paparan SIPP KPK yang mengatakan "Undang-undang bukan peti kemas yang kosong (empty container) dan sejatinya undang-undang bersukma keadilan dan memiliki roh kerakyatan. Hukum senantiasa bergerak sentrifugal ke arah perkembangan politik, ekonomi, budaya, serta bergerak secara sentripetal ke arah nilai logis (kebenaran), nilai etis (keadilan) dan estetis (harmoni sosial), dengan demikian keberadaan hukum akan dapat memberikan perlindangan atau fungsi protektif bagi martabat kemanusiaan; maka para pembuat hukum pun harus lahir dari semangat keadilan dan kerakyaktan, bukan kepemilikan modal."
Respon Parpol
Sayangnya, sistem yang sudah didesain sebaik mungkin itu tidak disepakati secara bulat oleh parpol di Indonesia. Hanya 13 parpol yang menandatangani SIPP yaitu PDIP, Gerindra, Golkar, Demokrat, PKB, PPP, PAN, Hanura, PSI, Garuda, Berkarya, Perindo, PKPI.
Sedangkan tiga parpol yang tidak menandatangani adalah PKS, PBB dan Nasdem. Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate tidak ikut menandatangani SIPP meski menghadiri diskusi tentang "Mewujudkan Sistem Integritas Partai Politik" yang diadakan KPK dalam acara yang sama.
"Kalau hanya menandatangani selembar kertas yang tidak ada manfaat atau tidak diimplementasikan, itu berdampak buruk terhadap kesan publik terkait pemberantasan korupsi," kata Johnny G Plate.
Ia mengklaim Partai Nasdem selama ini sudah menerapkan sistem tersebut, meski tanpa adanya pakta integritas.
"Kami menerapkan politik tanpa mahar, menolak dana saksi, rekrutmen partai berjenjang," tambah Johnny.
Sedangkan mengenai ketidakhadiran PKS dan PBB, menurut Juru Bicara KPK Febri, bukan berarti mereka tidak berkomitmen mewujudkan SIPP.
"Bahwa hari ini tidak datang, tentu tidak berarti tidak ikut mendukung dan tidak berkomitmen mewujudkan SIPP. Setelah hari ini kan tak cukup hanya penandatanganan. Ke depan kita akan datang lagi, duduk bersama menyusun semacam tools yang diperinci, walaupun sebenarnya buku panduannya sudah ada di sini. Jadi termasuk parpol yang belum datang, tentu tetap akan diajak dan dilibatkan dalam upaya menyusun perbaikan ke depan bersama-sama," kata Febri.
Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) mengaku bahwa ia setuju dengan inisiasi yang dilakukan KPK.
"KPK lebih berwibawa mengundang semua orang hadir. Jadi, ada kesalahan sistem. Apa KPK harus ditakuti? Keliru. KPK harus menjadi cermin untuk mengurangi rasa untuk melakukan korupsi. Korupsi ini hanya bisa dilawan dengan hati nurani. Bagaimana mau berhenti? Apa yang diatur KPK saya setuju," kata OSO.
Sedangkan Ketum PAN sekaligus Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan bahwa ada rasa takut parpol kepada KPK.
"Sistemnya harus disempurnakan. Sekarang semua tidak boleh, tapi biaya perlu. Orang berkuasa menggunakan keinginannya untuk berkuasa sehingga terjadi korupsi besar dan kesenjangan. Kalau itu bisa diperbaiki, saya rasa KPK kerjanya lebih mudah. Saya juga takut dengan KPK," kata Zulkifli.
Sementara Ketum PKB Muhaimin Iskandar mengaku bahwa standar KPK dalam SIPP seperti kode etik, keuangan maupun kaderisasi sedang diupayakan PKB.
"Pemilu 2019 menjadi pemilu paling berat karena paling liberal sepanjang sejarah reformasi karena kompetisi internal dan eksternal yang membutuhkan energi luar biasa sebagai parpol dalam mengkonsolidasi SIPP harus berhadapan dengan realitas yang sangat liberalistis," kata Muhaimin.
Tidak heran, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) masih rendah yaiatu berada di angka 37, dengan angka 100 menunjukkan semakin antikorupsi dan angka 0 semakin korupsi.
KPK sendiri sudah melakukan 27 Operasi Tangkap Tangan (OTT) sepanjang Januari-November 2018 yang menjaring 18 kepala daerah, tiga orang hakim, dua orang anggota DPR, delapan orang anggota DPRD, satu orang kalapas khusus lapas korupsi dan dua PNS.
Skor IPK Indonesia itu dipengaruhi sembilan lembaga survei, namun Indonesia mendapat skor rendah oleh tiga lembaga yaitu World Justice Projet (20) yang mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum; Varieties Democracy Project (30) mencakup tujuh prinsip demokrasi di suatu negara dan persepi korupsi sektor publik (32) yang menilai soal pimpinan politik nasional dan lokal serta PNS pusat dan daerah.
"Kalau dari ekonomi kita lumayan, yang cukup memprihatinkan adalah pelaksanaan politik di negara kita masih kurang menggembirakan. Kami hari ini akan mendapatkan komitmen dari partai peserta pemilu 2019 karena mereka akan menegaskan sistem integritas politik di partai masing-masing," kata Ketua KPK Agus Rahardjo
Lalu, sesungguhnya peringatan Hari Antikorupsi untuk siapa? Apakah untuk para penegak hukum yang melakukan OTT? Untuk para koruptor yang sudah tertangkap maupun yang belum tertangkap atau untuk seluruh masyarakat yang sudah maupun belum merasakan dampak korupsi? *
Baca juga: Tiga BUMN raih penghargaan pencegahan korupsi dari KPK
Baca juga: Pemprov DKI raih tiga penghargaan Hari AntiKorupsi Sedunia
Baca juga: Telkom raih penghargaan pengendalian gratifikasi terbaik dari KPK
Majelis Umum PBB pun mendorong lebih banyak negara untuk menandatangani dan meratifikasi alias mengadopsi aturan tersebut ke hukum dalam negerinya. Indonesia juga sudah meratifikasi UNCAC menjadi UU No 7 tahun 2006.
Dalam pengantar yang termuat dalam laman United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) saat peringatan Hari Antikorupsi Internasional 2005, disebutkan bahwa perbuatan korupsi termasuk ketika para orang tua membayar biaya tidak seharusnya kepada guru untuk mendidik anak-anak mereka, pasien membayar ekstra untuk mendapat perawatan kesehatan yang layak, warga memberikan hadiah kepada pejabat pemerintah demi mempercepat pelayanan dan seorang pengemudi menyuap polisi untuk menghindari tilang.
Secara singkat, apa saja yang dianggap banyak orang sebagai cara praktis untuk menyelesaikan persoalan diluar jalur resmi adalah suatu kejahatan korupsi.
Setiap tahun, menurut UNODC, suap kepada petugas atau pejabat negara mencapai lebih dari 1 triliun dolar AS di seluruh dunia yang artinya menambah penghasilan koruptor dan merampok masa depan generasi penerus. Setiap tindakan korupsi berkontribusi terhadap kemiskinan global, kehancuran pembangunan dan menjauhkan investasi.
Tapi korupsi tidak hanya diukur dari sisi ekonomi. Dimana ada korupsi, masyarakat umum sejatinya juga ikut menderita karena korupsi melemahkan sistem peradilan dan politik yang seharusnya bekerja untuk kebaikan rakyat dengan mengerdilkan supremasi hukum dan membungkam suara rakyat. Akibatnya, kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan institusi nasional pun menurun.
Setiap orang punya peran untuk menghentikan korupsi, baik sebagai pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil maupun warga negara biasa.
SIPP
Tiga belas tahun berlalu setelah UNODC membuat pernyataan tersebut, kondisi korupsi yang digambarkan masih tampak nyata di depan mata, termasuk korupsi di Indonesia.
"Kita harus mencegah partai politik (parpol) menjadi lahan bisnis baru dengan menguasai pendanaan partai. Bila partai dikuasai pemilik modal, maka akan timbul pameo, 'kuasai parpol, kuasai parlemen, kuasai pasal-pasal dalam perundang-undangan', maka anda akan mengusasi Indonesia hanya dengan mengucurkan Rp1-2 triliun," kata Ketua DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, Selasa (4/12).
Bambang mengucapkan hal itu dalam konferensi pers Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) dalam rangka Hari Antikorupsi Sedunia 2018 dengan tema Mewujudkan Sistem Integritas Partai Politik. Dalam konferensi tersebut, 13 dari 16 parpol peserta pemilu 2019 menandatangani Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang digagas oleh KPK.
Bambang juga mengakui bahwa parpol masih kesulitan untuk membiayai kegiatan internalnya.
"Sumber pendanaan partai itu dari iuran anggota, 'susu tante' atau sumbangan darurat tanpa tekanan tapi pada praktiknya suka pakai tekanan dan yang ketiga dari negara yaitu dari APBN dan ini jauh dari kecukupan partai," tambah Bambang.
Praktik korupsi masih terjadi di parpol, menurut Bambang karena untuk mengadakan munas, rapimnas, rakernas semua membutuhkan biaya dan sumber itu biasanya dibebankan kepada kader-kader yang duduk di parlemen maupun di pemerintahan. Bila kader tidak memberikan dana maka ia pun mendapat sanksi partai.
Apalagi ketika menerapkan pilkada langsung saat ini, biaya untuk menjadi bupati atau wali kota yang paling murah adalah Rp5 miliar, dimulai dengan mendapatkan rekomendasi dari partai, sedangkan untuk pemilihan gubernur dapat mencapai Rp200-300 miliar.
"Sekarang ini masalah kita NPWP, nomor piro wangnya piro, jadi sulit kita mengharapkan kader partai yang dari partai. Saya dan Golkar mati-matian mendidik kader partai puluhan tahun tapi kita berhadapan di publik dengan saingannya keteteran dan kalah dengan pendatang baru yang dari kalangan pengusaha mapan," ujar Bambang.
KPK sendiri menilai ada persoalan integritas di tubuh parpol. Setidaknya ada empat masalah pokok yaitu pertama ketiadaan standar etik partai padahal tanpa standar etik tersebut, politik tidak memiliki panduan ideal dalam berperilaku dan melaksanakan fungsi politiknya.
Kedua, masalah kaderisasi dan rekrumen. Dengan tidak adanya sistem kaderisasi dan rekrutmen yang baku, berkelanjutan dan transparan maka parpol yang tinggi kandungan nepotisme dan sulit untuk melakukan regenerasi.
Ketiga, masalah pendanaan parpol, dengan dana dari parpol yang belum menutup kebutuhan minimum maka memicu potensi tumbuhnya oligarki, korupsi dan praktik penyimpangan.
Terakhir, tantangan demokrasi internal yang berkaitan erat dengan kontribusi parpol kepada sistem politik di Indonesia sehingga perbaikan tata kelola dan internalisasi standar integritas parpol sangat penting dilakukan.
Maka KPK bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pun membuat SIPP sebagai seperangkat kebijakan yang dibangun oleh parpol dan disepakati secara kolektif sebagai standar integritas yang harus dipatuhi kader partai untuk (1) menghasilkan calon pemimpin berintegritas (2) meminimalkan risiko korupsi politik dan penyalahgunaan kekuasaan, (3) instrumen kepatuhan SIPP, dan (4) menghasilkan tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
Pengukuran indikator sistem integritas partai itu sendiri berdasarkan 5 komponen utama yaitu kode etik, demokrasi internal parpol, kaderisasi, rekrutmen, dan keuangan parpol sehingga seluruhnya teridiri atas 19 variabel.
Komponen kode etik dikombinasikan dari 3 sistem yang terintegrasi satu sama lain yaitu penegakan etik, perlindungan (whistleblower) serta standar etik. Selanjutnya demokrasi internal dirancang untuk menentukan calon anggota legislatif dan jabatan publik serta pergantian kepengurusan dengan urgensi pelaksanaan desentralisasi dari otoritas partai ke daerah.
Selanjutnya komponen kaderisasi berprinsip (1) inklusif, (2) berjenjang, (3) berkala, (4) terukur dan (5) berkelanjutan sehingga dapat memberikan kesempatan yang sama bagi setiap kader dengan data baku dan program pelatihan yang sudah dirancang. Sistem kaderisasi berjenjang juga menciptakan keselarasan antara masukan dan keluaran di setiap tingkat kepengurusan partai.
Kemudian pengelolaan keuangan parpol yang transparan dan akunbael dibuktikan dengan laporan keuangan (laporan realisasi anggaran, laporan neraca dan laporan arus kas) yang sudah diaudit dan diumumkan ke publik.
KPK juga mendorong 5 komponen inti integritas parpol ini menjadi bagian dari perubahan UU No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dan dilaksanakan pengawasan secara bulanan maupun triwulanan untuk memastikan keberjalanan strategi dan evaluasi hasil.
Mengutip pernyataan mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam lembar terakhir paparan SIPP KPK yang mengatakan "Undang-undang bukan peti kemas yang kosong (empty container) dan sejatinya undang-undang bersukma keadilan dan memiliki roh kerakyatan. Hukum senantiasa bergerak sentrifugal ke arah perkembangan politik, ekonomi, budaya, serta bergerak secara sentripetal ke arah nilai logis (kebenaran), nilai etis (keadilan) dan estetis (harmoni sosial), dengan demikian keberadaan hukum akan dapat memberikan perlindangan atau fungsi protektif bagi martabat kemanusiaan; maka para pembuat hukum pun harus lahir dari semangat keadilan dan kerakyaktan, bukan kepemilikan modal."
Respon Parpol
Sayangnya, sistem yang sudah didesain sebaik mungkin itu tidak disepakati secara bulat oleh parpol di Indonesia. Hanya 13 parpol yang menandatangani SIPP yaitu PDIP, Gerindra, Golkar, Demokrat, PKB, PPP, PAN, Hanura, PSI, Garuda, Berkarya, Perindo, PKPI.
Sedangkan tiga parpol yang tidak menandatangani adalah PKS, PBB dan Nasdem. Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate tidak ikut menandatangani SIPP meski menghadiri diskusi tentang "Mewujudkan Sistem Integritas Partai Politik" yang diadakan KPK dalam acara yang sama.
"Kalau hanya menandatangani selembar kertas yang tidak ada manfaat atau tidak diimplementasikan, itu berdampak buruk terhadap kesan publik terkait pemberantasan korupsi," kata Johnny G Plate.
Ia mengklaim Partai Nasdem selama ini sudah menerapkan sistem tersebut, meski tanpa adanya pakta integritas.
"Kami menerapkan politik tanpa mahar, menolak dana saksi, rekrutmen partai berjenjang," tambah Johnny.
Sedangkan mengenai ketidakhadiran PKS dan PBB, menurut Juru Bicara KPK Febri, bukan berarti mereka tidak berkomitmen mewujudkan SIPP.
"Bahwa hari ini tidak datang, tentu tidak berarti tidak ikut mendukung dan tidak berkomitmen mewujudkan SIPP. Setelah hari ini kan tak cukup hanya penandatanganan. Ke depan kita akan datang lagi, duduk bersama menyusun semacam tools yang diperinci, walaupun sebenarnya buku panduannya sudah ada di sini. Jadi termasuk parpol yang belum datang, tentu tetap akan diajak dan dilibatkan dalam upaya menyusun perbaikan ke depan bersama-sama," kata Febri.
Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) mengaku bahwa ia setuju dengan inisiasi yang dilakukan KPK.
"KPK lebih berwibawa mengundang semua orang hadir. Jadi, ada kesalahan sistem. Apa KPK harus ditakuti? Keliru. KPK harus menjadi cermin untuk mengurangi rasa untuk melakukan korupsi. Korupsi ini hanya bisa dilawan dengan hati nurani. Bagaimana mau berhenti? Apa yang diatur KPK saya setuju," kata OSO.
Sedangkan Ketum PAN sekaligus Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan bahwa ada rasa takut parpol kepada KPK.
"Sistemnya harus disempurnakan. Sekarang semua tidak boleh, tapi biaya perlu. Orang berkuasa menggunakan keinginannya untuk berkuasa sehingga terjadi korupsi besar dan kesenjangan. Kalau itu bisa diperbaiki, saya rasa KPK kerjanya lebih mudah. Saya juga takut dengan KPK," kata Zulkifli.
Sementara Ketum PKB Muhaimin Iskandar mengaku bahwa standar KPK dalam SIPP seperti kode etik, keuangan maupun kaderisasi sedang diupayakan PKB.
"Pemilu 2019 menjadi pemilu paling berat karena paling liberal sepanjang sejarah reformasi karena kompetisi internal dan eksternal yang membutuhkan energi luar biasa sebagai parpol dalam mengkonsolidasi SIPP harus berhadapan dengan realitas yang sangat liberalistis," kata Muhaimin.
Tidak heran, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) masih rendah yaiatu berada di angka 37, dengan angka 100 menunjukkan semakin antikorupsi dan angka 0 semakin korupsi.
KPK sendiri sudah melakukan 27 Operasi Tangkap Tangan (OTT) sepanjang Januari-November 2018 yang menjaring 18 kepala daerah, tiga orang hakim, dua orang anggota DPR, delapan orang anggota DPRD, satu orang kalapas khusus lapas korupsi dan dua PNS.
Skor IPK Indonesia itu dipengaruhi sembilan lembaga survei, namun Indonesia mendapat skor rendah oleh tiga lembaga yaitu World Justice Projet (20) yang mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum; Varieties Democracy Project (30) mencakup tujuh prinsip demokrasi di suatu negara dan persepi korupsi sektor publik (32) yang menilai soal pimpinan politik nasional dan lokal serta PNS pusat dan daerah.
"Kalau dari ekonomi kita lumayan, yang cukup memprihatinkan adalah pelaksanaan politik di negara kita masih kurang menggembirakan. Kami hari ini akan mendapatkan komitmen dari partai peserta pemilu 2019 karena mereka akan menegaskan sistem integritas politik di partai masing-masing," kata Ketua KPK Agus Rahardjo
Lalu, sesungguhnya peringatan Hari Antikorupsi untuk siapa? Apakah untuk para penegak hukum yang melakukan OTT? Untuk para koruptor yang sudah tertangkap maupun yang belum tertangkap atau untuk seluruh masyarakat yang sudah maupun belum merasakan dampak korupsi? *
Baca juga: Tiga BUMN raih penghargaan pencegahan korupsi dari KPK
Baca juga: Pemprov DKI raih tiga penghargaan Hari AntiKorupsi Sedunia
Baca juga: Telkom raih penghargaan pengendalian gratifikasi terbaik dari KPK
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018
Tags: