Artikel
"Kepentingan" ekonomimu, bencanaku
9 Desember 2018 08:04 WIB
Tim SAR gabungan melakukan upaya pencarian korban yang tertimbun longsor di kawasan Batubulan, Gianyar, Bali, Sabtu (8/12/2018). Sebanyak empat orang korban ditemukan tewas dan seorang warga dievakuasi dalam kondisi kritis dalam bencana tanah longsor tersebut. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/hp.)
Jakarta (ANTARA News) - Dalam sejarahnya, kepentingan ekonomi dan lingkungan baku hantam dalam keseharian. Kampanye hitam diteriakkan lantang oleh ekonomi, sedangkan lingkungan membalas dengan berteriak perusak ekosistem.
Mereka saling menghujat. Namun sejarah juga mencatat, sejauh ini lingkungan lebih sering terjegal di tengah jalan.
Teknologi terkadang hadir mencoba melerai. Kadang berhasil memberi solusi, techno-fixes, namun tidak jarang hanya menjadi janji semu.
Mana yang akan dipilih, laring atau rehabilitasi holistik "kali hitam", hujan buatan atau restorasi hutan dan lahan gambut?
Ekonomi lalu berteriak, mahal. Maka lingkungan menjawab, alam memang diciptakan sempurna, karenanya terkadang harus ditebus dengan harga yang sangat mahal jika ada yang menginginkannya.
Pemerintah Korea Selatan menghabiskan dana 18 miliar dolar AS untuk menyelesaikan Restorasi Sungai Nasional mereka dalam empat tahun. Tujuannya, menyediakan energi hijau, suplai air bersih dan menghindarkan masyarakat dari bencana banjir.
Ada beberapa hal besar yang mereka kerjakan, antara lain merevitalisasi empat sungai besar, membuat proyek di 14 anak sungai dan merestorasi aliran-aliran sungai yang berukuran lebih kecil demi mengamankan sumber daya air.
Selain itu, mengendalikan banjir secara komprehensif, meningkatkan kualitas air dan memulihkan ekosistem sungai, menciptakan ruang multiguna untuk warga setempat, dan mendorong pengembangan regional yang berpusat di sungai.
Sekarang, jangan terlalu iri dengan warga Seoul yang bisa duduk santai di tepi Sungai Han sambil menyeruput kopi tanpa harus sesak mencium bau tidak enak yang menyengat.
Menengok
Jika kebetulan sedang terbang melintas pulau-pulau besar di Indonesia, rajin-rajinlah menengok ke bawah, mengagumi lanskapnya. Perhatikan liukan sungai-sungainya, pesisirnya, ketebalan tutupan hutannya, luasan danau atau rawanya, ketinggian bukit-bukit dan gunung karstnya.
Pernahkah bertanya apa yang akan terjadi seandainya bentuk alami mereka (sungai, pesisir, hutan, danau atau rawa, karst) berubah?
Pada Senin (12/11), 157 warga Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta, terdampak banjir setinggi hingga 100 cm akibat luapan Sungai Ciliwung. Pada hari yang sama di Kabupaten Pangandaran ribuan rumah mengalami bencana yang sama, bahkan kediaman Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pun ikut terendam sebatas paha orang dewasa.
Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata mengatakan banyak yang perlu dikaji mengingat selain banjir juga banyak wilayahnya yang longsor. Akhirnya moratorium pendirian perumahan dan pemukiman di daerah resapan air, seperti Kampung Tegaljambe, Dusun Bojongjati Pananjung dilakukan.
Pada Selasa (13/11), gantian banjir mengepung Kota Palembang setelah hujan lebat dan angin kencang selama lima jam tanpa henti dimulai sejak sehari sebelumnya. Banjir hingga setinggi satu meter terjadi di pemukiman, beberapa jalan protokol lumpuh, serta sekolah diliburkan.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru sempat berang dan menuding pembangunan jalur light rail transit (LRT) sepanjang 22 kilometer yang membelah kotanya menjadi penyebab banjir meski hal tersebut langsung dibantah pihak kontraktor PT Waskita Karya.
Bencana lain yang mengancam saat peralihan musim hujan tiba adalah tanah longsor. Tebing setinggi kurang lebih tujuh meter di Sukabumi pada Jumat (7/12), longsor setelah diguyur hujan deras, dan kejadian ini menewaskan Iyar (68), warga RT003/RW003, Desa Babakanpanjang, Kecamatan Nagrak.
Pada lokasi yang berbeda, di Desa Sidomulyo, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, empat warga yang masih satu keluarga dilaporkan hilang tertimbun material longsor yang menimpa pemukiman di kampung mereka sekitar pukul 21.30 WIB. Jasad mereka berhasil ditemukan sehari setelahnya.
Pada Sabtu (8/12), sekitar pukul 05.30 Wita, di Banjar (Dusun) Sasih, Batubulan, Gianyar, Bali, longsor mengakibatkan seorang ibu dan tiga anaknya tewas setelah rumah yang berada di tepi sungai ambles ke dalam jurang berkedalaman 10 meter.
Selalu Pulang
"Bahasa kami, air selalu pulang ke rumahnya," kata Manager Kampanye Air, Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi Wahyu A. Perdana saat ditanya perihal bencana banjir yang semakin kerap terjadi.
Ketika ruang air diambil maka akan lari ke mana-mana, ditambah lagi jika kondisi resapan tanah, seperti di Jakarta, banjir akan datang berkali-kali.
Pembangunan dilakukan hanya dengan pendekatan teknis, tidak memikirkan aspek lingkungan.
Wahyu mencontohkan kondisi Jabodetabek di mana sungai yang secara alami meliuk-liuk dan memiliki daya resapan justru diluruskan dan ditembok.
Dengan cara tersebut akan menghilangkan daya resapan dan membuat air semakin cepat datang. Tambah pula wilayah tangkapan air di hulu hilang, karena di dalam tata ruang luasannya mengecil.
Kondisi hampir serupa menimpa Palembang di mana perubahan daerah konservasi di wilayah hulu terjadi.
Menurut dia, daerah rawa seluas 35.000 hektare kini tersisa 2.300 ha.
"Jadi kalau ditutup, ya (airnya, red.) ke mana-mana," ujar dia.
Tanah gambut yang pada dasarnya merupakan kubah air, semua air menghilang dengan besarnya wilayah konsesi di Sumatera dengan membuka kanal-kanal.
Gambut memiliki kemampuan untuk menyerap air 13 kali dari tanah mineral. Jika rusak, berapa ruang air yang akan hilang begitu saja di area tersebut. Tidak heran jika saat musim panas akan cepat sekali kering, sedangkan saat musim hujan datang air tidak terserap mengakibatkan banjir.
Sebenarnya, ia mengatakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Peta Kerawanan Bencana ada di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Namun, kerap kali dalam implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dihiraukan.
Padahal dalam Pasal 16 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 sudah tertera bahwa dokumen KLHS untuk memuat kajian, antara lain kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan.
Selain itu, perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan atau jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, dan tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Kerangka kebijakan menyangkut lingkungan hidup sudah cukup banyak. Namun, apakah sudah diimplementasikan?
Baca juga: Bogor minta Rp15 miliar pemulihan pasca puting beliung
Baca juga: Sungai banjir kanal timur Semarang meluap lagi
Mereka saling menghujat. Namun sejarah juga mencatat, sejauh ini lingkungan lebih sering terjegal di tengah jalan.
Teknologi terkadang hadir mencoba melerai. Kadang berhasil memberi solusi, techno-fixes, namun tidak jarang hanya menjadi janji semu.
Mana yang akan dipilih, laring atau rehabilitasi holistik "kali hitam", hujan buatan atau restorasi hutan dan lahan gambut?
Ekonomi lalu berteriak, mahal. Maka lingkungan menjawab, alam memang diciptakan sempurna, karenanya terkadang harus ditebus dengan harga yang sangat mahal jika ada yang menginginkannya.
Pemerintah Korea Selatan menghabiskan dana 18 miliar dolar AS untuk menyelesaikan Restorasi Sungai Nasional mereka dalam empat tahun. Tujuannya, menyediakan energi hijau, suplai air bersih dan menghindarkan masyarakat dari bencana banjir.
Ada beberapa hal besar yang mereka kerjakan, antara lain merevitalisasi empat sungai besar, membuat proyek di 14 anak sungai dan merestorasi aliran-aliran sungai yang berukuran lebih kecil demi mengamankan sumber daya air.
Selain itu, mengendalikan banjir secara komprehensif, meningkatkan kualitas air dan memulihkan ekosistem sungai, menciptakan ruang multiguna untuk warga setempat, dan mendorong pengembangan regional yang berpusat di sungai.
Sekarang, jangan terlalu iri dengan warga Seoul yang bisa duduk santai di tepi Sungai Han sambil menyeruput kopi tanpa harus sesak mencium bau tidak enak yang menyengat.
Menengok
Jika kebetulan sedang terbang melintas pulau-pulau besar di Indonesia, rajin-rajinlah menengok ke bawah, mengagumi lanskapnya. Perhatikan liukan sungai-sungainya, pesisirnya, ketebalan tutupan hutannya, luasan danau atau rawanya, ketinggian bukit-bukit dan gunung karstnya.
Pernahkah bertanya apa yang akan terjadi seandainya bentuk alami mereka (sungai, pesisir, hutan, danau atau rawa, karst) berubah?
Pada Senin (12/11), 157 warga Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta, terdampak banjir setinggi hingga 100 cm akibat luapan Sungai Ciliwung. Pada hari yang sama di Kabupaten Pangandaran ribuan rumah mengalami bencana yang sama, bahkan kediaman Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pun ikut terendam sebatas paha orang dewasa.
Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata mengatakan banyak yang perlu dikaji mengingat selain banjir juga banyak wilayahnya yang longsor. Akhirnya moratorium pendirian perumahan dan pemukiman di daerah resapan air, seperti Kampung Tegaljambe, Dusun Bojongjati Pananjung dilakukan.
Pada Selasa (13/11), gantian banjir mengepung Kota Palembang setelah hujan lebat dan angin kencang selama lima jam tanpa henti dimulai sejak sehari sebelumnya. Banjir hingga setinggi satu meter terjadi di pemukiman, beberapa jalan protokol lumpuh, serta sekolah diliburkan.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru sempat berang dan menuding pembangunan jalur light rail transit (LRT) sepanjang 22 kilometer yang membelah kotanya menjadi penyebab banjir meski hal tersebut langsung dibantah pihak kontraktor PT Waskita Karya.
Bencana lain yang mengancam saat peralihan musim hujan tiba adalah tanah longsor. Tebing setinggi kurang lebih tujuh meter di Sukabumi pada Jumat (7/12), longsor setelah diguyur hujan deras, dan kejadian ini menewaskan Iyar (68), warga RT003/RW003, Desa Babakanpanjang, Kecamatan Nagrak.
Pada lokasi yang berbeda, di Desa Sidomulyo, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, empat warga yang masih satu keluarga dilaporkan hilang tertimbun material longsor yang menimpa pemukiman di kampung mereka sekitar pukul 21.30 WIB. Jasad mereka berhasil ditemukan sehari setelahnya.
Pada Sabtu (8/12), sekitar pukul 05.30 Wita, di Banjar (Dusun) Sasih, Batubulan, Gianyar, Bali, longsor mengakibatkan seorang ibu dan tiga anaknya tewas setelah rumah yang berada di tepi sungai ambles ke dalam jurang berkedalaman 10 meter.
Selalu Pulang
"Bahasa kami, air selalu pulang ke rumahnya," kata Manager Kampanye Air, Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi Wahyu A. Perdana saat ditanya perihal bencana banjir yang semakin kerap terjadi.
Ketika ruang air diambil maka akan lari ke mana-mana, ditambah lagi jika kondisi resapan tanah, seperti di Jakarta, banjir akan datang berkali-kali.
Pembangunan dilakukan hanya dengan pendekatan teknis, tidak memikirkan aspek lingkungan.
Wahyu mencontohkan kondisi Jabodetabek di mana sungai yang secara alami meliuk-liuk dan memiliki daya resapan justru diluruskan dan ditembok.
Dengan cara tersebut akan menghilangkan daya resapan dan membuat air semakin cepat datang. Tambah pula wilayah tangkapan air di hulu hilang, karena di dalam tata ruang luasannya mengecil.
Kondisi hampir serupa menimpa Palembang di mana perubahan daerah konservasi di wilayah hulu terjadi.
Menurut dia, daerah rawa seluas 35.000 hektare kini tersisa 2.300 ha.
"Jadi kalau ditutup, ya (airnya, red.) ke mana-mana," ujar dia.
Tanah gambut yang pada dasarnya merupakan kubah air, semua air menghilang dengan besarnya wilayah konsesi di Sumatera dengan membuka kanal-kanal.
Gambut memiliki kemampuan untuk menyerap air 13 kali dari tanah mineral. Jika rusak, berapa ruang air yang akan hilang begitu saja di area tersebut. Tidak heran jika saat musim panas akan cepat sekali kering, sedangkan saat musim hujan datang air tidak terserap mengakibatkan banjir.
Sebenarnya, ia mengatakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Peta Kerawanan Bencana ada di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Namun, kerap kali dalam implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dihiraukan.
Padahal dalam Pasal 16 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 sudah tertera bahwa dokumen KLHS untuk memuat kajian, antara lain kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan.
Selain itu, perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan atau jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, dan tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Kerangka kebijakan menyangkut lingkungan hidup sudah cukup banyak. Namun, apakah sudah diimplementasikan?
Baca juga: Bogor minta Rp15 miliar pemulihan pasca puting beliung
Baca juga: Sungai banjir kanal timur Semarang meluap lagi
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018
Tags: